Sabtu, 17 Desember 2011

TINGKAT KETIDAKLULUSAN TINGGI, SALAH SIAPA?
Nasiruddin MM
Ujian nasional yang hasilnya diumumkan pada Senin (26/4/2010) mengejutkan banyak pihak, terutama orangtua siswa, guru, kepala sekolah, dan siswa yang bersangkutan. Ini antara lain disebabkan meningkatnya jumlah siswa yang tidak lulus. Daerah yang paling banyak siswanya tidak lulus dan harus mengulang ujian nasional (UN) adalah Nusa Tenggara Timur sebanyak 18.333 orang, Jawa Tengah 13.914 orang, Nusa Tenggara Barat 9.086 orang, dan Sulawesi Selatan 8.451 orang. Secara nasional, dari 1.522.162 peserta, ada 154.079 peserta yang harus mengikuti UN ulang pada 10-14 Mei.
Ujian tahun ini juga ada banyak sekolah yang siswanya 100 persen tidak lulus UN. Di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, misalnya, ada tiga SMA yang angka kelulusannya nol, yaitu SMA Kampung Laut, SMA Bahari, dan SMA Jenderal Soedirman. Begitu juga enam sekolah di Kabupaten Majene, Sulawesi Barat, ada enam madrasah aliyah (MA) yang tidak satu pun siswanya lulus UN.  Di Sumatera Selatan, terdapat empat SMA yang siswanya tidak lulus 100 persen untuk mata pelajaran tertentu. Di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, semua siswa peserta UN di MA Darul Amman di Kecamatan Pringsurat tidak lulus UN.
Tingkat kelulusan siswa yang menurun hingga 35 persen mengundang banyak pertanyaan. Kalau ada yang dipersalahkan, siapa yang paling layak dipersalahkan? Dalam keterangan persnya, Menteri Pendidikan nasional M Nuh menegaskan, bahwa salah satu faktor penurunan kuantitas kelulusan siswa tingkat SMA/SMK tahun ini adalah adanya pakta kejujuran di jajaran para pemangku pendidikan. Para pejabat pendidikan, kata M Nuh, dari pusat hingga daerah dan bahkan kepala sekolah berjanji untuk menggelar UN sejujur-jujurnya. Tidak ada kecurangan, apalagi manipulasi nilai. Sebelum dilanjutkan, M Nuh buru-buru menggaris bawahi bahwa UN tahun lalu yang lebih baik bukan karena banyaknya kecurangan.
Menteri Pendidikan Nasional Muhammad Nuh menyebutkan sejumlah penyebab turunnya prestasi itu. Di antaranya, proses belajar-mengajar yang tidak maksimal, rendahnya kesadaran murid dan infrastruktur, serta sarana-prasarana yang kurang memadai. Pengakuan Pak Menteri ini jelas menunjukkan bahwa pemerintah belum berhasil meningkatkan kualitas pendidikan.  Data dari Rembuknas Pendidikan, Juni 2007, menunjukkan, pada 2003 ada 531.186 ruang kelas rusak. Dari jumlah itu, 360.219 ruang sudah diperbaiki. Sisanya akan diperbaiki sebagai program 2008. Kerusakan terbesar dialami gedung-gedung SD, terutama di Pulau Jawa, 52 persen (276.695 unit).
Padahal itulah yang diperintahkan oleh pengadilan ketika memutuskan gugatan publik terhadap ujian nasional. Putusan ini kemudian diperkuat oleh vonis Mahkamah Agung tahun lalu. Intinya, pemerintah diminta meningkatkan sarana dan prasarana sekolah di seluruh Indonesia sebelum melaksanakan ujian nasional. Pemerintah juga diperintahkan melakukan langkah konkret untuk mengatasi gangguan psikologis para siswa yang tidak lulus ujian.
Ada banyak faktor yang menyebabkan hasil UN rendah, diantaranya kondisi geografis sekolah yang sulit dijangkau seperti yang terjadi di SMA Negeri 1 Kampunglaut, Kecamatan Kampunglaut, Kabupaten Cilacap. Jam belajar siswa yang pada pengumuman UN 2010 tidak satu pun yang lulus itu sangat dipengaruhi kehadiran siswa. Penyebabnya, kedatangan siswa sangat dipengaruhi perahu yang mengantar mereka ke sekolah. Sekolah tersebut berada di Desa Klaces yang dikepung oleh perairan segara anakan Cilacap. Karena itu kehadiran siswa sangat dipengaruhi ada-tidaknya perahu yang mengantar mereka ke Desa Klaces sehingga jam pelajarannya paling-paling 3-4 jam setiap harinya (Suara Merdeka, Jumat 30 April 2010). 
Faktor lain adalah kurangnya sarana dan prasarana penunjang, jumlah guru yang terbatas, dan rendahnya tanggung jawab orangtua atas pendidikan siswa. Kondisi ini ditambah lagi dengan pemerintah kabupaten/kota juga kurang memberikan perhatian pada sektor pendidikan dan kurang memperhatikan petunjuk-petunjuk provinsi terkait persiapan UN. Di samping itu, rendahnya penghayatan dan pemahaman guru terhadap kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) mempunyai andil besar yang menyebabkan hasil UN rendah.
Di samping itu, kebijakan dalam pelaksanaan UN yang waktunya dipercepat dengan standar minimal kelulusan yang dirasa tinggi untuk diberlakukan secara nasional membuat persiapan sekolah dan siswa tidak maksimal. Soal UN yang sama di semua daerah sebenarnya tidak masalah. Tetapi dalam penentuan standar minimal kelulusan, mestinya unit analisisnya provinsi. Ada keleluasaan sekolah untuk bisa memilih apakah dia mau ikut di standar kelulusan yang tinggi, rendah, dan menengah. Karena UN dipercepat, siswa dijejali dengan soal-soal, praktis sepanjang satu semester akhir menjelang UN. Sehingga yang terjadi kemudian,  teach what you test (ajarkan apa yang akan anda ujikan) bukan prinsip-prinsip ujian sekolah  yang seharusnya test what you teach!  (ujilah apa yang sudah anda ajarkan). Karena itu, Ujian Nasional yang umumnya menanyakan dimensi kognitif dari mata pelajaran akan menjadikan peserta didik selama belajar tidak merasa perlunya melakukan eksperimen di laboratorium, tidak perlu membaca buku di luar pelajaran yang diujikan, tidak perlu latihan mengarang, tidak perlu melakukan kegiatan terus-menerus secara berdisiplin  dan berbagai kegiatan belajar yang dalam dirinya diarahkan untuk menanamka nilai dan pengembangan sikap. Sebab, kesemuanya itu tidak akan diujikan/dinilai.
Salah satu solusi untuk menekan ketidaklulusan adalah dengan ujian sekolah. Ini adalah cara yang paling aman, berbiaya murah dan tidak ada persaingan antar-sekolah. Sekolah berhak menentukan kriteria kelulusan siswa termasuk Nilai Prestasi Rata-rata (NPR). Sangat ironis, ketika sekolah sudah diberi kewenangan menyusun Kurikulum dan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) tapi pada akhirnya kelulusan siswa divonis dari UN.
Seharusnya, UN dimaksudkan untuk pemetaan kualitas lulusan di seluruh Indonesia. Artinya UN tidak digunakan untuk memvonis lulus tidaknya seorang siswa. Kriteria kelulusan tetap menjadi hak otonomi sekolah. Biarkan sekolah berkompetisi secara sehat dalam menetapkan kriteria kelulusan. Sekolah yang berkualitas sudah dapat dipastikan alumninya dapat berkompetisi secara luas pula. Sedangkan sekolah yang tidak berkualitas, lama-kelamaan pasti gulung tikar. Biarkanlah masyarakat yang menilai.
Bisa juga UN dijadikan untuk pemetaan kualitas pendidikan. Maksudnya, karena biaya pelaksanaan UN sangat mahal, maka pelaksanaan UN cukup ditujukan untuk sekolah tertentu. Tiap kabupaten/kota sudah ditetapkan sekolah RSBI dan SNN, maka sekolah tersebut dapat dijadikan sampel untuk dijadikan potret mutu kelulusan.
UN telah dilaksanakan secara serentak di semua daerah pada tanggal 22 sampai 26 Maret 2010 lalu. Tentunya ujian ini menimbulkan ketakutan tersendiri bagi banyak pihak. Bayangkan saja, bila siswa telah menempuh pendidikan selama 3 tahun, namun harus ditentukan dalam 5 hari. Kondisi tersebut sedikit banyak telah membuat siswa tertekan. Bukan hanya siswa yang menjadi korban bahkan sekolahnya pun jadi korban seperti yang terjadi di SMA Wali Songo Surabaya, Jawa Timur dimana siswanya tidak lulus 100%. Sebagai konsekwensinya SMA tersebut dinyatakan ditutup. Semua siswanya yang gagal akan diikutkan dalam UN Pendidikan Kesetaraan (UN PK) Paket C. Penutupan ini akibat semua siswanya tidak ada yang lulus UN. Melihat akibat yang fatal di kemudian hari bila banyak siswa tidak lulus UN, maka pemerintah dengan berbagai argumen dan pertimbangannya mengadakan UN ulangan.
Bagi yang kontra, UN dianggap dapat menghambat proses berfikir kreatif anak dan menghilangkan hak anak untuk memperoleh penilaian secara holistik tetapi juga secara yuridis bertentangan dengan UU nomer 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (sisdiknas). Adapun yang pro beranggapan bahwa untuk menciptakan pendidikan bermutu maka UN harus tetap ada. Seolah-olah, tanpa UN tak mungkin kita mendapatkan pendidikan yang bermutu. Lebih lanjut pendapat yang pro tersebut mengatakan bahwa apabila kelulusan hanya ditetapkan oleh guru seperti yang dikehendaki UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, maka semua peserta didik akan lulus. Jika semua peserta didik lulus, maka hal itu menunjukan bahwa pendidikan tersebut tidak bermutu.
Pendapat ini tidak sepenuhnya benar.  Karena pandangan ini hanya mewakili pandangan para ahli tes, reduktif serta bertentangan dengan dasar filosofi dan teori pendidikan. Pandangan itu juga bisa membonsai arti pendidikan dengan tes dan kontraproduktif terhadap usaha peningkatan mutu pendidikan. Selain itu, guru-guru juga telah terjebak dalam pusaran arus dan banyak yang tidak berdaya untuk mempertahankan integritas dan kejujuran mereka karena banyak guru yang melakukan kecurangan demi membantu murid-muridnya seperti memberi bocoran jawaban agar lulus. Mereka tidak sadar bahwa cara ini merendahkan martabat dirinya sendiri dan guru sekaligus mencetak generasi muda yang malas. Pengajar-pengajar instan tidak dapat menikmati proses pembelajaran, tetapi mengejar hasil walaupun cara yang ditempuhnya tidak benar.
















Tidak ada komentar:

Posting Komentar