Jumat, 23 Desember 2011

MENYOROT PERGESERAN PERILAKU NU DALAM KONSTELASI POLITIK INDONESIA 
Oleh: Nasiruddin MM
Nahdatul Ulama (NU) lahir dari kesepakatan para kyai pada masa kolonial Belanda. Organisasi ini lahir pada 16 Rajab 1344 H (13 Januari 1926). Dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy'ari sebagai Rois Akbar. NU memiliki struktur organisasi dari tingkat pusat hingga cabang kelurahan. Bentuk kepengurusan terdiri dari: Mustayar (penasehat), Syuriyah (pimpinan tertinggi), dan Tanfidziyah (pelaksana harian). Sampai akhir tahun 2000, jaringan organisasi NU meliputi 31 wilayah, 339 cabang, 12 cabang istimewa, dan 2.630 ranting di seluruh Indonesia. KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, cucu dari pendiri NU, KH Wahid Hasyim, pernah menyebut angka 40 persen dari seluruh penduduk Indonesia. Angka ini mendekati perkiraan sebuah lembaga yang menyebut angka 70 juta warga NU di seluruh Indonesia. Ada juga yang memperkirakan hanya 40 juta orang.
            Tahun 1952, NU pernah  menyatakan diri sebagai partai politik, lalu menjadi partai yang cukup penting perannya. Tahun 1973, NU berfusi dengan beberapa partai Islam dalam PPP. Muktamar tahun 1984 memilih Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi Ketua Umum PBNU dan NU menyatakan melepaskan diri dari dunia politik praktis. Sejak itu, Gus Dur membawa NU menuju kegiatan kultural yang positif. Gus Dur mengilhami generasi muda NU untuk melakukan eksplorasi ke dalam dunia pemikiran yang ternyata amat sesuai dengan kebutuhan mereka. Wacana demokrasi, pluralisme, civil-society dan HAM menjadi menu yang tepat bagi mereka. Keteguhan sikap dan ketegaran Gus Dur mengusung wacana itu, menjadi rujukan banyak pihak dalam memberi penilaian terhadap NU.
            NU sebagai sebuah organisasi besar, memang merupakan incaran menarik bagi sejumlah parpol maupun capres. Dapat menggandeng NU berarti akan mendapatkan dukungan puluhan juta rakyat. Namun, kalau NU sendiri sudah terpecah-belah, dukungan maksimal atau utuh jelas menjadi tidak mungkin. Seorang peneliti asal Perancis pernah berpendapat bahwa Nahdlatul Ulama, NU adalah organisasi Islam yang paling demokratis di Indonesia, bahkan mungkin di dunia. Ya memang pernah ada masa ketika organisasi Islam Nahdlatul Ulama, NU dianggap sebagai sebuah organisasi yang sangat tradisional, sangat konservatif. Anggapan ini tidak lepas dari struktur NU sendiri yang kebanyakan memang berasal dari pesantren-pesantren di desa-desa dan sangat amat menghormati serta menuruti kata-kata para kyai. NU dideklarasikan untuk memagari perkawinan Islam ahlussunah wal jamaah dengan tradisi lokal dari propaganda kelompok Islam perkotaan, untuk tidak menyebut Islam modernis.
            Komunitas kiai merupakan sesuatu yang sangat khas dalam masyarakat NU. Mereka bukan saja menjadi panutan dalam kehidupan beragama, tetapi juga dalam kehidupan sosial yang lain, termasuk dalam kehidupan politik. Dalam istilah Peter L Berger (1991) mereka mempunyai hubungan dialektis dengan masyarakat di sekitarnya. Artinya, di satu pihak kiai merupakan produk struktur sosial, namun di lain pihak kiai juga mempunyai peran untuk membentuk struktur sosial. Dengan demikian, dalam perspektif Berger, terdapat hubungan timbal balik antara kiai dan struktur masyarakat di sekitarnya. Masalahnya kemudian adalah bagaimana bentuk dialektika antara kiai dan masyarakatnya.
            Meskipun kiai berpegang demikian teguh dan terikat kepada alam pikiran tradisional, tidak berarti kiai tidak bisa beradaptasi dengan modernitas karena mereka mampu menerjemahkan nilai-nilai spiritual tradisionalnya dalam kehidupan modern. Di sinilah para peneliti Islam tradisional sering salah menyimpulkan bahwa modernisasi yang bertumpu pada rasionalitas telah mendorong masyarakat meninggalkan kiai karena peran mereka tidak dibutuhkan lagi. Bahkan, secara sinis kiai sering dikatakan sebagai penghambat modernitas. Kesimpulan demikian jelas keliru dan tidak sesuai dengan realitas. Pada kenyataannya, di tengah derasnya arus modernisasi peranan kiai tetap saja menonjol, meskipun harus diakui di sana sini ada perubahan dan pergeseran pola hubungan kiai dan masyarakat.
             NU adalah sebuah organisasi keagamaan yang pro civil society. Ada dua argumen yang sering digunakan untuk menyebut NU sebagai organisasi yang pro civil society. Pertama, komitmen NU untuk kembali ke khittah 1926. Sebagian pengamat menganalisis, kembalinya NU ke khittah 1926 lebih disebabkan kekecewaan-kekecewaan yang dialami NU sebagai organisasi massa terbesar dan penyumbangan suara terbanyak kepada PPP (setelah fusi), namun tetap saja berada dalam posisi yang marginal. NU selalu merasa dimanfaatkan oleh PPP terlebih lagi menjadi tidak berdaya vis a vis negara. Kekecewaan demi kekecewaan itu menyebabkan NU memutuskan untuk keluar dari PPP dengan cara kembali ke khittah 1926.
            Berbeda dengan analisis di atas, menurut kaum nahdliyyin dan orang-orang yang simpati kepadanya, kembalinya NU ke khittah 1926 lebih disebabkan oleh kondisi internal NU yang dianggap telah keluar dari semangat kelahirannya sebagai organisasi sosial keagamaan (jam'iyyah diniyyah). Dengan kembali ke khittah 1926 maka ruang gerak NU akan semakin luas, tidak saja dalam wilayah politik, tetapi juga dapat memerankan dirinya dalam wilayah sosial, ekonomi dan budaya. Lebih penting dari itu, dengan kembali ke khittah 1926 maka peran NU dalam upaya demokratisasi dan penguatan civil society yang menjadi cita-citanya dapat lebih mudah diwujudkan. (AS. Hikam, 1997 :135)
Kedua, fenomena Gus Dur yang memposisikan dirinya sebagai pengawal khittah 1926. Selama menjadi ketua NU, Gus Dur dengan sangat baik memerankan dirinya sebagai tokoh yang sangat konsisten dalam penegakan demokrasi dan menolak segala bentuk kekerasan yang dilakukan, terlepas atas nama agama ataupun negara. Bahkan seringkali kritikannya selalu di arahkan kepada pemerintah orde baru yang mempraktikkan tindakan-tindakan represif dan kurang demokratis terhadap berbagai masalah. Benedic Anderson menilai sikap NU tersebut sebagai oportunis. Cara pandang dan kesimpulan Benedic Anderson tentang NU di atas berbeda dengan pembacaan Mitsuo Nakamura. Menurut antropolog asal Jepang ini, meskipun NU dianggap sebagai organisasi tradisional tetapi sebetulnya sangat radikal dalam arti yang orisinil, yang disebut Nakamura sebagai tradisionalisme radikal.

            Keradikalan NU tampak dalam struktur organisasi yang otonom dan independen dari unit-unit komponen utama. NU juga tampak radikal dalam politik. NU sangat kritis terhadap negara, dan selalu membaca arena pertandingan dalam setiap keputusan-keputusan politiknya. NU juga bersifat tradisional dalam arti yang vital, membangun kehidupan beragama dan transmisi nilai agama melalui tradisi kesarjanan dan pendidikan. Namun demikian, tradisionalisme NU tidak berarti muatan yang ditransmisikan juga tradisional, karena apa yang ditransmisikan tersebut adalah sesuatu yang ideal. Bentuk transmisi bisa tradisional tetapi yang ditransmisikan bisa sangat radikal. Ketiga bingkai tersebut (radikalisme organisasi, situasionalisme politik, dan tradisionalisme keagamaan) dalam kerangka cyrcal dapat dijelaskan, bahwa keyakinan NU pada tradisi sunni menopang otonomi ulama dan memperkuat institusionalisasi tradisi dalam struktur NU. Tradisionalisme keagamaan meningkatkan radikalisme organisasinya dan membuatnya berperilaku selektif secara situasional yakni adaptif-radikal vis a vis politik eksternal. Dalam situasi yang berlawanan secara politik, radikalisme organisasi memunculkan perannya sebagai artikulator kesumpekan politik massa yang diabaikan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar