Sabtu, 17 Desember 2011


NASIRUDDIN MM
Menjadi Sufi
Yang Kaya Raya
Potret Kehidupan Muslim Ideal di Zaman Sekarang



PENERBIT
HAIBAH PRESS BREBES
JAWA TENGAH


Menjadi Sufi Yang Kaya Raya
Potret Kehidupan Muslim Ideal di Zaman Sekarang
Penulis: Nasiruddin, MM
Desain Cover:
Satria Design Brebes
Tata Letak:
Tim Haibah Press
Cover:
http://reokta.wordpress.com/2009/10/26/sejarah-persebaran-kekuasaan-islam/sufi-darwis/
Hak  Cipta Dilindungi Undang-Undang
All Rights Reserved
Diterbitkan Oleh:
Penerbit Haibah Press
Jln.  Luwungragi RT 04/RW 07 No. 23
Kecamatan Bulakamba Brebes 52253
Telp. (0283)6175141
HP: 085226759461
        085742279126
E-mail: haibah_pressbrebes@hotmail.com
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan
ISBN: 978-602-98732-1-4
Cetakan I, 2011
Haibah  Writers Management
Menerima naskah tulisan untuk diterbitkan
Kirimkan karya Anda ke:
haibah_pressbrebes@hotmail.com
Tebal: 300 Halaman

DAFTAR ISI
PENGANTAR PENULIS...vii
PENDAHULUAN...9
MENJADI ORANG KAYA MENURUT ISLAM...17
Penghargaan Islam Terhadap Harta...17
Hakekat Harta Dalam Al-Quran...21
Harta Kekayaan Menurut Para Sufi...29
MENJADI ORANG KAYA YANG SELAMAT DARI TIPUAN HARTA...35
Tipu Daya Harta...35
Orang-Orang Yang Tersesat Karena Harta...39
Mengendalikan Harta Agar Tidak Terjerumus...49
KAYA DALAM PERSPEKTIF PARA SUFI...55
Dalil-Dalil Yang Mendukung Untuk Kaya...55
Pentingnya Kekayaan Bagi Umat Islam...63
Tujuan Utama Untuk Menjadi Orang Kaya...68
MISKIN MENURUT PARA SUFI...77
Miskin Yang Sesungguhnya...77
Pujian Bagi Orang Miskin...79
Orang Miskin Yang Beruntung...83
Kemiskinan Adalah Anugerah...92
Gambaran Kemiskinan Rasulallah...101
MENERAPKAN MAKNA ZUHUD DENGAN BENAR...103
Pengertian Zuhud Yang Benar Menurut Para Sufi...103
Boleh Memiliki Harta Asal Hati Tidak Selalu Memikirkannya...106
MOTIVASI ISLAM UNTUK MENJADI ORANG KAYA...119
Motivasi Untuk Bekerja Keras dan Ulet...119
Ayat-Ayat Al-Quran Tentang Motivasi Untuk Kaya...126
Sektor-sektor Lapangan Kerja dalam Al- Qur’an dan Sunah...133
Sugesti Para Sufi Untuk Bekerja Keras...139
KISAH SUKSES PARA SUFI YANG KAYA RAYA...143
Berbagai Profesi Para Sufi dalam Pekerjaannya...143
Teladan Para Tokoh Sufi yang Kaya Raya...147
۩ Kehidupan Sufistik Utsman bin Affan...148
۩ Abdurrahman bin Auf...151
۩ Abu Darda’...160
۩ Muadz bin Jabal...163
۩ Abu Hurairah...165
۩ Abu Thalhah al-Anshari...166
۩ Abu Dahdah al-Anshari...168
۩ Syekh Abul Hasan as-Syadzili as-Syadzili...169
۩ Al-Imam Ja’far as-Shadiq...173
۩ Muhyiddin Ibn ‘Arabi, Sulthanul Aulia...180
۩ Syekh Ibnu Atha’illah, Penulis Kitab
    al-Hikam...182 
۩ Imam Syamsuddin ad-Dirawaty Dimyati...186
۩ Imam Zainal Abidin as-Sajjad ra...188
۩ Imam Malik Bin Anas...190
۩ Sufi Persia Fariduddin Attar...194
۩ Nidzam al-Mahmudi...195
۩ Ala bin Ziyad al-Haritsi...197
۩ Syekh at-Tijani...201
۩ Imam Ahmad bin Isa al-Muhajir...203
۩Abdullah bin Abubakar bin Abdurrahman
   Assagaf...204
۩ Syaikh Nasiruddin Ubaidullah al-Ahrary
    as-Samarqandi...205
۩ Al-Laits bin Sa’ad (94-175 H)...207
۩ Abdullah bin al-Mubarak (118-181 H)...210
۩ Sayyidi Hasan bin Ali Bin Abi Thalib...216
۩ Sari as-Saqati...218
۩ Syaikh Bahaudin Naqsybandi...219
۩ Prof. Dr. H. Saidi Syekh Kadirun Yahya...220
۩ Ibnu Hajar al-Asqolani...224
۩ Sufyan ats-Tsauri...228
۩ Syaqiq al-Balkhy...229
۩ Syeikh Ihsan Jampes...232
MENELADANI CARA BISNIS PARA SUFI...235
Jiwa Bisnis Rasulallah Saw...235
Strategi Bisnis Khadijah, Sang Istri Nabi...243
Menumbuhkan Mental Bisnis Ala Abdurrahman Bin Auf...245
Imam Abu Hanifah, Ulama Plus Pengusaha...250
Syekh Junaid al-Baghdadi, Mengajar dan Bisnis Sama-Sama Jalan...253
YANG DILAKUKAN SUFI DENGAN KEKAYAANNYA...257
Suka Berderma Ciri Khas Para Sufi...257
Harta Kekayaan Bagi Mereka Seperti Tanah...263
Pengaruh Ajaran Sufi Terhadap Pemberdayaan Sosial Ekonomi Umat...279
Aplikasi Ajaran Sufi di Zaman Modern...289 
DAFTAR PUSTAKA...293
LEBIH AKRAB DENGAN PENULIS...299
 

RINGKASAN BUKU
Di tengah era modern yang diwarnai kehidupan keduniaan (hedonisme) dan materialisme, masyarakat selalu disibukkan oleh aktivitas yang berkenaan dengan pengumpulan materi sebanyak mungkin. Ini seiring dengan tuntutan dan kebutuhan hidup yang makin kompetitif dalam arus globalisasi yang selalu berorientasi bisnis.
Dengan kata lain, manusia hidup di dunia ingin menjadi kaya dengan menempuh cara apa pun, halal atau haram. Keinginan untuk kaya bukan lagi keharusan tetapi sudah menjadi sifat dasar manusia modern.
Dalam tradisi tasawuf, para sufi menempatkan kemiskinan dan al-faqru (kefakiran) pada maqam (jenjang) yang tinggi sebagai salah satu syarat agar dapat wusul (sampai) dan makrifat (mengenal) Allah. Mereka mempraktikkan al-faqru dengan gaya hidup yang benar-benar jauh dari kemewahan dan kemegahan dunia.
Mereka memilih jalan hidup yang penuh penderitaan, kesedihan, cobaan dan kemiskinan. Sebagai contoh Imam Ghazali dalam kitab karangannya Ihya Ulumiddin, memaparkan keunggulan dan keutamaan al-faqru sampai berpuluh-puluh halaman tetapi dalam memaparkan keutamaan harta dan kekayaan hanya sedikit dan sekilas.
Sebenarnya Islam tidak pernah melarang umatnya untuk mengumpulkan harta kekayaan (hubud dunya) sebanyak mungkin bahkan menganjurkan umatnya tidak melupakan bagian dunianya di samping akhiratnya. Islam menganjurkan adanya balance kepentingan duniawi dan ukhrawi sebagaimana firman Allah,
“... Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah padamu kebahagiaan negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari kenikmatan dunia.” (QS Al-Qashash: 77).
Dikuatkan Hadist Nabi saw yang diriwayatkan Al-Khatib dari Anas,
“Sebaik-baik kamu adalah orang yang tidak meninggalkan akhirat untuk memperoleh dunianya dan tidak meninggalkan dunianya untuk memperoleh akhiratnya (tetapi harus keduanya) dan janganlah kamu membuat susah masyarakat.”
Islam hanya tidak membenarkan hati kita terlalu kumanthil (lekat-lekat) terhadap harta benda sehingga dapat melupakan dan melalaikan kewajiban taat dan menyembah Allah swt. Inilah inti dari sifat zuhud (menghindari dunia). Banyak orang salah mengartikan bahwa zuhud harus miskin dan menderita tanpa harta benda.
Padahal pengertian zuhud yang sebenarnya adalah sebagaimana penjelasan Sufi Agung Sufyan as-Tsauri, “Memendekkan angan-angan hati kita kepada urusan dunia, bukan berarti makan yang tidak enak dan berpakaian compang-camping.” Jadi bila ada orang yang kaya raya tetapi hatinya tidak selalu memikirkan dunia berarti orang tersebut mempunyai sifat zuhud dan sebaliknya bila ada orang miskin tetapi hatinya selalu memikirkan urusan dunia berarti orang tersebut tidak zuhud tetapi hubud dunya. Intinya, zuhud bukan dilihat dari kaya atau miskin tetapi dari hatinya.
Pengertian zuhud sendiri dalam Al-Quran dijelaskan dalam surat Al-Hadid ayat 23,
“Supaya kamu tidak berputus asa terhadap sesuatu yang telah hilang di hadapanmu dan tidak terlalu gembira terhadap karunia yang datang padamu.”
Ada yang unik dari penjelasan Al-Ghazali dalam Ihya-nya: “Az-Zuhdu fi az-Zuhdi bin idhari diddihi” (zuhud dalam pengertian zuhud yang sebenarnya adalah menampakkan perbuatan yang seolah-olah bertentangan dengan zuhud itu sendiri). Beliau mengartikannya kesempatan seorang arif yang zuhud adalah meninggalkan keinginan syahwatnya karena Allah tetapi terkadang juga menampakkan dirinya mengikuti syahwatnya dengan tujuan menutupi derajat kesufiannya di mata masyarakat sehingga ia tidak terganggu dari penilaian mereka seperti dihormati, dipuji, dikultuskan, diagungkan atau dicela.
Dalam Islam, harta kekayaan bisa menjadi sesuatu yang terpuji bila digunakan untuk kemaslahatan dan kepentingan dunia dan agama sehingga dalam Al-Quran, Allah sering menyebut harta dengan khair (kebaikan) dengan catatan banyak atau sedikitnya rezeki tidak ditentukan ketakwaan seseorang tetapi memang sudah ditentukan dalam catatan amal sebagaimana sabda Rasulullah saw,
“Rezeki telah dibagi dan dialokasikan sesuai bagian yang telah ditentukan. Ketakwaan seseorang tidak berarti menambah rezekinya dan kefasikan seseorang tidak pula berarti mengurangi rezekinya.”
Seorang sufi ternama, Said bin Musayyab pernah berkata, “Tidak ada kebaikan bagi orang yang tidak mau mengumpulkan harta dari barang halal.” Bahkan Sufyan as-Tsauri dengan tegas mengatakan, “Harta di zaman sekarang adalah senjata ampuh bagi orang mukmin.” Rasulullah saw sendiri mengakui betapa pentingnya harta kekayaan sebagai penopang hidup manusia modern baik urusan dunia maupun agamanya sebagaimana sabda beliau yang diriwayatkan oleh At-Tabrani,
“Apabila akhir zaman datang maka penopang agama dan dunia seseorang adalah dirham dan dinar.”
    Dari penjelasan di atas, jelaslah menanamkan pola hidup miskin di zaman modern sebagaimana yang diajarkan para sufi terdahulu merupakan konsep usang yang harus ditinggalkan dan sudah tidak cocok dengan era globalisasi sekarang.
Terbukti kini banyak para kiai, ulama dan mursyid tarekat yang nota bene pewaris para nabi mempunyai rumah mewah, kendaraan yang sangat mahal dan harta yang berlimpah. Sebuah pemandangan yang kontras dan jauh berbeda dengan gaya hidup panutannya, Rasulullah saw.
Beliau menggoreskan sejarah hidupnya dengan hidup miskin tetapi tidak berarti menyuruh atau menganjurkan hidup miskin, sebab kenyataannya banyak sahabat beliau yang kaya raya bahkan beliau mengawinkan dua putrinya kepada sahabat yang kaya raya, Ustman bin Affan.
Ketika beliau ditawari hidup kaya oleh Allah, beliau menjawab dengan dua alasan, pertama, beliau malu kepada para nabi dan rasul terdahulu karena mereka merasakan kepedihan luar biasa dalam menyampaikan Risalah Allah, tidak hanya lapar dan miskin tetapi juga cacian, siksaan dan cobaan yang datang silih berganti, toh mereka tetap sabar dan tabah.
Ketika beliau ditanya tentang kebiasaan seseorang yang berpakaian dan memakai perhiasan bagus beliau menjawab, “Inna Allah jamilun yuhibbul jamal.” (Allah adalah Tuhan Yang Maha Indah dan menyukai keindahan). Jadi beliau juga memberi justifikasi kepada umatnya untuk hidup mewah asal tetap taat dan tidak lalai terhadap kewajiban Allah. Adapun kepada umatnya yang hidup miskin, beliau menghibur dan meyakinkan bahwa Allah akan memberi anugerah yang besar melebihi orang kaya kepada orang miskin di akhirat kelak asal sabar dan menerima.
Yang menarik, ada penjelasan dari seorang sufi besar Imam as-Syadzili yang selalu menganjurkan hidup “ngota” dan parlente, beliau menyarankan pada para sahabatnya, “Makanlah makanan yang paling lezat, minumlah minuman yang paling enak, berpakaianlah dengan pakaian yang paling mahal sebab bila seseorang telah melakukan itu semua dan berkata “Alhamdulillah” maka semua anggota badannya menjawab dan mengakui dengan bersyukur. Sebaliknya bila seseorang makan hanya gandum dengan garam, berpakaian lusuh, tidur di lantai, minum air tawar kemudian ia berkata, “Alhamdulillah” maka seluruh anggota badannya malah marah, bosan dan mencela pada orang yang mengatakan itu, sebab anggota badan tersebut merasa tidak diberi hak yang selayaknya, tidak sesuai antara pernyataan syukur dan kenyataannya. Seandainya ia bisa melihat langsung, tentunya ia akan melihat kebosanan dan kemarahannya. Tentunya ia memilih dosa karena membohongi anggota badannya, kalau begitu lebih baik orang yang menikmati kesenangan dunia dengan penuh keyakinan kepada Allah sebab pada hakikatnya orang yang menikmati kesenangan dunia adalah melakukan sesuatu yang diperbolehkan Allah dan barang siapa menimbulkan kebosanan dan kemarahan pada anggota badannya pada hakikatnya melakukan sesuatu yang diharamkan Allah.”
Dari penjelasannya, beliau memberikan pembenaran dan pembelaan yang kuat bahwa seorang sufi boleh hidup mewah di dunia dengan catatan memakai pakaian yang mahal dengan niat menampakkan nikmat Allah bukan untuk memuaskan nafsunya. Juga makan dan minum yang lezat dengan niat agar seluruh anggota badannya dapat bersyukur dengan anugerah yang telah diberikannya.
Bahkan beliau tidak menghendaki seorang sufi yang miskin, kelemproh, lusuh, kumal, dekil dan kucel. Ini dibuktikan dalam sejarah, beliau selalu memakai pakaian yang mewah dan mahal, berkendaraan yang bagus dan berbagai fasilitas yang serba lux, sangat berbeda dengan gaya hidup para sufi pada umumnya. Toh beliau tetap mempunyai reputasi dan nama yang harum sebagai sufi agung, dijadikan panutan dan dikagumi hingga sekarang. Sebab kenyataannya beliau menggunakan fasilitas kemewahan dunia semata-mata untuk kepentingan ibadah kepada Allah dan untuk kepentingan umum umat Islam pada zamannya, sebuah ibadah sosial yang dianjurkan dalam Islam.
Imam as-Syadzili mengilustrasikan gaya hidup mewahnya dengan sebuah kisah. Pada suatu hari ada seorang yang hendak bertemu Imam Abu Hasan Ali al-Syadzili di rumahnya. Karena belum tahu rumahnya, ia bertanya kepada orang lain, orang itu segera pergi ke tempat yang ditunjukkan, begitu sampai ke alamatnya, ia tidak jadi masuk ke rumah itu, karena ia mendapatkan sebuah bangunan rumah bagai istana raja yang sangat indah dan megah. Ia tidak percaya kalau itu rumah tempat tinggal imam yang dicarinya. Dalam hatinya ia yakin bahwa seorang wali tidak akan hidup semewah itu. Seorang wali adalah orang yang hidup sederhana dan pasti mengamalkan zuhud, yaitu sikap menjauhi dunia. Melihat kenyataan itu, ia segera pulang, tetapi di tengah jalan ia berjumpa dengan seorang pengendara kereta kuda yang mewah mempersilakan naik bersamanya. Dengan penuh rasa waswas akhirnya ia menerima tawaran orang tersebut. Dalam pembicaraan di atas kereta, diketahuilah bahwa pengendara kereta itu tidak lain Imam Abu Hasan as-Syadzili sendiri.
Ketika ia tahu siapa yang ditumpanginya, ia pun tidak berani menyembunyikan niatnya semula dan mengatakan bahwa sebenarnya ia baru saja pergi ke rumah beliau. Namun niat itu digagalkan karena tidak percaya bahwa rumah itu adalah rumah Sang Imam. Mendengar penuturan tersebut, Imam Abu Hasan kemudian memberikan sebuah gelas yang berisi minuman anggur pilihan. Ia sangat kagum karena selama hidupnya belum pernah melihat dan meminum anggur semacam itu. Rasa kagum itu membuatnya merasa takut kalau anggur itu tumpah atau gelasnya terlepas dari genggamannya. Apalagi kereta yang ia tumpangi sedang lari kencang mengelilingi kota. Seluruh perhatiannya tertuju pada gelas dan anggur sehingga ia tidak bisa menikmati indahnya perjalanan dan megahnya pemandangan kota sekelilingnya.
Setelah selesai mengelilingi kota, kereta beliau berhenti di halaman rumahnya tanpa disadari orang tersebut, ia terus saja memperhatikan anggurnya. Ia baru sadar setelah Sang Imam bertanya kepadanya, “Bagaimana perjalanan tadi, apakah kamu bisa menikmati keindahan kota ini?” Ia tidak bisa menjawab karena selama perjalanan memang tidak melihat apa-apa selain anggur yang ada di tangannya. Sebelum orang itu menjawab, Imam Syadzili melanjutkan kata-katanya, “Nah, antara kamu, keindahan kota dan anggur di tanganmu itu ibarat aku sendiri dengan hartaku dan Allah dalam batinku. Karena perhatianku hanya tertuju kepada Allah, aku tidak pernah peduli apakah kota ini indah atau tidak.”
Orang itu memahami apa yang dilihat dan didengarnya. Ia gembira karena mendapatkan pelajaran zuhud dari Sang Imam.
Penasaran dengan kelanjutannya, Ayo miliki bukunya di Toko Buku Gramedia, Gunung Agung dan lainnya  atau  Hubungi Penerbit Haibah Press  yang mempunyai Motto “Kami Hanya Menerbitkan Buku-Buku Yang Bermutu” di Alamat ini

Penerbit Haibah Press
Jln.  Luwungragi RT 04/RW 07 No. 23
Kecamatan Bulakamba Brebes 52253
Telp. (0283)6175141
HP: 085226759461
        085742279126
E-mail: haibah_pressbrebes@hotmail.com
Harga: Rp. 55.000
BEBAS ONGKOS KIRIM

Buruan BELI biar jangan sampai kehabisan!























Tidak ada komentar:

Posting Komentar