Jumat, 23 Desember 2011

Musibah Bangsa Indonesia: Ujian Atau Azab
Oleh: Nasiruddin

Dua bulan setelah suksesi nasional dari pemerintahan Megawati berganti pemerintahan Susilo Bambang  Yudoyono, bangsa ini diguncang musibah yang maha dahsyat yaitu gempa yang dikuti tsunami melanda saudara-saudara kita di Aceh. Ratusan ribu orang kehilangan nyawa dan harta benda. Semua mata dunia tertuju ke sana dengan memberi bantuan yang disertai duka dan air mata. Beberapa bulan setelah musibah ini dengan silih berganti musibah-musibah lain saling bersusulan seakan-akan tiada henti. Gempa Yogyakarta, Tsunami Pangandaran, banjir besar di beberapa daerah, longsor, sampai pesawat dan kapal laut hilang di telan ganasnya lautan. Semua musibah itu datang begitu cepat dan mendadak membuat kepiluan yang mendalam seakan bencana yang menimpa bangsa tercinta ini bisa ditebak dan diprediksi kapan dan dimanapun.
            Ketika orang ingin mengetahui sebab-sebab kejadian, dengan mudah dapat diketahui bahwa semua karena human error seperti pembalakan liar, mismanajemen, dan ketidakpedulian manusia akan keseimbangan alam. Human error merupakan alasan yang mudah dijadikan kambing hitam tapi tak jarang manusia juga berani menyalahkan tuhannya. Mereka mengatakan Allah tidak sayang lagi pada kami padahal kami selalu beribadah, Allah kejam, tidak adil dan sebagainya. Bila kesalahan ini dialamatkan pada manusia mungkin lebih bijaksana tetapi bila kesalahan ini dialamatkan pada Allah selaku pengatur bencana tentu ini terlalu mengada-ada. Bukankah Allah akan berbuat baik pada manusia yang baik dan akan menimpakan bencana pada manusia yang jahat. Yang jadi masalah adalah apakah bencana yang melanda bangsa ini merupakan ujian dan cobaan atau azab dan siksaan dari Allah.
            Dikatakan ujian dan cobaan bila musibah ini ditimpakan pada manusia-manusia beriman yang selalu berbuat baik sebagai ujian apakah benar-benar menjadi hamba yang sabar dan tawakal. Dikatakan azab dan siksaan bila musibah ini ditimpakan pada manusia-manusia yang jahat yang selalu membuat kerusakan dimuka bumi ini sebagai tanda murka Allah dan siksaan-Nya. Sebenarnya tidaklah sulit membedakan antara ujian atau cobaan dan azab atau siksaan. Bila musibah datang dan setelah itu manusia berbondong-bondong untuk semakin taat berbuat baik dan selalu sabar maka itu merupakan ujian. Tetapi bila musibah itu datang dan setelah itu manusia semakin menjauhi Allah, tetap ingkar, kafir dan tetap berbuat jahat maka itu merupakan azab dan siksaan dari Allah.
Ujian Dan Azab Adalah Takdir Allah
            Pada hakikatnya musibah dan anugerah merupakan ujian dari Allah. Orang saleh yang tertimpa musibah merupakan cobaan dari Allah. Orang jahat yang mendapat anugerah juga merupakan ujian dari Allah. Intinya semua manusia akan selalu diuji oleh Allah baik dengan hal-hal yang menyenangkan maupun hal-hal yang tidak menyenangkan. Ketika bangsa kita dicoba oleh Allah dengan berbagai musibah lihatlah perilaku dan keimanan mereka. Setelah musibah apakah bangsa Indonesia semakin beriman atau lebih mudahnya, lihatlah apakah setelah musibah datang orang-orang memohon ampun pada sang Khaliq beribadah memenuhi masjid dan musalla atau setelah musibah orang-orang lebih asyik pergi ke diskotik, pub, tempat-tempat maksiat, dan semakin ingkar kepada Allah. Sesuatu yang mudah diamati.
            Ujian dalam bentuk sesuatu yang menye­dihkan -seperti kata Sayyid Qutb-sangat mu­dah dijelaskan. Bahwa ia berfungsi mengenali sejauh mana daya tahan seseorang, kesabaran­nya atas kesusahan, kepercayaannya kepada Rabb-nya, pengharapannya akan rahmat-Nya. Adapun ujian, cobaan dan fitnah dalam bentuk kesenangan, justru itu yang perlu pen­jelasan. Ujian dan cobaan dalam bentuk kebaikan jauh lebih mencengkeram. Betapa banyak manusia tegar menghadapi ujian yang menyedihkan, tetapi alangkah sedikit yang tetap kokoh menghadapi ujian pada hal-hal yang baik dan menyenangkan. Betapa banyak yang sabar menahan sakit dan kepayahan, tetapi alangkah sedikitnya yang tegar dan sabar menghadapi ujian sehat dan kemampuan fisik. Alangkah terbatasnya yang mampu menerjang beban-beban ujian yang menyenangkan itu.
       Orang yang lulus menghadapi ujian kese­nangan, kekayaan yang melimpah, syahwat dan kesenangan nafsu, yang sabar atas semua ini hanya sedikit. Sekali lagi, kesenangan adalah ujian dan fitnah. Kematian, bencana dan musibah juga fitnah. Allah SWT berfirman,
وَلَنـََبْلُوَنــَّكُمْ بـِشَيْئٍ مِنَ اْلـخَوْفِ وَاْلـجُوْعِ وَنَقْصٍ مِّنَ اْلأَمْوَالِ وَاْلأنَـْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبـَشِّرِ الصَّابِرِيْنَ (البقرة: 155)
"Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar." (QS.AI-Baqarah: 155).
Ketakutan adalah lawan dari rasa aman. Maka, apalah arti hidup bila tidak ada rasa aman? Sedang kelaparan? Tidak ada yang tidak membutuhkan makanan. Hidup tanpa beban saja perlu makanan, bagaimana dengan hidup yang penuh beban? Sedang kekurangan jiwa, menurut para ulama adalah kematian anak atau keluarga. Ini termasuk dalam jenis ujian yang tidak menyenangkan. Ujian dalam bentuk hal-hal yang buruk dan mengenaskan. Istri, anak, harta dan keluarga juga ujian. Allah SWT menegaskan,
وَاعْلَمُوْا أَنَّمَا أَمْوَالَكُمْ وَأَوْلاَدَكُمْ فِتْنَة ٌوَأَنَّ اللهَ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيْمٌ (ألأنفال: 28)
"Dan ketahuilah bah­wa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi AI­lah-lah pahala yang besar." (QS. AI-Anfal: 28).
Ketika Allah Menegur Bangsa Indonesia
Melihat musibah yang datang silih berganti di negeri ini, bila diamati moral dan perilaku yang menyimpang dari rakyatnya lebih tepat dikatakan bahwa Indonesia sedang diazab oleh Allah. Pada awalnya Allah menganugerahkan kekayaan alam yang berlimpah ruah, tanah yang subur, dan gemah ripah loh jinawi. Tetapi sayang pada akhirnya mereka berbuat ingkar dan membuat kerusakan di muka bumi. Hutan yang merupakan pencegah banjir yang paling efektif ditebang sampai gundul sehingga terjadi banjir besar, minyak dan gas bumi yang seharusnya dikelola dengan baik malah dieksploitasi tanpa aturan sehingga menyebabkan kesengsaraan warga di sekitarnya seperti yang dilakukan Lapindo Brantas. Laut yang tenang dirusak ekosistemnya. Ditambah lagi kerusakan moral dari masyarakatnya. Menjamurnya korupsi, kolusi, dan nepotisme telah mendarah daging dari kalangan pejabat sampai rakyat kecilnya. Semakin maraknya peredaran narkoba sampai ke pelosok kampung-kampung terpencil, semakin merajalela minuman keras dan zina semakin dianggap biasa dari kalangan kota sampai kalangan desa. Mereka semakin tidak peduli dengan yang halal dan yang haram. Hidup menjadi kubangan lumpur yang busuk. Nafas-nafas kehidupan ditopang oleh transaki-transaksi yang haram. Dalam hadits Rasulullah menjelaskan,
"Sungguh akan datang kepada manusia ini suatu masa, di mana seseorang sudah tidak peduli lagi, bagaimana caranya mendapatkan harta, apakah secara halal ataukah dengan cara haram." (HR. Bukhari)
            Lengkap sudah kerusakan yang dilakukan rakyat negeri tercinta ini padahal mereka mengaku beragama Islam tetapi dimana hati nuraninya. Tidaklah berlebihan jika kerusakan moral dan perilaku yang menyimpang sudah sepantasnya mendapat balasan yang setimpal. Memang masih banyak rakyat Indonesia yang selalu berbuat baik, memakmurkan alam dan selalu beribadah pada Allah tetapi kebaikan dan keimanan mereka masih kalah dibandingkan kejahatan dan kerusakan dari masyarakatnya. Rasulallah menjelaskan apabila ada segolongan orang saleh tetapi membiarkan kejahatan dan kerusakan dari segolongan orang-orang jahat maka Allah akan menimpakan azab yang sama-sama ditanggung baik oleh orang yang saleh maupun orang yang jahat. Dijelaskan dalam hadist yang diriwayatkan oleh Ahmad.
“Sesungguhnya Allah tidak akan menyiksa segolongan orang tertentu karena dosa-dosa dan kesalahan orang pada umumnya sampai bila orang yang melihat kemunkaran dan ia mampu mencegah kemungkaran tersebut tetapi diam saja. Di saat itu azab akan ditimpakan”
            Sederet cobaan diatas, sungguh akan terasa berat bila sampai mengganggu sisi kemusliman seseorang. Atau bahkan ia sesungguhnya telah menjadi ujian kemuslimannya, dan bukan lagi ujian kemanusiaan. Penjelasannya sangat sederhana bila kesengsaraan karena musibah mengantarkan seseorang menjadi kafir, maka kesengsaraan dan kefakiran itu tidak lagi sekedar ujian kemanusian tetapi sudah menjadi bencana kemusliman. Bila bermacam ujian kemanusiaan sampai mengguncang keyakinan kemusliman kita, mengotori moral ketundukan kita kepada Allah, maka saat itulah ujian-ujian kemanusiaan telah menyentuh ketahanan kemusliman kita. Seperti harapan para petani yang semakin patah. Lantaran terlalu lama menanti hujan. Lalu menjuntai dari dalam hatinya prasangka-prasangka buruk terhadap Allah tanpa sadar, hidup yang begitu pahit telah perlahan-lahan menghapus nama Allah dari dalam lubuk hatinya. Ia nyaris saja lupa, bahwa Allah lah yang menurunkan hujan padahal Allah berfirman,
أَفَرَأَيْتُمُ اْلمـَآءَ الَّذِيْ تَشْرَبُوْنَ (68) ءَأَنْتُمْ أَْنْزَلْتُمُوْهُ مِنَ اْلمُزْنِ أَمْ نَحْنُ اْلمـُنْزِلُوْنَ (69) لَوْ نَشـَـآءُ جَعَلْنَاهُ اُجَاجًا فَلَوْلاَ تَشْكُرُوْنَ(70) 
“Maka terangkanlah kepada-Ku tentang air yang kamu minum. Kamukah yang menurunkannya dari awan ataukah Kami yang menurunkan? Kalau Kami kehendaki niscaya Kami jadikan ia asin. Maka mengapakah kamu tidak bersyukur?” (QS. Al-Waqiah: 68-70)
            Sebuah ujian bisa mengguncang kemusliman siapa saja. Seperti kepergian orang-orang yang tercinta dengan cara yang tidak mengenakkan, bisa menimbulkan luka yang sangat perih. Lalu dari luka-luka tersebut bisa mengalir gumpalan-gumpalan kekecewaan akan takdir Allah. Bahwa Allah dianggap tidak adil. Padahal Allah telah menegaskan bahwa bila ajal seseorang telah tiba, maka ia tidak bisa maju sedikitpun. Maka bencana kemanusiaan itu telah menimbulkan perlawanan yang sangat naif.
Pada akhirnya marilah kita instropeksi dan menyadari kesalahan yang telah kita perbuat, bergegaslah minta ampun atas dosa-dosa kita sehingga Allah berkenan memaafkan dan mengampuni dosa kita sehingga Allah menarik azab yang telah ditimpakannya dan kita selalu berdoa semoga Allah menjadikan bangsa tercinta ini kembali menjadi negara yang makmur, sejahtera dunia dan akherat. Baldatun Tayyibatun wa Rabbun Ghafur. Amin.

 
      










 






















 I Hiduplah, dan Kaupun Pasdi Diuji

S
 ebuah ujian adalah takdir. Sekaligus tradisi. Takdir, karena manusia dicipta untuk diuji. Manusia ada dalam kuasa Allah. Allah mencip­takan manusia, lalu sesudah itu la memberi mereka ujian demi ujian. Cobaan demi cobaan. Fitnah demi fitnah. "Maha Suci Allah Yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya." (QS. AI-Mulk: 1-2)
Tradisi, karena hubungan sosial antara manusia dengan yang lainnya akan melahir­kan begitu banyak ujian, cobaan dan juga fitnah. Maka ujian adalah keniscayaan hidup. Maka fitnah dan cobaan adalah keniscayaan kemanusiaan.
Seperti sekarang ini. Ini jaman penuh ujian. Dalam pengertian yang seluas-luasnya. Meski ujian -sekali lagi- hanyalah keniscayaan idup. Tak ada hidup yang tanpa ujian. Kema kekeringan, kekurangan pangan, juga an yang terjadi di mana-mana. Wajah
jab 1424 H/4 September 2003 M
kehidupan yang carut marut dan talk lagi berbentuk adalah ujian.
Maka, dalam kacamata Islam, ujian bahkan keniscayaan Ketuhanan. Ya, artinya di antara kekuasaan Allah adalah kehendak-Nya untuk menguji manusia. Allah pasti menguji manu­sia. Dalam pengertian kemanusiaan, maupun dalam pengertian sebagai Muslim.
Segala kekacauan, dari sudut tertentu harus dipandang sebagai ujian. Meski ujian itu sendiri bisa sekaligus merupakan cobaan dan benca­na. Dalam penjelasan yang berbeda, Rasulullah menegaskan, bahwa kekacauan itu akan menyentuh wilayah-wilayah keyakinan seorang muslim. Sesuatu yang mungkin di jaman mere­ka sulit terbayangkan bentuknya seperti apa.
Keburukan dan kebaikan itu sendiri adalah fitnah, ujian dan cobaan. Ibnu Abbas menjelas­kan, bahwa Allah menguji kalian dengan kesempitan serta kelapangan, kesehatan dan kelemahan, kekayaan dan kemiskinan, yang halal dan yang haram, ketaatan dan kemaksia­tan, petunjuk dan juga kesesatan.




Tetapi yang lebih penting untuk disadari dari itu semua, adalah relevansi sebuah ujian dengan kedekatan kiamat. Setiap jaman punya cobaan dan ujiannya sendiri. Tetapi yang terpenting, adalah sejauh mana makna ujian itu bagi kian berumurnya jaman dan kian dekatnya saat penghabisan, saat kiamat akan datang.
Maka, sangat mengertilah kita, mengapa Rasulullah begitu sering mewanti-wanti umat­nya akan datangnya fitnah, ujian dan cobaan di kemudian hari. Sebab makin dekat suatu jaman dengan had kiamat, makin banyak fitnah dan godaannya.
Rasulullah SAW bersabda, "Bila kiamattelah dekat, akan terjadi guncangan fitnah seperti malam yang sangat kelam. Seseorang pada pagi harinya beriman, pada sore harinya menjadi kafir. Atau pada sore hari ia beriman. Pada pagi harinya kafir. Begitu banyak kaum yang menjual agamanya dengan sekeping dunia. Pada pagi hari mereka masih mengha­ramkan darah saudaranya sesama muslim, hartanya, juga kehormatannya. Tapi pada sore harinya mereka menghalalkan darah sesama muslim, hartanya, dan juga kehormatannya. Pada sore harinya mereka mengharamkan darah saudaranya sesama muslim. Hartanya, juga kehormatannya. Tapi pada pagi harinya mereka menghalalkan darah saudaranya, har­tanya dan juga kehormatannya." (HR. Tirmidzi).
Entah seberapa lamanya, jaman kian kero­pos menopang bebannya. Terasa benar betapa hari-hari kiamat telah semakin dekat. Tidak saja karena begitu banyak pertandanya. Tapi karena
memang hari demi hari yang berlalu adalah per­jalanan pasti menuju penghabisan usia dunia. Suatu ketika Rasulullah SAW bangun dari tidur dalam keadaan memerah mukanya, beliau lalu berkata, "La ilaha illallah, celaka orang-orang Arab karena keburukan telah dekat, telah terbuka hari ini benteng pengha­lang Ya'juj dan Ma'juj seperti ini -Rasulullah melingkarkan antara ibu jari dengan telunjuk." Para sahabat bertanya, "Apakah kita akan dibinasakan, padahal ada orang-orang shalih di tengah-tengah kita?" Rasulullah menjawab, "Ya, jika keburukan (al khabats) telah meraja­lela." (HR. Bukhari-Muslim)
Keburukan dari hadits di atas artinya segala bentuk kemaksiatan kepada Allah, yang dilaku­kan kapan saja dan di mana saja. Begitu ba­nyak tanda-tandanya. Masa itu benar-benar telah datang. Di sini, di jaman kita ini, di depan hidung kita ini. Masa itu sungguh telah lama menyelimuti hidup kita, suka atau tidak suka. Sungguh, ini benar­benar ujian yang berat.
Ujian jaman yang lain, yang menandakan dekatnya kiamat, adalah kian maraknya keke­jian, terputusnya silaturahim dan buruknya hubungan antara tetangga. Rasulullah SAW bersabda, "Kiamattidakterjadi, sehingga keke­jian dan saling berbuat keji tersebar, silaturahim terputus dan hubungan pertetanggaan menjadi buruk." (HR.Ahmac)
Semua jenis itu telah terjadi, bahkan menja­di hiasan sehari-hari. Sekadar kekejian? Lebih dari itu, kekejian yang menemukan bentuk­bentuk gilanya. Bahkan pembenaran secara hu­kumnya. Sekadar putus tali silaturahim? Lebih dari itu. Bahkan manusia hidup dalam kesendi­rian yang angkuh. Apalagi soal bertetangga.
Hubungan sesama manusia yang melahir­kan strata sosial yang berbeda, hegemoni poli­tikyang berbeda, pengakuan publikyang ber­beda, adalah juga ujian. Dalam sisi yang terhor­matnya, perbedaan itu adalah perbedaan derajat di hadapan Allah. Tetapi, sekali lagi, itu semua punya fungsi utama: pengujian. Allah SWT berfirman, "Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk menguji­mu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksa-Nya, dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS.AI-An'am: 165).
Segala ujian itu harus dijawab dengan deklarasi keimanan, prestasi keshalihan, dan kompetisi dalam kebajikan. Sebab dengan itu Rasul memerintahkan kita, ketika menemui jaman yang penuh ujian.
Ketika gelombang fitnah kian kencang, tak ada lagi pembedaan dalam mencari korban. Yang baik maupun yang buruk. Inilah yang diingatkan Allah, "Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak khusus menimpa orang­orang yang zhalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah, bahwa Allah amat keras siksaan­Nya." (QS. AI-Anfa1:25)
Imam Ibnu Katsir menjelaskan makna ayat ini, bahwa Allah SWT memperingatkan hamba­hamba-Nya yang beriman akan adanya fitnah, yaitu ujian dan cobaan yang menimpa semua orang, yang jahat maupun yang baik. Allah tidak mengkhususkan fitnah tersebut hanya bagi orang yang melakukan kemaksiatan dan yang terlibat langsung dalam dosa, namun semuanya terkena tanpa bisa menolak dan mencegahnya."
Sebab, seperti kata Sayyid Qutb, "Iman bukan kata-kata yang diumbar. Tetapi ia adalah hakikatyang punya beban. Amanah yang punya cobaan. Perjuangan yang memerlukan kesabar­an. Kesungguhan yang memerlukan rasa pe­nanggungan. Tak cukup orang berkata aku beriman. Tanpa ia menunjukkan bukti-buktinya. Hingga ia mengalami ujian lalu ia tegar dan ke­luar dari dalamnya dengan bersih, dan jernih hatinya. Seperti api yang membakar emas, un­tuk memilih bijih murninya dari karat besinya.O
10 Tarbawi
Edisi 67 Th. 5/Rajab 1424 H/4 September 2003 M
Edisi 67 Th. 5/Rajab 1424 H/4 September 2003 M
Tarbawi 11



 
      


   I Hiduplah, dan Kaupun Pasdi Diuji
S
 ebuah ujian adalah takdir. Sekaligus tradisi. Takdir, karena manusia dicipta untuk diuji. Manusia ada dalam kuasa Allah. Allah mencip­takan manusia, lalu sesudah itu la memberi mereka ujian demi ujian. Cobaan demi cobaan. Fitnah demi fitnah. "Maha Suci Allah Yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya." (QS. AI-Mulk: 1-2)
Tradisi, karena hubungan sosial antara manusia dengan yang lainnya akan melahir­kan begitu banyak ujian, cobaan dan juga fitnah. Maka ujian adalah keniscayaan hidup. Maka fitnah dan cobaan adalah keniscayaan kemanusiaan.
Seperti sekarang ini. Ini jaman penuh ujian. Dalam pengertian yang seluas-luasnya. Meski ujian -sekali lagi- hanyalah keniscayaan idup. Tak ada hidup yang tanpa ujian. Kema kekeringan, kekurangan pangan, juga an yang terjadi di mana-mana. Wajah
jab 1424 H/4 September 2003 M
kehidupan yang carut marut dan talk lagi berbentuk adalah ujian.
Maka, dalam kacamata Islam, ujian bahkan keniscayaan Ketuhanan. Ya, artinya di antara kekuasaan Allah adalah kehendak-Nya untuk menguji manusia. Allah pasti menguji manu­sia. Dalam pengertian kemanusiaan, maupun dalam pengertian sebagai Muslim.
Segala kekacauan, dari sudut tertentu harus dipandang sebagai ujian. Meski ujian itu sendiri bisa sekaligus merupakan cobaan dan benca­na. Dalam penjelasan yang berbeda, Rasulullah menegaskan, bahwa kekacauan itu akan menyentuh wilayah-wilayah keyakinan seorang muslim. Sesuatu yang mungkin di jaman mere­ka sulit terbayangkan bentuknya seperti apa.
Keburukan dan kebaikan itu sendiri adalah fitnah, ujian dan cobaan. Ibnu Abbas menjelas­kan, bahwa Allah menguji kalian dengan kesempitan serta kelapangan, kesehatan dan kelemahan, kekayaan dan kemiskinan, yang halal dan yang haram, ketaatan dan kemaksia­tan, petunjuk dan juga kesesatan.




Tetapi yang lebih penting untuk disadari dari itu semua, adalah relevansi sebuah ujian dengan kedekatan kiamat. Setiap jaman punya cobaan dan ujiannya sendiri. Tetapi yang terpenting, adalah sejauh mana makna ujian itu bagi kian berumurnya jaman dan kian dekatnya saat penghabisan, saat kiamat akan datang.
Maka, sangat mengertilah kita, mengapa Rasulullah begitu sering mewanti-wanti umat­nya akan datangnya fitnah, ujian dan cobaan di kemudian hari. Sebab makin dekat suatu jaman dengan had kiamat, makin banyak fitnah dan godaannya.
Rasulullah SAW bersabda, "Bila kiamattelah dekat, akan terjadi guncangan fitnah seperti malam yang sangat kelam. Seseorang pada pagi harinya beriman, pada sore harinya menjadi kafir. Atau pada sore hari ia beriman. Pada pagi harinya kafir. Begitu banyak kaum yang menjual agamanya dengan sekeping dunia. Pada pagi hari mereka masih mengha­ramkan darah saudaranya sesama muslim, hartanya, juga kehormatannya. Tapi pada sore harinya mereka menghalalkan darah sesama muslim, hartanya, dan juga kehormatannya. Pada sore harinya mereka mengharamkan darah saudaranya sesama muslim. Hartanya, juga kehormatannya. Tapi pada pagi harinya mereka menghalalkan darah saudaranya, har­tanya dan juga kehormatannya." (HR. Tirmidzi).
Entah seberapa lamanya, jaman kian kero­pos menopang bebannya. Terasa benar betapa hari-hari kiamat telah semakin dekat. Tidak saja karena begitu banyak pertandanya. Tapi karena
memang hari demi hari yang berlalu adalah per­jalanan pasti menuju penghabisan usia dunia. Suatu ketika Rasulullah SAW bangun dari tidur dalam keadaan memerah mukanya, beliau lalu berkata, "La ilaha illallah, celaka orang-orang Arab karena keburukan telah dekat, telah terbuka hari ini benteng pengha­lang Ya'juj dan Ma'juj seperti ini -Rasulullah melingkarkan antara ibu jari dengan telunjuk." Para sahabat bertanya, "Apakah kita akan dibinasakan, padahal ada orang-orang shalih di tengah-tengah kita?" Rasulullah menjawab, "Ya, jika keburukan (al khabats) telah meraja­lela." (HR. Bukhari-Muslim)
Keburukan dari hadits di atas artinya segala bentuk kemaksiatan kepada Allah, yang dilaku­kan kapan saja dan di mana saja. Begitu ba­nyak tanda-tandanya. Masa itu benar-benar telah datang. Di sini, di jaman kita ini, di depan hidung kita ini. Masa itu sungguh telah lama menyelimuti hidup kita, suka atau tidak suka. Sungguh, ini benar­benar ujian yang berat.
Ujian jaman yang lain, yang menandakan dekatnya kiamat, adalah kian maraknya keke­jian, terputusnya silaturahim dan buruknya hubungan antara tetangga. Rasulullah SAW bersabda, "Kiamattidakterjadi, sehingga keke­jian dan saling berbuat keji tersebar, silaturahim terputus dan hubungan pertetanggaan menjadi buruk." (HR.Ahmad)
Semua jenis itu telah terjadi, bahkan menja­di hiasan sehari-hari. Sekadar kekejian? Lebih dari itu, kekejian yang menemukan bentuk­bentuk gilanya. Bahkan pembenaran secara hu­kumnya. Sekadar putus tali silaturahim? Lebih dari itu. Bahkan manusia hidup dalam kesendi­rian yang angkuh. Apalagi soal bertetangga.
Hubungan sesama manusia yang melahir­kan strata sosial yang berbeda, hegemoni poli­tikyang berbeda, pengakuan publikyang ber­beda, adalah juga ujian. Dalam sisi yang terhor­matnya, perbedaan itu adalah perbedaan derajat di hadapan Allah. Tetapi, sekali lagi, itu semua punya fungsi utama: pengujian. Allah SWT berfirman, "Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk menguji­mu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksa-Nya, dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS.AI-An'am: 165).
Segala ujian itu harus dijawab dengan deklarasi keimanan, prestasi keshalihan, dan kompetisi dalam kebajikan. Sebab dengan itu Rasul memerintahkan kita, ketika menemui jaman yang penuh ujian.
Ketika gelombang fitnah kian kencang, tak ada lagi pembedaan dalam mencari korban. Yang baik maupun yang buruk. Inilah yang diingatkan Allah, "Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak khusus menimpa orang­orang yang zhalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah, bahwa Allah amat keras siksaan­Nya." (QS. AI-Anfa1:25)
Imam Ibnu Katsir menjelaskan makna ayat ini, bahwa Allah SWT memperingatkan hamba­hamba-Nya yang beriman akan adanya fitnah, yaitu ujian dan cobaan yang menimpa semua orang, yang jahat maupun yang baik. Allah tidak mengkhususkan fitnah tersebut hanya bagi orang yang melakukan kemaksiatan dan yang terlibat langsung dalam dosa, namun semuanya terkena tanpa bisa menolak dan mencegahnya."
Sebab, seperti kata Sayyid Qutb, "Iman bukan kata-kata yang diumbar. Tetapi ia adalah hakikatyang punya beban. Amanah yang punya cobaan. Perjuangan yang memerlukan kesabar­an. Kesungguhan yang memerlukan rasa pe­nanggungan. Tak cukup orang berkata aku beriman. Tanpa ia menunjukkan bukti-buktinya. Hingga ia mengalami ujian lalu ia tegar dan ke­luar dari dalamnya dengan bersih, dan jernih hatinya. Seperti api yang membakar emas, un­tuk memilih bijih murninya dari karat besinya.O
10 Tarbawi
Edisi 67 Th. 5/Rajab 1424 H/4 September 2003 M
Edisi 67 Th. 5/Rajab 1424 H/4 September 2003 M
Tarbawi 11

Tidak ada komentar:

Posting Komentar