Sabtu, 17 Desember 2011

MENIRU CARA PEMBERANTASAN KORUPSI DARI NEGARA TETANGGA
Oleh: Nasiruddin, MM

Bila kita membaca koran hampir semua media memberitakan tentang perilaku korupsi dari pejabat, pengusaha sampai rakyat kecil. Kasus korupsi sudah menjadi menu sehari-hari para pemburu berita. Mengguritanya korupsi di Indonesia ini pernah diungkapkan mantan Ketua PP Muhammadiyah Syafi’i Ma’arif, “Korupsi sudah sedemikian kuat membelenggu kita, mulai istana sampai kantor kelurahan, sejak bangun tidur hingga menjelang tidur lagi, sejak lahir sampai meninggal. Merambah dari tempat ibadah sampai ke toilet”
Pertanyaannya sekarang, mengapa pemberantasan korupsi di negeri ini dinilai selalu gagal? Padahal, dari segi perangkat hukum kita mempunyai cukup banyak UU (Undang-undang) pemberantasan korupsi? Kita juga memiliki komisi yang mengawasi pemerintahan dan penegak hukum, seperti KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan Komisi Ombudsman Nasional. Bahkan, di dalam UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, ancaman hukuman bagi pelaku tindak korupsi telah ditingkatkan menjadi hukuman mati. Bahkan beberapa LSM juga aktif dan gencar mengawasi dan melaporkan praktek korupsi yang dilakukan penyelenggara negara diantaranya Indonesian Corruption Watch (ICW), Government Watch (GOWA), dan Masyarakat Tranparansi Indonesia (MTI), dan masih banyak lagi. Tapi anehnya, Indonesia kini berada pada peringkat 4 dan kadang-kadang bergerak di posisi 5 negara terkorup di dunia, bahkan Indonesia pernah meraih peringkat 2 negara terkorup di dunia atau hanya kalah dari Fiji,"
Pemerintah sendiri dalam rangka menekan korupsi dan mewujudkan tata kelola pemerintahan dan pelayanan publik yang baik, pada 2010 mendatang pemerintah merencanakan memberikan remunerasi pada beberapa kementerian/lembaga yang telah dan sedang melakukan reformasi birokrasi. Remunerasi atau pemberian dana tunjungan khusus saat ini baru diterapkan pada tiga kementerian/lembaga yakni Departemen Keuangan (Depkeu), Mahkamah Agung (MA), dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Yang menjadi masalah mengapa ketika sudah diberlakukan remunerasi saja, masih ada yang melakukan suap dan ko¬rupsi. Misalnya saja, pegawai Ditjen Pajak, Gayus Tambunan, yang diduga menilep uang pajak sebesar Rp 25 miliar. Padahal, nilai remunerasi itu cukup besar.
Menurut Pengamat Ekonomi, Rizal Ramli, ada yang salah terhadap pemberian insentif dalam bentuk remunerasi kepada pegawai negeri. Kebijakan remunerasi yang dilakukan pemerintah terhadap pegawai negeri, termasuk yang dilakukan oleh Kemenkeu adalah salah sasaran. Di seluruh dunia dan di swasta, program remunerasi dimulai dengan menaikkan etos kerja dan kualitasnya. Dari peningkatan etos kerja dan kualitas maka akan muncul keuntungan dan penghematan. Dan pemberian remunerasi diambil dari keuntungan dan penghematan.  Aktivis blok perubahan ini menjelaskan, remunerasi yang dilakukan sangat teledor, mereka bagi-bagi uang terlebih dahulu dengan mengharapkan perbaikan.  Di samping itu, remunerasi untuk setiap kementerian berbeda-beda sehingga bisa menimbulkan kecemburuan. Lalu bagaimana catatan masa lalu yang dapat dilacak dimana ketika pemerintahan Soekarno ditahun 1959 juga pernah menaikan gaji pegawai pajak sampai 9 kali. Hasilnya juga tidak begitu efektif karena ternyata korupsi masih merajalela.
Mengapa korupsi dibenci tapi tetap saja marak dilakukan banyak orang di negeri ini? Banyak faktor yang melingkari diantaranya nihilnya budaya rasa malu korupsi, padahal malu merupakan terapi psikologis untuk menurunkan derajat korupsi. Semakin tinggi rasa malu seseorang semakin tinggi pula tingkat kontrol psikologis untuk takut korupsi. Dalam hal ini kita dapat belajar dari budaya Jepang yang mengunggulkan budaya rasa malu sebagai cara mengangkat derajat bangsa menjadi bangsa yang unggul di atas bangsa-bangsa yang lain. Menurut laporan News Week pada tahun 2002 yang lalu sedikitnya 30.000 orang Jepang mati dengan jalan bunuh diri dan diduga keras penyebab tingginya angka itu adalah faktor "malu".
Selain komitmen politik, pemberantasan korupsi, juga harus dibarengi dengan langkah nyata, baik dalam pembenahan mental birokrasi, mental anti korupsi generasi muda, dan pembenahan perangkat hukum, yang dibutuhkan secara jelas dan transparan. Kehadiran KPK, merupakan langkah awal untuk menumbuhkan optimisme masyarakat, untuk memberantas korupsi. Di samping itu, keseriusan aparat penegak hukum, dalam menangani kasus-kasus korupsi, ternyata masih banyak menemui kendala. Salah satunya adalah terlalu banyak kasus korupsi yang harus ditangani sementara sumber daya manusianya terbatas. Di KPK saja misalnya, saat ini hanya memiliki 30 orang penyidik.
Gunnar Myrdal, ekonom pemenang Nobel, dalam bukunya Chalenge of World poverty, A World Anti Poverty Program in out-line, juga pernah menyinggung masalah keteladanan seorang pemimpin dengan program pemberantasan korupsi. Dicontohkannya, Rajaratnam adalah salah satu sosok pemimpin, selain bersih juga memiliki kemauan kuat untuk memberantas korupsi di Singapura. Hasilnya, negeri mungil itu menjadi negara yang bersih. Sebaliknya, Jawaharlal Nehru, meski ia juga dikenal bersih, namun dia tidak memiliki kemauan yang kuat untuk memberantas korupsi. Hasilnya, India pun tak henti-hentinya dilanda wabah korupsi.
Singkatnya, Myrdal ingin menegaskan, bahwa keteladanan dan kemauan politik (political will) merupakan dua hal yang tidak boleh ditinggalkan jika suatu negara ingin memberantas penyakit korupsi.
Indonesia seharusnya belajar dari  China yang telah menerapkan pola pemberantasan korupsi yang diterapkan Presiden China Hu Jintao. China selama satu dasawarsa terakhir melancarkan perang besar dengan korupsi.
Para pejabat yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi tidak segan-segan dibawa ke tiang gantungan. Tindakan ini cukup efektif mengurangi praktek korupsi di kalangan pejabat. Presiden China saat itu bertekad memberantas korupsi di negaranya dengan mengumumkan akan mempersiapkan 1.000 peti mati untuk pelaku pencurian uang negara tersebut.

    Dalam buku "The China Business Handbook" dilaporkan sepanjang tahun 2003 tidak kurang 14.300 kasus yang diungkap dan dibawa ke pengadilan yang sebagiannya divonis hukuman mati. Sampai tahun 2007 Pemerintah Cina telah menghukum mati 4.800 orang pejabat negara yang terlibat praktik korupsi. Pemerintah China juga mengeluarkan aturan yang mengharuskan pejabat yang hendak bepergian ke luar negeri melapor kepada atasannya terutama yang membawa uang dalam jumlah besar.
Kebijakan itu membuat China mengalami kemajuan dan perkembangan ekonomi yang pesat serta diperkirakan akan menjadi negara adidaya di dunia internasional. Tak heran jika di Beijing, pada akhir 1995, berani menjadi tuan rumah dalam Konferensi Internasional Antikorupsi. Sebab, peringkat korupsi mereka di dunia memang selalu turun dari tahun ke tahun.
Namun, jika kita perhatikan Republik Cina, ternyata Cina tidak dapat dan tidak patut menjadi contoh bagi sebuah negara yang demokratis seperti Indonesia sebab berbagai usaha pembasmian dan dugaan korupsi di Cina kelihatannya seringkali mempunyai motivasi politik. Dengan dalih memerangi korupsi, lawan dan/atau para pejabat yang secara politis tidak loyal digeser  dari jabatannya. Hampir semua pejabat papan atas saat ini dipandang sebagai loyalis mantan ketua partai Jiang Zimin atau menolak Hu Jintao di masa lalu. Tidak seorang pun dari loyalis  Hu dituduh melakukan kesalahan.
Selain itu, hukuman mati tampaknya tidak mempunyai efek membuat jera terhadap kriminalitas pada umumnya, dan korupsi khususnya. Kriminalitas terus merajalela, terutama korupsi di kalangan pegawai negeri. Seperti yang terlihat pada berbagai skandal korupsi, persepsi umumnya adalah bahwa di Cina, korupsi terjadi di mana-mana. Dalam artikel baru-baru ini, di International Herald Tribune, Jim Yardly bahkan berbicara mengenai “boom in Corruption” (Ledakan Korupsi). Ia melihat bahwa kampanye anti-korupsi dijalani hanya setengah hati, karena untuk menyingkirkannya dibutuhkan reformasi politik, sebab partai komunis bertahan.
    Bisakah di Indonesia diberlakukan hukuman mati bagi koruptor? Bila melihat jenis dan meluasnya wabah korupsi di Indonesia kita tidak yakin hukuman mati dapat memperbaiki situasi. Langkah semacam itu justru dapat membuat wabah korupsi semakin parah. Hukuman mati akan meningkatkan “tarif” yang dipasang oleh polisi, jaksa dan hakim atas tersangka yang mereka lindungi atau bela. Pihak ketiga juga akan merasa diuntungkan dalam melibatkan orang dalam praktek korupsi. Semakin kaya calon koruptornya, makin besar harapan mereka untuk menghindar dari hukuman mati. Praktek pemberian kelonggaran oleh peradilan dan sistem penjara akhir-akhir ini, dengan cara setiap kali memberi ‘potongan’ bagi kelakuan baik, memberi pengaruh buruk pada peradilan, dan menyebabkan penjara semakin kurang menakutkan. Pemerintah, berbagai profesi hukum, dan organisasi masyarakat sipil harus terus memberi informasi kepada publik mengenai jenis atau sifat korupsi di Indonesia agar debat dapat berlangsung.
Thailand juga  merupakan contoh negara yang mengesankan dalam mengubah reputasi negara yang bergelimang korupsi menjadi negara yang rendah korupsinya. India dan Vietnam juga mulai melakukan perbaikan melalui keinginan politik tinggi dalam mempersempit ruang korupsi. Thailand telah melakukan kampanye pemberantasan korupsi secara serius. Sektor perpajakan dan pengadilan yang dianggap rawan korupsi dan kolusi dijadikan prioritas dalam target kampanye melawan korupsi dan hasilnya mengesankan. Kemajuan dalam kampanye korupsi membawa dampak positif dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk kesanggupan membayar hutang luar negeri. Selama lima tahun Thailand mampu mencicil 50 milyar dollar AS utangnya.
Ada lagi di antara hal spektakuler yang dilakukan negara Malaysia yaitu diberlakukannya 'sistem pembuktian terbalik'. Secara sederhana, artinya, seorang pejabat negara yang terindikasi melakukan korupsi dengan harta kekayaan yang tidak sebanding dengan kemungkinan penghasilan dari jabatannya, dapat diminta untuk membuktikan dari mana kekayaan itu didapatkan, diminta untuk membuktikan bahwa dia tidak melakukan korupsi. Jika seorang pegawai rendah atau seorang prajurit terlihat memiliki tempat tinggal (rumah) mewah atau kendaraan mewah, maka Badan Pencegah Rasywah dapat meminta yang bersangkutan untuk membuktikan bahwa dia tidak melakukan korupsi. Langkah ini cukup efektif. Para pejabat di negara jiran ini, sangat berhati-hati, meskipun pasti tidak semua bersih dari perilaku korupsi. 
Dengan langkah itu, tidak heran jika peringkat Corruption Perception Index Malaysia ketika ini sangat jauh meninggalkan Indonesia. Tidak heran juga, jika Malaysia dapat cepat keluar dari krisis ekonomi yang melanda Asia beberapa waktu yang lalu. Negara ini telah berhasil membangun ekonomi mereka dengan sangat mengagumkan
     Adapun Singapura sebuah negara kecil juga telah memulai pemberantasan korupsi dengan memberantas perilaku suap-menyuap di antara para pejabat pemerintah. Gerakan-gerakan pemberantasan korupsi ini kemudian menguat begitu People's Action Party di bawah pimpinan Lee Kwan Yew berkuasa pada tahun 1959. Lee Kwan Yew memproklamirkan 'perang terhadap korupsi'. Beliau menegaskan: 'no one, not even top government officials are immuned from investigation and punishment for corruption'. 'Tidak seorang pun, meskipun pejabat tinggi negara yang kebal dari penyelidikan dan hukuman dari tindak korupsi'.
Tekad bulat Lee Kwan Yew ini didukung dengan disahkannya Undang-Undang Pencegahan Korupsi (The Prevention of Corruption Act) yang diperbaharui pada tahun 1989 dengan nama The Corruption (Confiscation of Benefit) Act. Yang perlu mendapat perhatian serius dari bangsa kita tentang pemberantasan korupsi di Singapura ini adalah adanya political will yang kuat dari pemerintah, khususnya dari orang nomor satu di negara tersebut. Lee Kwan Yew memang sosok bersih, berkarakter kuat, memiliki kekuasaan yang besar. Baginya, Singapura tidak pernah akan jaya dan disegani di seluruh dunia kecuali negara tersebut makmur dan bebas dari korupsi.
Salah satu bentuk nyata dari political will-nya adalah dibentuknya lembaga antikorupsi yang independen di negara tersebut, yang diberi nama 'The Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB). Lembaga inilah yang bertugas melakukan pemberantasan korupsi di Singapura. Kepada lembaga ini diberikan wewenang untuk menggunakan semua otoritas dalam memberantas korupsi. Lembaga ini benar-benar merupakan lembaga yang kuat.
Oleh karena itu ada baiknya kita mengaca pada peraturan yang berlaku. Antara lain di Malaysia, dalam Prevention of Corruption Act 1961 (Act 57) Pasal 14; di Singapura, dalam Prevention of Corruption Act (Chapter 241), Pasal 8; dan di Hongkong, dalam Prevention of Bribery Ordinance (Chapter 201), Ordinance 1970, Added 1974, Pasal 10 ayat 1. Di ketiga negara ini umumnya orang takut melakukan korupsi karena susah sekali menghindarkan diri dari penyidikan jika benar-benar melakukan korupsi seperti menerima atau memberi suap, karena tersangkalah yang harus membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan tindakan korupsi sebagaimana yang disangkakan, bukannya oleh pihak kejaksaan. Kemudian tentang pengenaan sanksi hukuman yang berat bagi para koruptor. Di Malaysia, misalnya, berdasarkan Anti Corruption Act 1997, jika seseorang terbukti melakukan korupsi, maka ia akan dikenakan hukuman minimum penjara 14 hari dan denda 10.000 ringgit Malaysia atau 5 kali nilai korupsi/suap. Tergantung mana yang lebih besar nilainya. 
Jika dibandingkan dengan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, yang hanya menetapkan
ancaman maksimum seumur hidup dan denda maksimum 30 juta rupiah, dan vonis akhir masih tergantung pada pembelaan pengacara terdakwa, maka jelaslah bahwa Indonesia memang "sangat ramah" terhadap para koruptor.
Untuk lembaga antikorupsi independen dengan kewenangan yang sangat besar dalam memerangi korupsi. Di Hongkong, misalnya, ada ICAC (Independent Commission Against
Corruption) yang dapat menangkap, menggeledah, maupun menyita tanpa surat perintah
dan membekukan harta, serta menyita dokumen atau paspor tersangka korupsi, sehingga sangat sulit baginya untuk melarikan diri ke luar negeri. Hongkong sendiri saat ini menempati peringkat pertama negara paling bersih dari korupsi di dunia.
Sedangkan di Singapura ada CPIB (Corruption Practices Investigation Bureau), yang
bertugas untuk menerima pengaduan dan berwenang melakukan investigasi terhadap praktik-praktik korupsi, baik di sektor publik maupun swasta. CPIB juga melakukan investigasi terhadap para pejabat pemerintah yang dicurigai melakukan pelanggaran dan malpraktik. Institusi ini berwenang untuk meninjau ulang prosedur administrasi di departemen-departemen untuk mengeliminasi terjadinya praktik korupsi. Komisi ini bekerja efektif karena adanya dukungan politik penuh dari pihak pemerintah. Hasilnya, Singapura menjadi negara yang bersih dari praktik korupsi.
Keberhasilan Singapura kemudian memacu Malaysia untuk membentuk badan yang sama. ACA (Anti Corruption Agency), yang berada langsung di bawah kantor Perdana Menteri. Badan ini memiliki kewenangan penuh untuk mengusut kasus-kasus korupsi, semisal melakukan penyelidikan masalah suap atau korupsi atau penyalahgunaan kekuasaan. Bahkan ACA berhak menyita dokumen atau barang, memeriksa rekening bank, dan menahan para tersangka serta menuntutnya ke pengadilan dengan sistem pembuktian terbalik.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar