Sabtu, 17 Desember 2011

Minat Dan Kesadaran Beragama Bagi Remaja
Pentingnya Pendidikan Agama Bagi remaja

Di tengah krisis multi dimensional (krisis moral/ kepribadian) yang melanda bangsa Indonesia seperti saat sekarang ini,  berbicara pendidikan agama Islam terasa sinis dan pesimistis kalau tidak dibarengi dengan pemahaman mengenai agama Islam secara utuh dan komprehensif. Apalagi agama Islam sedang dihujat dan disudutkan dengan istilah terorisme, anarkhisme oleh kelompok tertentu (dunia barat).
    Masyarakat Barat yang pada tingkat sekarang ini telah mencapai kemajuan ilmu dan tehnologi pada prestasi yang tidak dibayangkan sebelumnya, dan bisa memanfaatkannya untuk mendongkrak tingkat kemakmuran material yang tinggi. Tetapi, di satu sisi mereka melepaskan sama sekali intervensi agama dalam kemajuannya itu. Keputusan sejarah untuk menjalankan konsep sekulerisasi dalam kehidupan dunia mereka. Akibatnya bisa dilihat fenomena yang terjadi sekarang ini, suatu ironi yang sangat paradoksal terjadi, di tengah gebyar modernisme peradaban yang penuh hingar-bingar rona materi tetapi mereka merasa asing dengan dirinya.
Di antara faktor-faktor yang menambah besarnya kebutuhan generasi Islam terhadap pemahaman agama adalah rasa dosa yang sering  tejadi pada masa itu. Seperti telah diketahui, bahwa masa remaja adalah masa bangkitnya dorongan-dorongan seksual akibat selesainya pertumbuhan jasmani. Dorongan-dorongan tersebut merupakan bahaya yang akan mengancam nilai-nilai yang pernah diterimanya. Dalam keadaan tersebut, kadang-kadang timbul perasaan tidak berdaya dalam menghadapi dorongan-dorongan yang belum pernah dikenalnya dalam hidupnya yang lain.
Untuk menghadapi kekuatan besar yang terjadi dalam dirinya itu, remaja membutuhkan bantuan dari luar dirinya, yang sewaktu-waktu dapat menolongnya. Di samping itu, pada masa remaja tampak pula hubungannya mulai kendor dengan orang tuanya, karena telah mulai merasa kurang senang untuk selalu bergantung kepada orang tua dan ingin berdiri sendiri. Apalagi kalau ia merasa bahwa orang tuanya sangat keras, suka memerintah atau suka mencampuri urusan-urusan pribadinya. Tambahan lagi, pada usia remaja telah banyak dihadapkan kepada kenyataan dan kesukaran-kesukaran yang harus dihadapi sendiri, tanpa minta tolong kepada orang tua. Dalam keadaan-keadaan yang sangat rumit ini, segala sesuatu mendorongnya untuk mencari jalan supaya perkembangan dirinya tetap berjalan lancar dan wajar. Untuk itu ia memerlukan kepercayaan yang sungguh-sungguh kepada Tuhan, sehingga bantuan luar yang diharapkannya itu tidak menyesatkan dan menggoncangkan pertumbuhan mentalnya.
Apabila  remaja yang goncang itu tidak pernah menerima didikan agama, maka kekuatan luar yang diharapkannya itu akan dicarinya di mana-mana. Mungkin ia akan menemukannya pada seorang dukun atau aliran sesat, atau membiarkan dirinya dikalahkan oleh dorongan-dorongan yang akan menghancurkan segala nilai moral dan sosial yang pernah dikenalnya. Bila demikian, maka akan terjadi kenakalan-kenakalan dan tindakan-tindakan yang tidak mengindahkan moral lagi.
Dapat kita tegaskan, bahwa agama dan keyakinan yang sungguh-sungguh kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah kebutuhan jiwa yang pokok, yang dapat memberikan bantuan bagi si remaja untuk melepaskannya dari gejolak jiwa yang sedang menghebat dan menolongnya dalam menghadapi seperti dorongan-dorongan seksual dan lainnya yang baru saja tumbuh itu. Si remaja sebenarnya takut akan siksaan batin dan konflik jiwa yang kurang jelas sebab-sebabnya itu.
Memang benar, bahwa anak-anak yang sedang menempuh usia remaja, kurang begitu mengindahkan keterangan-keterangan tentang sorga dan neraka. Sorga bagi mereka adalah lambang ketentraman, kesenangan dan kebahagiaan, sedang neraka adalah lambang penderitaan yang mengerikan. Pada masa remaja itu, anak-anak remaja sibuk dengan neraka (kegoncangan jiwa) yang bergejolak di dalam dirinya sendiri. Mereka tidak lagi takut mengingat neraka yang akan terjadi sesudah mati itu, karena mereka sedang sibuk dan disusahkan oleh nerakanya sendiri.
Karena itu, agama adalah obat penawar yang sejuk yang akan memadamkan nyala yang bergejolak di dalam hati si remaja yang sedang tumbuh. Seandainya agama tidak pernah dikenalnya, maka akan sukarlah memadamkan nyala tersebut. Selanjutnya akan masuklah si remaja ke dalam usia dewasa dengan seluruh kegoncangan yang belum terpadamkan itu.  Memang kegoncangan jiwa itu tidak akan selamanya terlihat dengan jelas, bahkan mungkin terlihat tenang dan aman saja.
Mungkin dalam hidupnya sehari-hari seorang yang tidak mengenal atau acuh-tak-acuh terhadap agamanya kelihatan baik dan tidak tampak kegelisahannya, namun jika diselidiki lebih dalam akan ditemukanlah betapa sukarnya untuk menentramkan batinnya. Mungkin ia akan melanjutkan hidupnya dengan cara yang dipilihnya sendiri, tanpa mengenal dan mengindahkan agama selama suasana dan keadaan yang dihadapinya menyenangkan. Tetapi apabila suasana tenang telah hilang, kegoncangan dan kesukaran melanda hidupnya, barulah ia sadar, bahwa kemampuannya untuk menghadapi segala kesukaran yang datang bertubi-tubi itu tidak teratasi lagi. Betapa banyak kita mendengar orang yang di hari  tuanya atau di masa goncangnya itu berusaha bunuh diri, terganggu kesehatan jiwa atau hidup merana. Betapa banyak orang yang menderita berbagai penyakit yang tidak disebabkan oleh kerusakan organ, tetapi disebabkan oleh kehilangan ketentraman batin.
Jika keadaan sosial, ekonomi dan politik goncang, maka agama semakin sangat diperlukan, karena jiwa yang kosong dari keyakinan beragama akan sukar dapat menghadapi kegoncangan-kegoncangan tersebut. Sebagai kesimpulan dapat kita pastikan bahwa agama merupakan unsur yang terpenting dalam pembinaan mental. Tanpa agama, rencana-rencana pembangunan tidak akan terlaksana dengan sebaik¬baiknya, karena dapatnya seseorang melaksanakan suatu rencana.
Motivasi dan Kecenderungan Belajar Agama
    Mayoritas masyarakat merasa bahwa menyekolahkan anaknya  ke lembaga pendidikan agama Islam tidak memiliki tempat pekerjaan yang jelas alias masa depan suram. Sehingga lembaga pendidikan agama Islam menempati nomor urut nomor tiga di mata masyarakat. Nomor satu (sasaran utama) memasukkan anak¬nya ke sekolah umum negeri, tidak diterima di sekolah umum negeri, mencari sekolah swasta yang favorit (nomor dua), jika keduanya mereka tidak diterima, baru berpikir memasukkan anaknya ke sekolah agama.
Adapun lembaga pondok pesantren yang secara ideal bisa mendidik manusia yang handal dalam aspek moral dan kepribadian juga tidak mendapat  perhatian dari masyarakat. Kesan masyarakat bahwa pondok pesantren itu kumuh, kotor dan membina generasi manusia yang berpikir kolot, tradisional masih menghantui perasaan sebagian besar masyarakat Indonesia.
Munculnya fenomena dan persepsi seperti itu, kita tidak bisa menyalahkan masyarakat sepenuhnya. Kenyataan itu perlu dijadikan bahan renungan, evaluasi dan instrospeksi diri bagi para insan pendidikan agama yang selama ini dilakukan baik dalam konteks pendidikan agama informal (masyarakat) maupun formal (sekolah). Adanya asumsi yang muncul bahwa lembaga agama seperti madrasah atau pesantren sebagai pelengkap/ kelas dua ini menandakan ketidakmampuannya dalam menganalisis dan mengindentifikasi masalah dalam perspektif mayoritas jumlah penduduk. Maksudnya adalah bangsa Indonesia mayoritas pengikut Islam. Oleh karenanya, jumlah madrasah yang lebih banyak jika dibanding sekolah umum tentunya sudah logis dan rasional.
Namun demikian dengan menjamurnya pesantren dan madrasah (MI,MTs dan MA dan Perguruan tinggi Islam) di setiap kota dan pedesaan dapat dipandang sebagai lateral (baca: opsi/ pilihan) utama masyarakat/orang tua sebagai tempat menuntut ilmu anaknya. Pilihan ini tentunya dilan¬dasi berbagai pertimbangan sebagai berikut:
Pertama, era global yang ditandai banyaknya opsi life style dari berbagai adat dan budaya masya¬rakat dunia yang sudah menyatu padu. Piranti yang digunakan untuk menepis negative life style adalah penguasaan pengetahuan dan pemahaman ilmu agama yang representatif melalui pendidikan di madrasah dan di pesantren.
Kedua, adanya krisis moral bangsa Indonesia yang masih terasa sekarang, maka pendidikan di madrasah dan di pesantren sangat membantu dalam meminimalisir dekadensi moral.
Ketiga, sekolah di madrasah atau pesantren relatif banyak lebih murah dibandingkan dengan sekolah umum. Namun demikian madrasah juga tidak mau kalah kualitasnya dengan sekolah umum.
Keempat, diakuinya ijasah madrasah dan pesantren oleh pemerintah sederajat dengan sekolah umum. Artinya lulusan madrasah dan di pesantren bisa melanjutkan ke sekolah umum dan lulusan sekolah umum dapat melanjutkan ke madrasah.
Kelima, adanya kesempa¬tan yang sama dengan lulusan sekolah umum dalam meraih pangsa kerja baik di instansi swasta (dunia industri) maupun di instansi pemerintah.
Keenam, infrastruktur proses pembelajaran yang berupa perang¬kat keras (komputer, internet, dll) di madrasah atau pesantren sudah mulai digalakkan sebagaimana yang ada dalam sekolah umum.
Ketujuh, sudah adanya banyak program pilihan di madrasah atau pesantren yang berbentuk kejuruan melalui program khusus baik akademik maupun yang berjurusan ketrampilan.
Mencermati pertimbangan landa¬san tersebut, madrasah atau pesanten dapat diprediksikan akan menjadi pilihan  masyarakat/orang tua/murid mana¬kala ditangani secara profesional baik yang dilaksanakan pemerintah maupun masyarakat -swasta. Dengan menjamurnya lembaga madrasah maupun  pesantren diharapkan dapat mengintegrasikan ilmu umum dan ilmu agama sebagai lan¬dasan dalam menyusun ciri lembaga Islam, maka problem klasik lembaga Islam tentang berapa porsi ilmu umum dan berapa porsi ilmu agama akan ter¬pecahkan. Lebih dari itu, tamatan lembaga Islam akan mencerminkan ciri khas Is¬lam yang diharapkan melakat padanya. Perlu ditegaskan bahwa mengintegrasi¬kan ilmu umum dan ilmu agama bukan¬lah bentuk lain dari Islamisasi Ilmu. Sebab Islamisasi Ilmu akan menjebak kaum Muslim ke dalam dikhotomi an¬tara ilmu Islam dan ilmu bukan-Islam. Jebakan ini berbahaya karena akan mengembalikan kaum Muslim ke dalam problem klasik di atas.
Integrasi lembaga agama seperti madrasah dan pesantren ke dalam sistem pendidikan nasional memang telah me¬neguhkan posisi lembaga agama Islam. Akan teta¬pi, hal itu bukan berarti telah menyele¬saikan seluruh problem yang dihadapi madrasah. Problem yang cukup penting adalah menyusun sebuah kurikulum yang tidak hanya bermutu tetapi juga mencerminkan ciri khas Islam. Lebih dari itu adalah menyediakan guru-guru yang berkualitas. Inilah kiranya agenda di masa depan.
Mencari Pesantren Alternatif
    Di era sekarang, sejumlah pesantren yang pada awalnya hanya menyelenggarakan pendidikan keagamaan (tafaqquh fuidin) dengan model halaqah, sorogan, dan bandongan,yang tidak mengenal batas waktu belajar, mulai mengembangkan model pendidikan klasikal berbentuk madrasah atau sekolah umum. Tafaqquh fiddin atau penguasaan khazanah keislaman tidak lagi menjadi satu-satunya tujuan belajar di pesantren. Maka saat ini dapat disaksikan banyak pondok pesantren telah memiliki lembaga-lembaga pendidikan modern, baik ber-bentuk SUP, SMU, hingga Uni¬versitas, maupun berbentuk MI, MTs, MA/MAK, hingga Institut Agama Islam.
Pada dasarnya, pesantren juga dapat bersaing dengan sekolah umum dalam hal mendapatkan dukungan masyarakat, karena asal dan komitmen pesantren adalah rakyat. Hal ini merupakan faktor penting dalam persaingan ketika sekolah non agama juga berniat meraih dukungan masyarakat.
Selama ini, sekolah mendapat simpati masyarakat karena perhatian dan kemampuannya dalam mengajarkan sains, atau ilmu pengetahuan umum, daya tarik masyarakat terhadapnya ialah justru karena perhatian pesantren terhadap ilmu dan perilaku keagamaan. Mengingat masyarakat kita yang umumnya beragama Islam, maka peluang pesantren akan lebih besar jika pesantren dapat menunjukkan kualitas pengajaran ilmu umum dan agama secara seimbang. Ini berarti diperlukan tenaga pengajar yang efektif, yaitu yang menguasai materi ajar dan inovatif dalam metode pengajarannya, memiliki karakter pribadi yang positif, disiplin den ulet, serta memiliki kemampuan human relation tangguh.
Dengan demikian, tenaga pengajar di pesantren tidak hanya akan menjangkau siswanya, melainkan pula dapat menarik kepercayaan masyarakat. Termasuk yang harus diupayakan untuk mendukung pesantren yang demikian ialah merekatkan kembali hubungan madrasah dengan pesantren, dengan membentuk hubungan sinergi antara keduanya.
Masyarakat Indonesia telah mengalami kesadaran baru akan pentingnya keterampilan. Indikasinya ialah peningkatan yang signifikan pada minat anak-anak usia sekolah untuk memasuki sekolah-sekolah kejuruan. Sementara itu madrasah juga pesantren pada umumnya kurang memperhatikan masalah ini, atau jelasnya justru mengambil tipe sekolah umum. Untuk itu maka perlu adanya diverifikasi lembaga agama dengan mengembangkan lembaga kejuruan. Untuk itu maka perlu adanya diverifikasi lembaga agama dengan mengembangkan madrasah dan pesantren sehingga dapat mendefinisikan kebutuhan keterampilan yang telah dibutuhkan masyarakat.
Selain itu, madrasah khusus keagamaan juga memang diperlukan. Namun madrasah yang demikian juga harus memperhatikan perlunya mental dan keterampilan sains yang memadai. Pengembangan madrasah dengan tipe dan karakter seperti di atas membutuhkan kondisi tertentu, selain manajemen yang terbuka, juga lingkungan yang kondusif. Dalam konteks yang terakhir ini, maka pengaturan-¬pengaturan yang dilakukan pemerintah terhadap madrasah nantinya tidak akan bersifat directif-instruktif, melainkan dalam bentuk koordinasi, suplai gagasan, sharing pengalaman, dan membuka serta memberi peluang, dengan penghormatan terhadap otonomi madrasah. Ini berarti suasana demokratis perlu dikembangkan. Keragaman kurikulum, metode pengajaran, dan bahkan buku ajar selayaknya menjadi sesuatu yang diniscayakan.
    Dengan mengadopsi model madrasah, pengajaran di pesantren tidak lagi terbatas pada bidang¬-bidang ilmu keagamaan semata, melainkan sekaligus membuka pintu bagi pengajaran ilmu-ilmu lainnya. Dengan demikian, pe¬santren dapat mempertegas eksistensinya dan sekaligus memperluas jangkauan pelayanan pendidikannya kepada masyarakat.
Peran Pemuda Muslim Dalam Kesadaran Beragama
    Pada saat ini, kita cukup punya alasan untuk optimis. Banyak pelajar muda muslim yang kini sudah sadar diri, mengerti siapa mereka, tugas-tugas apa yang mereka hadapi, dan apa peranan mereka di masa depan. Melalui generasi seperti inilah kita dapat berharap banyak. Kita melihat bahwa pada saat ini ada keinginan besar dari pelajar Islam untuk melihat masa depan Islam sebagai kekuatan sosial, kekuatan budaya, kekuatan ekonomi, bahkan kekuatan politik.
    Hal ini adalah fenomena baru     yang menggembirakan. Ini mungkin disebabkan karena adanya suatu semangat intelektual yang mereka miliki, sehingga memungkinkan mereka ber¬pikir tentang hal-hal besar dan relevan mengenai masa depan umat dan pembangunan bangsa. Perkembangan pemi¬kiran di kalangan generasa muda muslim ini, barangkali, sebagaimana dikatakan oleh Kuntowijoyo (1991) sebagai pergeseran pemikiran "ideologis" menjadi pemikiran "ilmu (teori)".  Menurutnya, Pada dasarnya seluruh kandungan nilai-nilai Islam bersifat normatif. Ada dua cara bagaimana nilai-nilai normatif itu menjadikan operasional dalam kehidupan kita sehari-¬hari. Pertama, nilai-nilai normatif  itu diaktualisasikan langsung menjadi perilaku. Untuk jenis aktualisasi semacam ini, contohnya adalah seruan moral praktis al-Qur'an, misalnya untuk menghormati orang tua dan orang yang berpuasa. Seruan ini langsung dapat diterjemahkan ke dalam praktek, ke dalam Perilaku. Pendekatan ini cenderung menunjukkan secara langsung bagaimana secara legal perilaku harus sesuai dengan sistem normatif. Cara yang kedua adalah mentransformasikan nilai-nilai normatif itu menjadi teori ilmu sebelum diaktualisasikan ke dalam perilaku. Metode untuk trans¬formasi nilai melalui teori ilmu untuk kemudian diaktualisasikan dalam praksis, memang membutuhkan beberapa fase formulasi: teologi, filsafat sosial, teori sosial, dan perubahan sosial. Sampai sekarang kita belum melakukan usaha semacam itu. Bagaimana mungkin mereka akan dapat mengatur perubahan masyara¬kat  jika kita tidak punya teori sosial. Maka di sinilah tugas generasi muda muslim untuk lebih peka dan bersemangat dalam usaha mengaktualkan dan membumi¬kan ajaran-ajaran agama dalam realitas sosial.
    Untuk menunjang keberhasilan itu semua perlu adanya reorientasi terhadap pemahaman terhadap agama. Hal ini diawali dengan perubahan pendidikan agama dari yang menekankan hafalan menjadi pendidikan agama yang mengarah pada penciptaan kompetensi peserta didik. Maksudnya, pendidikan agama itu dilaksanakan dengan tujuan peserta didik memiliki kompetensi dengan berbasis agama.
    Dalam hal ini, guru juga harus mempunyai standar kompetensi tertentu. Masalahnya, hingga saat ini belum ada lembaga atau pihak yang membuat standar kompetensi guru pendidikan agama itu secara detail. Dengan berbasis kompetensi, pendidikan agama ditujukan untuk menciptakan perilaku yang baik. Memang di sini akan kesulitan untuk menetapkan indikasi apakah perilaku yang baik di kalangan siswa merupakan hasil dari pendidikan agama yang telah diterima ataukah bukan. Namun demikian, pendidikan agama itu setidaknya sudah mengarahkan kepada perilaku baik. Melalui penekanan pada kompetensi itu, pendidikan agama dilaksanakan dengan menyeim¬bangkan tiga aspek sekaligus, yakni ilmu, iman dan amal. Ketiganya harus berjalan secara seimbang dan tidak bisa sendiri¬-sendiri.
Kiprah Pemuda Muslim dalam Perubahan Masyarakat
Sudah banyak pelajar Islam memerankan diri sebagai agen dari berbagai perubahan, karena mereka sesungguhnya berkepentingan dengan perubahan-perubahan itu. Mereka harus jeli dan berada di baris terdepan untuk mengamati kecenderungan-kecenderungan sejarah di Indonesia. Mereka  berhak dan harus menyatakan sikap terhadap kecenderungan-kecenderungan yang sedang berlangsung itu.
Sebagai langkah awal, generasi muda muslim harus menyadari pentingnya mengkaji atau mengukur kualitas diri sendiri. Sejauh mana mereka telah mempersiapkan diri sendiri dengan kualitas-kualitas mental dan intelektual? Kemudian setelah itu, mereka juga perlu membaca lingkungan untuk melihat kecenderungan--kecenderungan sejarah dan kualitas-kualitas realitas fisik dan sosial-budaya yang ada. Apabila mereka belum merasa cukup memiliki kualitas yang bisa diandalkan, maka pertanyaannya adalah apakah tidak lebih baik jika mereka memilih jalur perjuangan kolektif, misalnya melalui organisasi. Sudah saatnya generasi muda Islam memiliki wadah yang jelas sebagai tempat mengambil peran dalam percaturan kehidupan masya¬rakat.
    Dalam sejarah Indone¬sia, generasi muda Muslim telah lama memanfaatkan jalur organisasi sebagai wadah perjuangan.  Dan sedikit banyak, keberadaan organisasi-orga¬nisasi tersebut telah terbukti dapat membawa manfaat. Tetapi persoalannya adalah bahwa pada saat ini telah terjadi perubahan sosial dan kebudayaan yang cukup signifikan. Oleh karena itu, mereka perlu melakukan reformasi, dan jika perlu reorganisasi, untuk memaksimalkan lembaganya, sehingga dapat beradaptasi dengan baik terhadap ling¬kungan.
    Pada level selanjutnya, kaum muda muslim dapat lebih meningkatkan keterlibatannya dari sekedar sebagai peserta pengajian agama menjadi panitia-penyelenggara kegiatan¬-kegiatan keagamaan dan sosial ¬keagamaan. Peran serta kaum muda tersebut dapat disalurkan melalui lembaga-lembaga keagamaan atau melalui organisasi-organisasi kepe¬mudaan yang ada, seperti organisasi remaja masjid, majlis ta'lim, dan sebagainya, pesantren kilat, diskusi keagamaan, buka puasa bersama, pemberian santunan terhadap anak-anak terlantar, yatim/piatu dan jompo, pengelolaan zakat, infaq, dan shadaqah dan sebagainya yang merupakan beberapa kegiatan alternatif yang dapat dilaksa¬nakan oleh kaum muda. Keterlibatan kaum muda dalam kegiatan-kegiatan tersebut selain bertujuan untk menggali potensi yang dimilikinya, juga diharapkan kaum muda dapat merasakan secara langsung dari pengalaman sebagian masyarakat yang berada dalam kesulitan. Demikianlah makalah yang saya buat semoga ada manfaatnya. Amin..

Daftar Pustaka
Prof. Dr. Zakiah Darajat, 2001, Peranan Agama Dalam Kesehatan Mental, Toko Gunung Agung, Jakarta.
Dirjen Binbaga Depag RI, 2001, Pola Manajemen Penyelenggaraan Pondok Pesantren, Depag, Jakarta.
Mesjid Agung Sunda Kelapa, Kuliah Ramadhan 1422 H, Jakarta.
Proyek Pengembangan Kurikulum Tk. Dasar Depag, Majalah Inovasi Kurikulum Edisi 3, 2003, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar