Senin, 30 April 2012


 SISTEM PENDIDIKAN DAN KURIKULUM PESANTREN SALAF HARUS DIREVISI

Oleh: Nasir Khan

            Pada awal berdirinya, pesantren merupakan lembaga tafaquh fi din (memperdalam agama Islam) sekaligus sebagai benteng moral dengan sistem tradisional baik dalam pengajaran,manajemen,kurikulum maupun kepemimpinan. Bahkan pesantren lah yang paling menentukan watak keislaman dari kerajaan-kerajaan Islam dan memegang peran penting bagi penyebaran Islam sampai ke pelosok-pelosok desa. Semula hanya rural based institution tetapi pada perkembangan selanjutnya, banyak pesantren-pesantren yang menjelma dan berkembang menjadi lembaga urban dengan mengadopsi sistem pendidikan modern seperti memasukkan pelajaran dan kurikulum umum dalam madrasah atau membuka sekolah umum dalam lingkungan pesantren. Sebagai contoh Pondok Pesantren Modern Gontor di Probolinggo, Pesantren Darun Najah dan As-Shiddiqiyah di Jakarta dan masih banyak lagi. Pesantren-pesantren tersebut telah membuka SMP, SMA, MTs, Aliyah maupun universitas yang mempunyai ijazah dan kurikulum sama dengan lembaga formal lainnya disamping mempertahan kan pengajaran kitab-kitab klasik yang telah berlaku turun temurun. Pasantren-pesantren model tersebut disebut dengan pesantren khalafi (modern) lawan dari pesantren salaf (kuno). Tetapi penggunaan istilah khalaf tidaklah masyhur karena seringkali pesantren-pesantren tersebut masih mengklaim sebagai pesantren salaf walaupun jelas-jelas telah menerapkan model pendidikan modern.
            Pada umumnya, orang membedakan pesantren salaf dan modern dilihat dari muatan kurikulum pendidikannya. Bila dalam pesantren tidak ada lembaga formal, orang akan menganggap itu pesantren salaf tetapi bila membuka lembaga pendidikan formal, orang menganggapnya pesantren modern. Adapun pesantren salaf tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab klasik (kitab kuning) sebagai inti pendidikannya tanpa mengadopsi sistem pendidikan modern. Mereka dengan bangga menonjolkan kesalafannya bahkan banyak pesantren tersebut yang memberi nama dengan tambahan salaf atau salafiyah. Pesantren salaf disamping identik dengan makna keislaman juga mengandung makna keaslian Indonesia (indigenous) sebab pesantren sebenarnya sudah ada sejak zaman Hindu-Budha.
            Cak Nur (Alm) pernah menggambarkan seandainya negara kita tidak mengalami penjajahan mungkin pertumbuhan sistem pendidikannya akan mengikuti jalur-jalur yang pernah ditempuh pesantren-pesantren sehingga perguruan-perguruan tinggi yang ada sekarang tidak akan berupa UI, UGM, ITB, IPB, Undip atau yang lainnya tetapi mungkin namanya Universitas Tremas, Krapyak, Tebu Ireng, Lirboyo, bangkalan dan sebagainya. Kemungkinan ini dapat dilihat dengan membandingkan secara kasar dengan pertumbuhan sistem pendidikan di negeri brat Diana hamper semi universities treenail coal banana dalai perguruan-perguruan tinggi yang semula berorientasi keagamaan seperti Universitas Havard yang didirikan oleh Pendeta Havard di Boston. Dan sekarang menjadi universitas yang paling prestigious di Amerika dan hampir secara pasti memegang kepeloporan dalam pengembangan ilmu pengetahuan modern dan gagasan yang cemerlang.
            Di pesantren salaf, metode pengajaran yang umum berlaku adalah sistem bandungan, sorogan, dan musyawarah. Dalam  sistem bandungan, sekelompok santri mendengarkan kyai atu guru yang membaca, menerjemah, menerangkan dan mengulas isi kitab kuning dimana setiap santri memperhatikan sambil memberi makna dan membuat catatan-catatan dari setiap keterangan yang penting atau sulit dipahami. Sistem sorogan merupakan sistem individual face to face yang menuntut banyak kesabaran dan ketelatenan dari guru terhadap santrinya. Tetapi seiring dengan melonjaknya jumlah santri di pesantren salaf maka sistem sorogan sudah sulit dilaksanakan apalagi kalau santrinya sampai ribuan maka sistem sorogan dengan tatap muka langsung antara kyai dan santri nyaris sudah sulit dilaksanakan. Yang ada paling-paling antara santri dengan santri senior atau ustadznya, itu pun terbatas pada kitab-kitab elementer (pemula).
            Adapun sistem musyawarah adalah mendiskusikan pelajaran-pelajaran yang telah diajarkan di kelas madrasah secara bersama-sama. Biasanya berdasarkan jenjang kelasnya masing-masing. Musyawarah di pesantren salaf merupakan forum yang menentukan paham tidaknya santri dalam menangkap pelajaran yang diajarkan sebab biasanya di madrasah para guru biasanya hanya memberi makna pada kitab yang diajarkan tanpa memberi keterangan dan ulasan yang panjang lebar. Apalagi kalau kitanya tebal, umumnya mereka hanya memberikan penjelsasan dan ulsannya pada kitab-kitab yang dianggap penting seperti nahwu dan fiqih. Pada musyawarah tersebut, para santri disuruh kreatif untuk memahami makna dan isi kitab dengan belajar bersama-sama dalam satu kelas. Tetapi dalam prakteknya musyawarah sering menjadi ajang ngobrol para santri karena hanya santri yang aktif dan kreatif yang mau mengulas kitab-kitab yang telah diajarkan. Tidak seluruh santri apalagi pengawasan dari gurunya tidak ketat. Pada waktu-waktu tertentu ada istilah musyawarah kubro yaitu musyawarah gabungan dari beberapa kelas untuk membahas masalah (bahsul masail) dan dihadiri oleh dewan guru senior sebagai pemutus masalah, biasanya disebut hakim.
            Sistem pengajaran yang berlaku umum sekarang di pesantren salaf adalah sistem bandungan, santri mengaji langsung pada kyai atau pada santri senior. Dalam sistem ini, pengajar biasanya hanya mengejar makna(ngapsahi,maknani) perkalimat dengan huruf pego. Seringkali pengajarnya memberi makna dengan “makna warisan” karena makna tersebut berasal dari pengajar terdahulu dengan merubah atau tidak merubah sama sekali. Dalam memberi makna saja, para pengajar tidak kreatif untuk mencari makna yang berasal dari pemahamnnya sendiri tetapi cenderung mengekor tanpa ada mengoreksi apalagi mengkritiknya. Anehnya lagi,biasanya dalam sistem ini tidak ada penjelasan dan ulasan dari pengajar sama sekali, kalau pun ada itu hanya sedikit dan terbatas itu pun hanya pada kitab-kitab yang dianggap penting saja, apalagi kalu kitabnya tebal. Biar ngaji berjam-jam yang penting makna dan tarkiban penuh adapun ulasan dan penjelasan dari isi kitab dianggap tidak penting sebab mereka berpikir bahwa dengan makna penuh, para santri bisa memahami sendiri. Itu pun kalau santrinya mau mengkaji (mutalaah) tetapi kalau tidak, ya ditumpuk buat pajangan dan terkadang dibuka bila ada masalah. Maka jangan heran, walaupun banyak santri yang mengaji kitab kuning yang tebal tetapi tidak mendapat apa-apa dari kitab tersebut kecuali makna dan tarkiban itu pun kalau tidak ketinggalan sebab seringkali pengajarnya membaca terlalu cepat sehingga banyak santri yang tidak dapat mengikuti makna yang dibacakan.  Yang perlu dipertanyakan apakah memang pengajarnya tidak menguasai isi dan materi kitab atau mungkin mereka berpikir bahwa ngaji yang penting khatam (tamat) dan berkah. Di pondok pesanren salaf, mayoritas menggunakan sistem sekolah (madrasah diniyah) disamping sistem pengajian yang berlaku diatas mengingat bertambahnya santri dengan latar belakang pemahaman yang berbeda terhadap kitab kuning dan seleksi masuknya biasanya dengan tes baik lisan (biasanya dengan menghafal bait nadzam) maupun tertulis tanpa melihat latar belakang pendidikan formalnya.
            Masing-masing pesantren salaf menerapkan jenjang madrasah yang berbeda-beda. Tingkat yang paling dasar disebut SP (sekolah persiapan)/i`dad atau mabadi. Biasanya setiap pesantren menggunakan istilah tersebut tanpa menggunakan nama yang seragam. Jenjangnya ada yang 1 sampai 2 tahun setelah itu ada yang  langsung MTs atau masuk kelas awaliyah/ibtidaiyyah umumnya dari kelas 1 sampai kelas 6 setelah kemudian aliyah. Bagi yang telah lulus aliyah umumnya  santri boyong (meninggalkan pesantren) dan bagi santri yang tidak boyong biasanya santri diangkat ustadz(guru) untuk mengajar di pesantren tersebut. Yang memprihatinkan, ijazah madrasaah dipesantren salaf statusnya tidak diakui atau disamakan tetapi statusnya diridlai, ya diridlai Tuhan.
            Dalam kenaikan kelas, banyak madrasah pesantren salaf yang mengharuskan para santri menghafal nadzam-nadzam terutama pelajaran nahwu sorof berdasarkan kelasnya masing-masing seperti awamil, amrithi, alfiyyah, jauhar maknun dan yang lainnya. Bila tidak hafal bisa jadi tidak naik kelas. Tetapi ada juga pesantren yang tidak mengaharuskan hafalan tersebut sebagai syarat kenaikan kelas.  Pada waktu jam pelajaran, biasanya para guru mengharuskan para santri setor hafalan beberapa nadzam atau disuruh membaca kitab yang telah diajarkan baik kosongan maupun yang telah ada maknanya. Pada umumnya, pesantren salaf lebih mementingkan hafalan, makna dan tarkiban daripada isi kitab (murad). Metode ini seharusnya harus direvisi karena dapat menyebabkan kreativitas santri tidak berkembang dalam memahami kitab kuning karena terlalu asyik dengan makna warisan tanpa memahami substansinya.
            Menurut penulis, sebaiknya pihak pesantren harus bisa mengusahakan agar para santri dapat mengikuti ujian persamaan terutama tingkat SLTP dan SLTA sehingga ijazah madrasah pesantren salaf dapat sama dan sederajat dengan ijazah formal lainnya. Konsekwensinya harus menambah pelajaran di luar kitab kuning seperti bahasa Indonesia, Matematika, bahasa inggris, IPS dan IPA. Yang sudah berjalan selama ini adalah adanya MTs terbuka tetapi masih jarang yang sampai jenjang SMA/aliyah. Jika hanya sampai jenjang MTs terbuka sangatlah tidak membantu jenjang pendidikan santri dan percuma sebab rata-rata santri salaf sekarang lulusan MTs atau SMP jadi mereka mempunyai dua ijazah dalam jenjang pendidikan yang sama. Yang terpenting adalah pihak pesantren hendaknya bisa mengusahakan ijazah sampai jenjang SLTA sehingga setelah lulus, para santri dapat melanjutkan pendidikannya di PTN atau PTS yang bukan jurusan agama. Selama ini, ijazah aliyah pesantren salaf  (tanpa ujian persamaan) hanya bisa masuk perguruan tinggi jurusan agama seperti IAIN,STAIN, atau perguruan tinggi yang membuka program agama, selain lembaga tersebut tidak bisa sehingga santri tidak bisa mendapat pendidikan umum di perguruan tinggi kecuali jurusan agama. Disamping itu, hendaknya pesantren salaf memperbanyak pelatihan vokasional,kursus, perberdayaan dan keterampilan maupun berorganisasi sehingga para santri mempunyai modal sebagai bekal dalam kehidupan bermasyarakat.

            Bagi santri, dalam memahami dan mengulas isi kitab kuning banyak mengalami kendala sebab mereka harus menterjemah ke dalam tiga bahasa -dari bahasa arab yang otomatis harus mengerti arti, gramatikal (tarkiban) setelah itu harus memahami bahasa jawa kuno yang banyak tidak dimengerti artinya terutama bagi santri luar jawa baru kemudian mengartikan ke dalam bahasa Indonesia. Dengan pemahaman bahasa Indonesia yang tidak baik, banyak santri yang memberikan ulasan kitab kuning dengan bahasa yang kacau dan janggal.              
                 

            Kata kunci yang membedakan lembaga pesantren secara umum dengan lembaga non pesantren adalah adanya istilah berkah. Berkah dalam pesantren diartikan sebagai kesuksesan santri dalam belajar tidak hanya ditentukan oleh ketekunan dan kecerdasannya tetapi ada hal-hal lain yang tidak nampak dan irrasional seperti kepatuhan kepada kyai dan keluarganya, ketakwaan, kesabaran, doa dan ibadah. Tidak heran dalam kalangan pesantren ada semacam mitos seperti santri yang tidak pernah belajar ngaji bisa menjadi orang yang alim hanya lantaran patuh dan taat pada kyainya. Mereka menganggap orang tersebut mendapat berkah dari kyainya. Jadi kriteria berkah tidak berdasarkan akal tetapi dengan keyakinan, ketulusan dan kebersihan hati. Bahkan segala aktifitas santri selalu dihubungkan dengan istilah berkahbaik ketika masih di pesantren maupun ketika sudah terjun di masyarakat. Andaikan tidak ada kata berkah maka nuansa, cara dan gaya hidup di pesantren tidak berbeda dengan jauh dengan lembaga non pesantren.



























Rabu, 25 April 2012


BAB I

PENDAHULUAN

1.1.       LATAR BELAKANG MASALAH

            Merger dan akuisisi merupakan dua bentuk praktek penggabungan  ( business combination ) yaitu penyatuan dua perusahaan atau lebih yang terpisah menjadi satu entitas ekonomi kerena perusahaan menyatu dengan perusahaaan lain atau memperoleh kendali atas aktiva dan operasi perusahaan lain. Perusahaan yang melakukan pengambilan harta dan kewajiban atau kendali disebut acuiring company ( perusahaan pengakuisisi ) atau bidder sedangkan perusahaan yang diambil alih disebut dengan target company ( perusahaan target ).  Target company akan memperoleh penggantian dari acuiring company yang mungkin berupa pembayaran tunai atau saham perusahaan tertentu atau kombinasinya.
            Merger merupakan penggabungan dua atau lebih perusahaan dimana satu perusahaan yang bergabung tetap hidup sedangkan perusahaan lainnya dilikuidasi. Harta dan kewajiban perusahaan yang dilikuidasi diambil alih oleh perusahaan yang berdiri dan meneruskan usahanya. Ditinjau dari strukturnya, M dan A dapat dikualifikasikan menjadi tiga yaitu : ( Kwik Kian Gie , 1992 )
1.       Dalam bentuk penggabungan usaha, misalnya PT AA membeli semua asset dan liabilitas PT AB.
2.       Diciptakan sebuah holding company, misalnya PT AC didirikan untuk tujuan membeli PT AA dan PT AB.
3.       Tidak melalui badan hukum yang merupakan holding tetapi melalui perseorangan. Misalnya tuan A sebagai pemegang saham mayoritas saham PT AA membeli seluruh saham PT AB, meskipun kedua perusahaan tersebut  masih berdiri sendiri secara hokum namun sebenarnya telah terjadi penggabungan antar PT AA dan PT AB karena kendali atas kedua perusahaan tersebut ada pada satu tangan ( tuan A ).

1.2.             Rumusan Masalah

1.                   Sejauh mana efektifitas merger dan akuisisi dapat meningkatkan sinergi dan kinerja perusahaan.
2.                   Permasalahan apa yang timbul setelah dilakukannya merger dan akuisisi.
1.3.             Tujuan Penelitian
1.                   Dapat menganalisa pertimbangan dan alasan perusahaan untuk melakukan atau tidak melakuakan merger dan akuisisi.
2.                   Dapat memberi masukan bahwa merger dan akuisisi dapat memberi keuntungan disamping bisa mendatangkan kerugian.

BAB  II
TELAAH PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN MODEL
2.1.       Konsep-konsep Dasar
2.1.2.        Macam-Macam Merger Dan Akuisisi   
Dilihat dari segi hubungan usaha, perusahaan yang melakukan M & A dapat terjadisecara horizontal, vertikal atau konglomerasi. M dan A horizontal terjadi antara perusahaan-perusahaan yang sejenis, misalnya bank merger dengan bank yang lain atau hotel dengan hotel. Merger horizontal terutama untuk mengurangi persaingan karena dengan demikian kendali atas keduanya berada pada orang yang sama. M dan A secara vertikal terjadi diantara perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam tahap-tahap proses produksi yang berbeda. Misalnya penggabungan usaha perusahaan penerbangan dengan travel agen, perusahaan printing dengan perusahaan konveksi. Sedangkan M dan A konglomerasi terjadi jika perusahaan yang bergabung tidak mempunyai keterkaitan usaha sama sekali atau bergerak di bidang yang berbeda, misalnya merger bank dan hotel.
Merger dapat dilakukan dalam bentuk statutory merger, subsidiary merger dan reserve merge. Statutori merger adalah merger dimana keseluruhan harta dan kewajiban dari target company akan diambil alih oleh acuiring company dan sebagai gantinya, pemegang saham target company akan memperoleh saham dari saham acuiring company. Subsidiary merger terjadi jika perusahaan anak dari acuiring company mengambil alih langsung harta dan kewajiban dari target company. Atau dengan kata lain, dalam subsidiary merger, perusahaan target company akan bergabung dengan perusahaan  anak dari acuiring company. Sedangkan dalam reserve triangular merger, perusahaan anak dari acuiring company yang disebut dengan “ holding company “ akan bergabung dengan target company. Holding company didirikan untuk tujuan khusus dengan memiliki sebagian besar saham-saham perusaahan lain. Dengan adanya penggabungan antara holding dengan target company, maka berarti target company tadi selanjutnya telah menjadi anak perusahaan dari acuiring company.
Adapun Akuisisi ( acquisition ) dalam bahasa Indonesia diartikan “ pencaplokan “ karena yang terjadi, perusahaan yang kuat  memakan  perusahaan yang lemah. Dalam hal ini menunjukkan, perusahaan target menjadi pihak yang terpaksa. Akuisisi merupakan bentuk takeover ( transfer kendali ) dari target company atau konsolidasi. Istilah akuisisi dan takeover sering digunakan saling menggantikan meskipun kurang tepat karena artinya sangat kasar dan dikaitkan dengan masalah monopoli, maka istilah akuisisi dan takeover tidak disukai untuk digunakan.
Sedangkan konsolidasi diartikan sebagai penggabungan dua perusahaan atau lebih menjadi satu, selanjutnya perusahaan-perusahaan yang bergabung tadi diikutkan sehingga hanya ada perusahaan baru yang lebih besar dari perusahaan semula.
2.1.2.    Beberapa Alasan Merger 
            Alasan untuk merger pada prinsipnya hampir sama dengan alasan untuk melakukan akuisisi. Namun demikian, dalam merger, penggabungan dilakukan secara sukarela  ( voluntarily ). Hal ini disebabkan karena masing-masing secara aktif ingin mendapatkan keuntungan sinergis, atau karena adanya dampak dari perubahan lingkungan yang muaranya adalah pada perubahan kesempatan ( opportunity ) dan ancaman ( threats ).
            Johnson dan Scholes ( 1989 ) menyebutkan tentang beberapa alasan bagi perusahan yang melakukan merger :
1.       Merger adalah suatu cara yang tepat untuk memasuki pasar baru dan produk baru. Dalam kenyataannya, pasar dan produk berubah sedemikian cepat sehingga merupakan satu-satunya cara untuk menuju sukses di pasar jika proses internal development berlangsung secara lambat.
2.       Kurangnya pengetahuan dan sumber daya untuk mengembangkan strategi secara internal.
3.       Merger dilakukan atas dasar financial motive jika share value ratio dari sebuah perusahaan tinggi, kemudian perusahaan dengan share value rendah ada kemungkinan melakukan persuasi dan negosiasi untuk merger. Hal ini menjadi dorongan pokok bagi perusahan yang agresif untuk melakukan akuisisi atau merger.

4.   Adanya dorongan untuk meraih cost efficiency sehingga membuat merger lebih menarik.

2.1.2.1. Tujuan Merger dan Akuisisi

Merger dan akuisisi merupakan salah satu strategi untuk mencapai keberhasilan bisnis. Tujuan M & A dapat dibagi menjadi dua, yaitu tujuan ekonomis dan dan tujuan non ekonomis. Tujuan ekonomis berkaitan dengan usaha yang dilakukan perusahaan dalam jangka panjang terutama untuk meningkatkan profitabilitas dan menjaga kelangsungan hidupnya. Secara eksplisit, tujuan ekonomis misalnya sebagai upaya memperluas jaringan distribusi dan pangsa pasar, memperoleh tim manajemen yang tangguh, memperoleh teknologi maju, Meningkatkan Return oninvesment ( ROI ) dan return on equity ( ROE ), meningkatkan skala ekonomi dalam produksi, diversifikasi produk, menyelamatkan perusahaan lain dari kebangkrutan, dan sebagainya. Dengan kata lain M &A dimaksudkan sebagai strategi perusahaan untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas.
Sedangkan tujuan non ekonomis, M & A dilakukan dengan berbagai macam motivasi. Misalnya keinginan agar perusahaan dapat predikat sebagai the Biggest Company di suatu daerah, panggilan rasa kedaerahan pemilik perusahaan, karena dengan ini perusahaan dapat memperluas lapangan kerja di daerahnya, menjual perusahaan keluarga yang telah berkembang tetapi tidak ada keluarganya yang mau melanjutkan usahanya, dan sebagainya ( Heru Sutoyo, 1992 ).
Di Indonesia perusahaan yang melakukan M & A misalnya karena alasan likuiditas atau mismanajemen, atau penurunan penjualan sehingga diambil alih oleh bank pemberi pinjaman. Di Jepang, M & A banyak terjadi karena adanya modal ventura. Perusahaan modal ventura memberikan bantuan modal, manajemen, pemasaran, dan teknologinya kepada perusahaan yang masih lemah. Bantuan ini dapat diberikan sampai perusahaan go public dan setelah menjadi perusahaan publik, saham-sahamnya yang beredar dibeli oleh perusahaan ventura.
2.1.2.2  Manfaat Merger dan Akuisisi      
            Keputusan M & A merupakan salah satu strategi investasi perusahaan yang sangat penting dan mendasar. Oleh karena itu, setiap keputusan M & A seharusnya telah dipertimbangkan manfaat dan pengorbanannya ( benefit and cost ) yang akan terjadi. Pertimbangan  benefit and cost dapat ditinjau baik dari segi kepentingan acuiring company maupun target company. Kwik Kian Gie  ( 1992 ) mencatat beberapa manfaat M & A :
a.       Komplementaritas  
Penggabungan dua perusahaan sejenis atau lebih secara horisontal dapat menimbulkan sinergis. Sinergis timbul karena adanya sifat saling melengkapi  ( komplementaritas ). PT AA yang kuat di bidang pemasaran tetapi lemah dibidang keuangan akan mendapat sinergi M & A terhadap PT AB yang kuat di bidang keuangan. Hasil penggabungan dua perusahaan akan menjadi perusahaan yang likuid di bidang keuangan, kuat di bidang pemasaran maupun mempunyai manajemen yang tangguh. Bentuk sinergi dari penggabungan perusahaan dapat berupa : (1) perluasan produk, baik produk sejenis maupun produk yang tidak sejenis, (2) transfer teknologi, (3) mempunyai SDM yang tangguh dan sebagainya.
b.       Pooling Kekuatan
Pooling perusahaan akan terjadi bila perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam M & A merupakan perusahaan yang terlampau kecil untuk mempunyai fungsi-fungsi penting bagi perusahaannya. Misalnya perusahaan belum mampu membangun fungsi Research dan Development ( R dan D ) akan lebih efektif jika berkabung dengan perusahaan lain yang mempunyai fungsi tersebut. Pooling kekuatan dapat pula untuk menjaga kontinuitas produksi, terutama bagi perusahaan yang mempunyai relative factor fixatie. Relative factor fixatie yaitu susunan produksi dari tahap satu ke tahap selanjutnya sehingga output dari proses produksi tertentu menjadi input bagi proses produksi berikutnya dan tidak ada kelebihan atau kekurangan kapasitas.
c.       Mengurangi Persaingan
Penggabungan diantara perusahaan sejenis yang sama-sama mempunyai relative factor fixatie yang tidak optimal maka akan menjadi lebih optimal. Penggabungan usaha ini dapat menimbulkan skala ekonomis bagi perusahaan-perusahaan yang terlampau kecil sehingga hasilnya optimal. Disamping efisiensi perusahaan terjaga, dengan adanya penggabungan perusahaan mengakibatkan terjadinya pemusatan pengendalian, sehingga dapat mengurangi pesaing.
d.       Merger dan Akuisisi dapat menyelamatkan perusahaan dari kebangkrutan.
Bagi perusahaan yang kekuatan likuiditasnya terdesak oleh kreditor karena tidak mampu lagi membayar cicilan uang dan bunganya. Maka keputusan M & A dengan perusahaan yang kuat di bidang keuangan akan menyelamatkan perusahaan tersebut dari kebangkrutan. Dalam era kredit macet, maka banyak kasus merger terjadi antara bank pemberi pinjaman dengan debiturnya yang hampir bankrut. 
 2.1.2.3.            Mengukur Keefektifan M & A
Merger dan Akuisisi ( M & A ) merupakan fenomena bisnis paradoksal. Di satu sisi, intensitasnya terus meningkat tetapi disisi lain, tingkat kegagalannya juga cukup tinggi. Sebagai gambaran, Schweiger, Csiszar dan Napier ( 1993 ) mengemukakan bahwa sejak tahun 1983, penggabungan usaha yang terjadi di Amerika, setiap tahunnya mencapai angka 2500 lebih. Angka ini belum termasuk keterlibatan perusahaan Amerika dalam M & A antar negara yang jumlahnya juga meningkat drastis.
Selain Amerika, trend yang sama juga terjadi di Eropa, Asia dan wilayah negara lain. Di Cina, misalnya antara tahun 1985-1996 terjadi M & A dengan total nilai US $ 5,3 milyar ( Milman, 1999 ). Sedangkan di Indonesia, meskipun tidak ada angka pasti dan kegiatannya pun tidak setinggi negara-negara maju, tidak luput dari boom M & A. Pertengahan tahun 1980-an sampai awal tahun 1990-an merupakan masa-masa subur bagi kegiatan Merger dan Akuisisi di Indonesia.
2.1.1.4  Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kegagalan M & A
Disisi lain, tingkat kegagalan M & A juga relatif tinggi, berkisar antara 50 % sampai 70 % ( Cartwight dan Cooper, 1993 ). Termasuk dalam kategori kegagalan M & A misalnya : penggabungan usaha tersebut tidak mencapai tujuan finansial yang dikehendaki ( Chatterjee. Et al. 1992 ), tidak meningkatkan harga saham di pasar bursa ( Schweiger, Csizar, Napier, 1993 ), tidak menciptakan sinergi yang biasa disebut “ 2 + 2 = 5 effect” ( Mirvis dan Marks, 1992 ), dan ujung-ujungnya terjadi perceraian kembali tidak lama setelah penggabungan usaha tersebut berlangsung ( Cartwight dan Cooper 1993 ).
Karena secara historis M & A adalah domain para ekonom dan para strategist ( Cartwright dan Cooper, 1993 ) maka kegagalan M & A biasanya dikaitkan dengan faktor-faktor berikut: ( 1 ) jeleknya pengambilan keputusan karena membeli perusahaan lain dengan harga yang terlalu tinggi, ( 2 ) terjadi kesalahan dalam mengelola keuangan sehingga realisasi bertambahnya skala ekonomi dan rasio-rasio laba yang diharapkan tidak tercapai, dan ( 3 ) terjadi perubahan pasar yang mendadak.   
Memang tidak di pungkiri bahwa ketiga faktor diatas bisa menghambat keberhasilan M & A, namun harus diakui pula bahwa sesungguhnya M & A bukan sekedar plain buying – sekedar mengambil aset perusahaan lain melainkan menggabungkan dua kelompok manusia yang berbeda sikap dan perilaku dan menggabungkan dua budaya yang berbeda sehingga keberhasilan dan kegagalan M & A juga sangat tergantung pada kedua faktor ini. Davy et al. ( 1988, 1989 ) bahkan menyatakan bahwa 33 & sampai 50 % kegagalan M& A karena faktor manusia dan budaya. Sayangnya, kedua faktor ini masih sering diabaikan dalam pengambilan keputusan M & A ( Schweiger dan Ivancevich, 1985 ). Akibatnya tidak hanya tujuannya tidak tercapai, M & A sering menjadi bumerang yaitu menjadi bencana bagi perusahaan tersebut ( Feldman, 1995 ).
2.1.2.2. M & A di Indonesia     
Penelitian mengenai M & A di Indonesia pertama kali dilakukan oleh Alimin yang meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi merger di Indonesia ( 1993 : 28 ), yaitu peningkatan skala ekonomis, pengamanan bahan baku, perluasan pasar, penghematan pajak, pemanfaatan kapasitas hutang, peningkatan laba, dan mengurangi persaingan. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa semua faktor tersebut signifikan kecuali faktor pengamanan bahan baku dan pemanfaatan kapasitas hutang.
Ravenscraft dan Scherer ( 1998 ) melakukan penelitian terhadap profitabilitas sebelum merger perusahaan target dan hasil operasinya setelah merger. Penelitian yang dilakukan keduanya dilakukan terhadap perusahaan manufaktur di Amerika Serikat yang melakukan akivitas M & A selama periode 1975-1977. Hipotesis yang dikemukakan dalam penelitian mereka ada dua yaitu bahwa perusahan target tidak mendapat laba dan bahwa merger memperbaiki profitabilitas secara rata-rata. Profitabilitas sebelum merger diukur dengan rasio laba operasi ( sebelum bunga dan pajak serta biaya luar usaha ) terhadap aset pada akhir periode. Sedangkan profitabilitas setelah merger diukur dengan tiga rasio, yaitu : 1. rasio laba operasi / aset pada akhir tahun, 2. Rasio laba operasi / penjualan dan 3. rasio arus kas / penjualan. Hasil penelitian mereka menunjukkan hipotesis pertama tidak dapat dibuktikan karena ketiadaan dukungan statistik, sedangkan pada hipotesis kedua disimpulkan tidak terdapat kenaikan yang signifikan terhadap profitabilitas setelah merger. Bahkan tujuh atau delapan tahun setelah merger, profitabilitas perusahan merger turun tajam bila dibandingkan dengan profitabilitas sebelum merger.
Sedangkan analisa yang dilakukan Kanto Santoso ( 1992 ) terhadap aktivitas M & A PT. Indocement Tunggal Perkasa, jika dilihat dari kriteria hasil investasi yang diharapkan oleh pemodal yang bijaksana, kinerja, emiten, dan pemilik perusahaan maka hasilnya tidak menguntungkan. Hal ini dilihat dari laba bersih, laba per saham, harga saham, kapitalisasi pasar pasca akuisisi lebih kecil atau menurun jika dibandingkan dengan tanpa akuisisi.
Penelitian yang dilakukan oleh Sutrisno ( 1998 ) bertujuan untuk melihat reaksi pasar terhadap aktivitas merger dan akuisisi bila diukur dengan harga pasar saham. Penelitian ini menganalisis 57 kasus M & A selama periode Januari 1990 sampai Juni 1997. Hasil analisis menunjukkan penurunan rata-rata harga saham dengan perbedaan yang signifikan antara periode sebelum dan setelah laporan keuangan gabungan. Hal ini memberikan bukti empiris bahwa aktivitas M& A pada perusahaan publik di BEJ secara signifikan berpengaruh terhadap keputusan investasi investor seperti yang tercermin pada harga saham.
Penelitian serupa dilakukan oleh Andrea Resti ( 1998 ) yang melakukan analisis terhadap merger bank-bank di Italia. Penelitian efisiensi 67 kasus M & A ini menggunakan metodologi DEA dimana efisiensi bank pembeli, target dan bank yang dimerger diukur kemudian dibandingkan dengan yang sejenis. Bank pembeli sedikit lebih sehat dibanding bank target. Bank yang dimerger mengalami kenaikan efisiensi pada tahun-tahun setelah merger. Hal ini khususnya terjadi pada merger dua bank yang beroperasi di dua lokasi pasar yang sama dan ukuran bentuk tidak terlalu besar.
2.1.2.3. Akuisisi di Berbagai Perusahaan
Akuisisi di Indonesia mulai semarak di akhir tahun 1989. Perusahaan yang berakuisisi di tahun 1992 sudah sekitar 29 perusahaan publik yang melakukan akuisisi terhadap 70 perusahaan yang melibatkan dana sekitar Rp. 4, 16 trilyun ( Kompas No. 44, Agustus 1992 ). Tindakan akuisisi ini bukan saja berupa akuisisi eksternal, satu perusahaan pencaplok perusahaan dari kelompok lain, tetapi juga akuisisi internal yaitu pencaplokan perusahaan yang dilakukan terhadap perusahaan dikelompoknya sendiri. Misalnya, akuisisi yang dilakukan oleh Jakarta International Hotel & Development, Panin Bank, Pan Union Insurance dan Asuransi Jiwa Panin Putra terhadap beberapa perusahaan lain. Hal ini sangat berkaitan erat dengan meningkatnya persaingan diantara perusahaan-perusahaan yang memasuki tahap hiperkompetisi. Faktor inilah merupakan faktor pendorong berlomba-lombanya perusahaan untuk melakukan akuisisi. Tujuan akuisisi antara lain adalah untuk meningkatkan efisiensi, produktivitas, menekan biaya overhead, meningkatkan return, mengurangi resiko, memperkuat modal atau untuk memperkokoh pasar.
2.1.2.4. Tipologi Akuisisi
Tingkat kesuksesan akuisisi dalam menciptakan sinergi tergantung pada banyak faktor, tetapi salah satu faktor diantaranya yang sangat penting adalah tipe akuisisi yang dipilih.       
1.       Akuisisi Horizontal
Perusahaan-perusahaan yang dibeli merupakan perusahaan yang sejenis dengan perusahaan pembeli. Jadi perusaahaan yang dibeli adalah perusahaan pesaingnya. Sehingga jelas, maksud akuisisi adalah untuk memperoleh skala ekonomi atau untuk memperoleh kedudukan monopolistik.
2.       Akuisisi Vertikal                
Pada umumnya sebuah perusahaan selalu memiliki pemasok segala kebutuhannya juga memiliki pembeli produk yang menjadi pelanggan tetapnya. Jika perusahaan membeli pemasok dan pelanggannya maka akuisisi ini disebut akuisisi vertikal. Tujuan akuisisi ini jelas untuk memperoleh integrasi dari hulu sampaai hilir yang dipegang oleh satu tangan dirinya sendiri.
3.       Akuisisi Konsetrik Pemasaran
Perusahaan pembeli ingin memanfaatkan saluran distribusi yang sama dari berbagai produk yang menggunakan teknologi yang berlainan
4.       Akuisisi Konsentrik Teknologi
Membeli perusahaan yang teknologinya sama tetapi saluran distribusinya berlainan. Misalnya, perusahaan elektronika membeli perusahaan TV dan radio, komputer, peralatan canggih kedokteran. Dengan demikian, dua atau tiga perusahaan dapat melakukan pemusatan atau pooling bagian penelitian dan pengembangan karena karakteristiknya sama tetapi bisa mencakup pasaran yang luas, karena menghasilkan berbagai macam produk yang memenuhi berbagai macam kebutuhan.
5.       Akuisisi Tipe Konglomerat
Yang dibeli adalah perusahaan-perusahan yang dalam segala hal justru sangat berlainan dengan perusahaan pembeli, karena maksudnya adalah melakukan diversifikasi usaha dan resiko.
2.1.2.5. Karakteristik Transaksi Akuisisi
            Fenomena akuisisi merupakaan suatu fenomena yang sangat kompleks karena tidak hanya melibatkan para pelaku akusisi tetapi juga melibatkan pihak lain misalnya bank dan pemegang saham publik. Salah satu bentuk kompleksitas masalah akuisisi adalah kompleksnya transaksi akuisisi. Karakteristik transaksi akusisi yang satu tidak sama dengan transaksi akuisisi yang lain, hal ini tergantung pada bentuk transaksi akuisisinya. Bentuk transaksi akuisisi antara lain adalah transaksi akuisisi atas dasar kas, transaksi akuisisi atas dasar saham, transaksi akuisisi atas dasar aktiva, dan kombinasi ketiganya.
            Transaksi yang terjadi dalam suatu akuisisi tidak hanya atas dasar kas atau tunai, tetapi juga dapat terjadi tanpa harus melibatkan adanya arus uang kas dari para pelaku akuisisi. Akuisisi yang terjadi tanpa melibatkan adanya arus kas adalah dapat berupa akuisisi dengan cara penyerahan sebagian saham perusahaan pembeli dan akuisisi dengan cara kombinasi transaksi atas dasar kas dan transaksi atas dasar saham. Pertama, transaksi akuisisi atas dasar kas. Yaitu Perusahaan pembeli menyerahkan sebagian saham miliknya sebesar saham perusahaan yang dibelinya. Saham milik pembeli tersebut, bentuknya dapat juga saham perusahaan anak yang dimilikinya ataupun saham dari perusahaan lain yang dibeli dari bursa saham. Kedua, transaksi akusisi atas dasar aktiva. Yaitu penyerahan aktiva atas harta milik perusahaan pembeli kepada perusahaan yang dibeli untuk melunasi saham yang dibelinya.
2.1.2.6. Merger dan Akuisis Pada Bank-Bank di Indonesia
            Semakin tingginya kompetisi di bisnis perbankan pasca Pakto 1988, menyebabkan banyaknya bank-bank yang mengalami krisis, terutama bank yang relatif kecil yang notabene-nya bekerja kurang efisien dengan wilayah kerja yang terbatas. Akibatnya banyak bank yang sakit dan dalam perawatan BI. Oleh BI, bank sakit ini ditawarkan pada bank besar untuk merawatnya yang biasanya pada akhirnya diakuisisi oleh bank yang merawatnya tersebut. Bahkan pada tahun 1994/ 1995 semakin banyak bank yang diakuisisi oleh kelompok bank lain. Kondisi tersebut mengakibatkan terjadi pengambilalihan kepemilikan bank pada beberapa orang saja.
            Untuk menciptakan perbankan nasional yang kuat dilihat dari modal, skala operasi, keuntungan dan kualitas aset maka pakto 1988 harus dipandang sebagai ladang pembenihan dan setelah itu harus siap bertarung di lahan perjuangan ( battle field ) untuk bisa bertahan hidup. Proses seleksi alam  ( natural selection ) dan hanya mereka yang unggul dan dapat menyesuaikan dengan perkembangan lingkungan baru saja yang seharusnya bertahan. Disinilah perlunya peraturan dilaksanakan secara lugas agar tujuan penciptaan perbankan nasional yang sehat dan kuat segera terrealisasi.
            Jika jumlah bank umum berdasarkan data Desember 1995 sebanyak 239 dan jumlah cabang sebanyak 5191 maka merger akan memperbaiki struktur industri keuangan nasional. Bila  bank besar membeli bank kecil atau bank kecil bergabung dengan bank kecil maka akan mengurangi jumlah bank. Ini berarti mengurangi beban Bank Indonesia dalam pembinaan, pengawasan dan pemeriksaan bank.
            Selain permasalahan modal, sebenarnya banyak masalah yang menyelimuti perbankan Indonesia saat ini dan merger bukan menjadi jawaban untuk segala penyakit perbankan Indonesia. Permasalahan yang menyelimuti perbankan Indonesia saat ini antara lain :
1.       Kualitas SDM perbankan yang masih rendah.
2.       Persaingan yang ketat karena jumlah bank yang banyak sehingga margin keuntungannya rendah.
3.       Penyebaran tidak merata secara geografis.
4.       Kuantitas dan kualitas aset yang rendah
5.       Cenderung kurang berhat-hati ( less prudential )
6.       Struktur modal yang lemah ( capital adequate ratio )
7.       Sistem pengambilan keputusan kredit yang tidak mandiri
            Dengan merger, sedikitnya masalah modal dan persaingan dapat dikurangi. Tampaknya seruan merger terhadap perbankan swasta harus terus digalakkan dengan memberi insentif perpajakan yang menarik diikuti dengan memberi sanksi kepada bank yang menolak merger tapi keadaanya tidak sehat. Idealnya jumlah bank di Indonesia hanya 15 % dari yang ada saat ini atau 40 buah saja.
2.1.2.7. Antisipasi ke Depan  
            Selama ini peran bank negara sangat dominan. Merger bank negara berarti struktur pasar perbankan dan jasa keuangan akan berubah dengan ditandai semakin dominannya bank negara dilihat dari struktur modal, dana yang dihimpun, dan penyaluran kredit walaupun ini tidak selalu berarti kenaikan laba ( profit ).
            Dengan melihat struktur pasar keuangan yang dikuasai oleh bank yang dominan  ( dominant firm ) dengan menggunakan pendekatan struktural dapat dipastikan intensitas persaingan menjadi tidak seimbang. Memang secara logika dan hukum perusahaan boleh saja menjadi dominannya. Jika merger bank menyebabkan timbulnya monopoli maka pemerintah perlu menyiapkan rambu berupa perangkat hukum agar kepentingan masyarakat dilindungi.
            Selain dampak monopoli maka perilaku bank yang jumlahnya semakin sedikit dan perlu diperhitungkan adalah kolusi. Kolusi dapat bersifat terang-terangan  ( transparent collusive ) maupun yang tersembunyi ( silent collusive ) , semuanya bertujuan mengatur persaingan atau merusak mekanisme pasar ( disturbed market mechanism ). Situasi demikian tampaknya harus dikoreksi dan diantisipasi sebagai tanggung jawab pemerintah ( government responsibilities ) dalam melindungi kepentingan masyarakat secara umum.
            Antisipasi ke depan yang juga harus dipikirkan adalah bagaimana merger dapat dilaksanakan dan perubahan struktur perbankan nasional dapat dilakukan. Struktur organisasi yang tetap hanya akan memperbesar organisasi bank tetapi melanggar esensi dan tujuan merger untuk meningkatkan efisiensi.         
                  Merger bagi perbankan saat ini nampaknya merupakan pilihan yang sulit untuk dihindarkan. Hal ini terutama untuk mengatasi persaingan berbankan yang semakin tajam. Apalagi dalam UU pokok perbankan  No. 7 tahun 1992 yang tidak membeda-bedakan antara bank swasta, bank pemerintah, bank asing, maupun bank campuran. Dengan demikian, masyarakat atau nasabah yang sudah mulai kritis dalam memilih bank akan semakin hati-hati. Nasabah tidak hanya menginginkan dana yang disimpannya aman akan tetapi selain aman juga memberikan bunga tinggi dan pelayanan yang lebih baik. Untuk menunjang semua ini diperlukan adanya daya saing yang tinggi agar banknya tetap bisa survive. Agar dapat meningkatkan daya saing tersebut, setiap bank harus bisa meningkatkan efisiensi yang maksimal.
            Untuk meningkatkan efisiensi tersebut, merger dan akuisisi merupakan upaya-upaya dalam meningkatkan daya saing suatu bank. Tentunya kalangan perbankan harus menyadari bahwa pada era globalisasi ini perdagangan tidak hanya dipengaruhi oleh otoritas moneter negara lain. Dalam konteks ini, bila sebuah bank hanya mempunyai modal yang kecil, hanya mempunyai jaringan usaha yang terbatas, maka bila bank tersebut bank devisa, amat sulit bagi bank tersebut untuk bergerak menghadapi spekulasi yang mungkin muncul dalam pasar uang dunia.   
2.1.2.8. Manfaat Merger dan Akuisisi Pada Bank
            Himbauan Gubernur BI dan Menteri Keuangan agar perbankan melakukan merger, tentu mempunyai latar belakang alasan yang cukup kuat, antara lain :
a.       Beroperasi lebih ekonomis
Banyak bank yang collaps beberapa tahun terakhir ini, karena sulitnya mereka menekan biaya overhead yang cukup tinggi. Dalam menghadapi persaingan yang ketat, maka banyak manajemen bank yang berusaha menarik nasabah dengan berbagai cara misalnya dengan pengiklanan di TV, menaikkan suku bunga simpanan, dan memberikan berbagai hadiah berupa uang maupun barang. Biaya-biaya ini yang menyebabkan overhead cost-nya meningkat sementara omzetnya belum tentu tercapai karena jaringannya kurang luas. Dengan melakukan merger maka akan didapat beberapa keuntungan antara lain penghematan biaya seperti biaya ( gaji ) pimpinan yang relatif sangat tinggi  ( bila dua bank berdiri sendiri berarti mempunyai dewan direksi dan dewan komisaris sendiri-sendiri ). Bila digabung maka hanya akan ada satu dewan direksi dan komisaris. Untuk penghematan biaya karyawan bisa dilakukan perampingan demi efisiensi terutama di kantor pusat, dan jaringan usaha semakin luas. Semakin luasnya jaringan usaha ini bisa menurunkan overhead cost karena dengan biaya iklan dan hadiah yang sama akan mendapatkan omzet yang lebih tinggi. Sehingga dengan demikian ada aspek ekonomis yang didapat dari merger ini.
b.      Pertumbuhan
Pertumbuhan bank akan semakin cepat bila mempunyai daya saing yang handal. Bila hanya berdiri sendiri sementara modal sangat kecil dengan jaringan terbatas maka sulit untuk bisa tumbuh dengan pesat. Dengan bergabung bersama bank lain kemampuan permodalan semakin kuat, jaringan semakin luas, efisiensi bisa ditingkatkan, manajemen diperbaiki maka sangat dimungkinkan untuk bisa tumbuh dan berkembang dengan pesat.
c.       Penghematan Pajak Yang Belum Dimanfaatkan
Bank yang melakukan akuisisi dan merger biasanya salah satunya mengalami permasalahan antara lain turunnya prestasi bank atau sering menderita kerugian sehingga mempunyai potensi penghematan pajak. Dengan bergabungnya bank tersebut dengan bank yang profitable maka potensi penghematan pajak tersebut bisa dimanfaatkan dengan dikompensasikan terhadap laba bank yang profitable.
2.1.2.9. Kerugian Merger pada Bank    
            Disamping ada beberapa keuntungan dari merger, juga ada beberapa kerugian yang kemungkinan ditanggung oleh pemilik bank yang melakukan merger :
a.       Kehilangan kontrol manajemen
Dengan mergernya dua bank atau lebih akan mengakibatkan salah satu dari pemilik akan kehilanagn kontrol terhadap banknya karena bagaimana pun juga pemilik yang mempunyai saham mayoritas lebih leluasa mengendalikan bank. Pada umumnya pemilik bank yang lebih besar akan mengendalikan bank tersebut.
b.      Pengurangan Tenaga Pimpinan
Dengan mergernya bank maka jelas akan mengurangi tenaga kerja, minimal tenaga pimpinan. Direksi tidak mungkin diduduki oleh semua mantan direksi dua bank yang melakukan  merger, demikian pula dengan dewan komisaris. Dengan demikian paling tidak, akan ada pengurangan tenaga direksi dan komisaris yang tentunya harus juga menyediakan uang pengganti jabatan yang tidak sedikit jumlahnya. Namun biasanya karena bank dimiliki oleh suatu grup perusahaan maka tenaga eksekutif ini akan dipindahkan untuk memimpin perusahaan lain dalam groupnya. Yang mungkin juga tidak bisa dihindarkan adalah pemberhentian tenaga kerja dalam rangka efisiensi terutama di kantor pusat karena tidak mungkin akan ada rangkap jabatan atau rangkap pekerjaan maka harus ada yang keluar, dan ini juga memerlukan biaya yang cukup tinggi untuk memberi pesangon.
c.       Kesan Masyarakat
Walaupun merger dimaksudkan untuk meningkatkan kinerja bank, tapi masih banyak masyarakat yang menilai bahwa bank yang merger merupakan bank yang mempunyai prestasi kurang baik sehingga kemungkinan banyak masyarakat yang masih enggan berhubungan dengan bank tersebut.

2.1.3.    Merger dan Akusisi untuk Memperoleh Economic Value 
            Dorongan utama sebuah perusahan melakukan internal development melalui merger atau akuisisi adalah untuk meraih economic value. Economic value added telah menjadi metode yang populer untuk mengukur kinerja korporasi dan divisi atau bahkan untuk menggantikan ROI ( return on investment ) sebagai ukuran standard performance ( Wheelen dan Hunger, 1993 : 289 ).
            Berdasarkan return on invesment, economic value merupakan kelebihan rate of value yang diperoleh dari investasi yang dilakukan atas biaya-biaya dalam investasi itu. Investasi yang memberikan return 20 persen dan cost of capital 10 persen akan memberikan economic value kepada investornya. Suatu perusahaan akan memberikan ekonomic value kepada pemiliknya jika perusahaan itu mengalokasikan sumber daya untuk investasi yang memberikan return lebih besar daripada cost of capital ( Hayden, 1986 ).
             Perusahaan dapat meningkatkan economic value melalui earning return yang melebihi cost of capital-nya dengan cara menurunkan atau menekan biaya modal dan meningkatkan return inilah merger dan akusisi akan berperan.
Concept of Fit             
            Economic value yang ingin diraih melalui merger dan akuisisi akan dicapai melalui concept of fit. Concept of fit merupakan statement tentang bagaimana perusahaan atau unit bisnis dalam portofolio dihubungkan antara satu dengan yang lainnya. Concept of fit adalah salah satu komponen dari corporate strategy perusahaan. Fit merupakan cara dimana organisasi perusahaan bernilai lebih sebagai bagian dari portofolio perusahaan ( company’s portofolio ) lain, daripada jika portofolio perusahaan tersebut berdiri sendiri-sendiri atau secara individual.
            Terdapat tiga kategori yang sering digunakan untuk menggambarkan sebuah fit serta sinergi yang dapat menghasilkan jika perusahaan tersebut digabungkan ke dalam corporate portofolio. Ketiga tipe tersebut adalah :
1.       Financial fit, yaitu penggunaan sumber daya financial yang lebih baik. Heyden ( 1986 ) menyebutkan bahwa financial fit sebagai karakteristik finansial yang terjadi dalam portofolio bisnis yang dapat memberikan cost of capital lebih rendah secara keseluruhan. Financial fit dalam suatu bidang bisnis diukur atas dasar kontribusi dari setiap portofolio bisnis dalam menciptakan keseimbangan financial risk, cyclicaliry, cash flow, seasonality, penggunaan working capital, serta growth opportunity. Pemilihan karakteristik finansial dalam financial fit merupakan tanggung jawab dari penyusun corporate strategy. Financial fit akan menciptakan strategic laverage sedemikian rupa sehingga bisnis dalam suatu portofolio akan memperoleh funding yang lebih murah serta lebih efektif.    
2.       Functional fit, yaitu kemampuan untuk melakukan kapitalisasi pada technical share ( sharing dalam hal-hal teknis ) dan operating competence ( kompetensi operasi ). Menurut Hayden ( 1989 : 148 ), hubungan aktifitas dari bisnis-bisnis yang ada dalam sebuah portofolio memungkinkan adanya kerja sama yaitu dengan cara menggabungkan beberaapa aktifitas yang mungkin dilakukan bersama. Sharing facilities dan aktivities akan menekan biaya serta meningkatkan performance. Functional fit sebuah bisnis diukur melalui kontribusi bisnis tersebut terhadap kemampuan perusahaan untuk melakukan sharing cost guna meningkatkan efektifitas dari fungsi-fungsi tertentu seperti penjualan, pembelian, distribusi, dan periklanan. Membangun functional fit dapat dilakukan dengan mengikutkan bisnis-bisnis yang ada dalam portofolio yang dapat melakukan sharing fungsi dan me-manage bisnis sedemikian rupa sehingga dapat meraih skala ekonomi dan pengalaman komulatif. Functional fit mampu berfungsi sebagai blocking positition atau multipoint competitor. Functional fit tipe ini biasanya terjadi akibat adanya aktifitas penjualan yang efektif. Memilih basis untuk membangun functional fit adalah tanggung jawab dari corporate strategist. Kemampuan untuk membekali functinal fit pada masing-masing bisnis tergantung pada konsep manajemen perusahaan, khususnya yang berkaitan dengan issue transfer pricing. Functional fit memungkinkan bagi bisnis menekan biaya dan menjadi lebih efektif terhadap satu atau lebih functional areas ( bidang-bidang fungsional ) sebagai bagian dari portofolio perusahaan.    
3.       Formula fit, yaitu konsistensi dalam strategi yang dapat melakukan klarifikasi dan menguatkan strategi yang difokuskan pada perusahaan secara keseluruhan. Formula fit pada umumnya akan memperkuat penciptaan fokus strategi perusahan secara keseluruhan. Formula fit diukur sebagai kontribusi bisnis yang berada dalam portofolio terhadap penyusunan dan implementasi stategi generik ( Hayden, 1989 ). Sebagai contoh, perusahaan dengan empat bisnis dalam portofolio. Keempat bisnis tersebut difokuskan pada penciptaan cost leadership strategy. Jika perusahaan menambah satu jenis bisnis dalam portofolionya, maka bisnis yang baru itu juga akan berkompetisi melalui cost leadership strategy. Bisnis yang kelima ini akan memperoleh benefit dari kemampuan perusahan secara keseluruhan untuk mengatur strategi serta memperkaya pengalaman dalam mengelola sejumlah bisnis dalam sebuah portofolio. Formula fit dapat membangun strategic laverage karena perusahaan akan memperoleh manfaat dalam bentuk pengalaman dalam mengelola bisnis-bisnisnya. Pengalaman-pengalaman semacam itu merupakan modal pokok dalam menciptakan competitive strategy bagi perusahaan.
Penyusunan bauran strategi generik serta dasar penyusunan formula fit tersebut adalah tanggung jawab dari corporate strategist ( penyusun strategi korporasi dalam sebuah perusahaan ). Dalam praktek, terdapat beberapa perusahaan yangmenerapkan stategi generik pada setiap bisnisnya. Namun pada beberapa perusahaan yang lain, tiap-tiap bisnis dalam portofolio mengikuti strategi yang berbeda. Bisnis dengan strategi yang sama dikelompokkan menjadi satu. Misalnya perusahaan yang me-manage beberapa bisnisnya dengan cost leadership strategy. Bisnis-bisnis dengan cost leadership strategy dikelompokkan dalam satu group. Demikian pula untuk bisnis-bisnis yang dijalankan dengan differentiation strategy juga dikelompokkan dalam satu kelompok strategi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa membangun formula fit itu pada dasarnya merupakan upaya untuk membangun fit berdasarkan keahlian atau know-how.                             


















PENDAHULUAN
1.1.  LATAR BELAKANG MASALAH
Pasar modal di Indonesia baru ada pada tahun 1912 yakni denganberdirinyaBursa Efek di Jakarta (Batavia). Sejak pendiriantersebulsampai tahun 1977 aktivitas Bursa Efek Jakarta (BEJ)belum begitu menonjol.Pemerintah mengaktifkan kembaliBEJpadatahun1977 yang ditandai dengan go public-nyaPT Semen Cibinong dan berdirinyaPT Danareksayang telahmengeluarkan sertifikat Danareksa.Usahatersebut masih belummenunjukkan dampak yang berartiterhadap perkembangan pasar modal di Indonesia, terbukti dengan masihsedikitnyaperusahaan yangmendaftarkan sahamnyo di BEJ.
 Usahapemerintah tersebutdilanjutkan dengan paket deregulasiyang dikenal denganpaket Desember (Pakdes) 1987, paketOktober (pakto) 1988 dan paket Desember (pakdes) 1988. Dengan paket‑paket tersebut pasar modal di Indonesia mengalami perkembangan pesat. Sampaidengan periode 1988‑1991 jumlahsahamyang diperdagangkanmeningkatdari 57,7 jutalembar saham dengan nilai kapitalisasipasar Rp 12 milyar menjadi 3,7 milyarlembar dengan nilai pasar Rp l6,4 Triliyun (Hasan Zein Mahmud, 1992: hal.20).
Pasar modal merupakan tempatkegiatan perusahaan dalam rangkamencari danauntuk pembiayaanusahanya. Selain itu pasar modal, merupakan suatu usaha ke arah penghimpunan danadengan mengikutsertakanmasyarakat secaralangsungdengan caramenanamkan dananyakedalamperusahaanyang sehat dan baikpengelolaannya.
Manfaat Pemilikan saham atauobligasibagi pemodal (Sumartono, 1990: hal. 22‑123) antaralain:
1.      Dana modal akan berkembang secaramantap mengikuti perkembangansituasi ekonomi.
2.      Pemodal wiraswastayangbersangkutan dapat menarik sebesar‑besarnya dari cara pengelolaan danaoleh para profesionaldemi keuntungan dirinyasendiri
3.      Dengancaramembagi resikopenanaman modal pada beberapajenis sertifikat makaakan terdapatpersentase keuntungan yang cukupbermanfaat bagi pengembangan usahanya.
1.2. Perumusan masalah
¨      Sejauh mana analisis kelayakan harga saham dapat menjadi petunjuk bagi para pemodal untuk membeli atau menjual saham.
¨      Sejauh mana pengaruh faktor fundamental dan resiko ekonomi terhadap penentuan return awal saham.

1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dimaksudkan untuk:
1.      Menganalisis apakah faktor fundamental (ROA dan PBV) dan resikoekonomi(inflasi dan nilai tukar) secara bersama‑sama berpengaruh terhadap return saham.
2.      Untuk menganalisis variabel mana yangberpengaruh signifikan dan dominanterhadap return saham.
3.      Untuk menganalisis seberapa besarkontribusi faktor‑faktor fundamental danresiko ekonomi mampu menjelaskan return saham.


BAB II
TELAAH PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN MODEL
2.1. Konsep-Konsep Dasar
2.1.1        Investasi Saham di Pasar Modal
Investasi dapat diartikan sebagaikegiatan menanamkan modal baiklangsung maupun tidak langsung,dengan harapan padawaktunyanantipemilik modal mendapatkan keuntungan darihasil penanaman modal tersebut.Investasi dalam arti luas terdiri dari 2(dua) bagian utama , yaitu investasidalam bentuk aktiva riil (real assets) dan investasi dalam bentuk surat berharga(marketable securities atau financial assets). Akfivariiladalah aktiva berujudseperi emas,perak, intan, barang‑barangseni, dan real estate. Sedangkan aktivafinansial adalahsurat‑surat berhargayang merupakan klaim atasakfiva riil.
Salah satu alternatif' investasi di pasarmodal adalah saham. Investasi dalam bentuksaham sebagai investasi jangkapendek dan investasi jangkapanjangtergantung daritujuanpembeliannya.Investasi dalambentuk saham yangdikelompokkan sebagai investasi jangkapanjang biasanyadilakukan denganberbagai tujuan (Zaki Baridwan, 1992: hal.231) yaitu(1) untuk mengawasiperusahaan lain, (2) unluk memperoleh pendapatan yang tetap setiap periode, (3) untuk membentuk suatu dankhusus, (4) untuk menjamin kontinuitas suplaibahan baku, (5) untuk menjaghubungan antar perusahaan.
Investasi di pasar modal akanmemberikan berbagai keuntungan bagipemegang saham yaitu antaralain kemungkinan memperoleh capital gain, memiliki hak prioritas untuk membelibuktirightyang dikeluarkan perusahaan,kemungkinan memperoleh deviden,kemungkinan memperoleh hak atassaham bonus, waktu pemilikan takterbatas dan berakhir padasaat menjualkembali saham, dan membeli hak suaradalam rapat umum pemegang saham.
2.1.2. ANALISIS PENENTUAN SAHAM YANG DIBELI
Pada umumnya parapemegang modalyang rasional mengambil keputusanmembeli atau menjual saham didasarkanpada hasil analisis kelayakan hargasaham. Analisis yang dilakukan parapemodal sesuai dengan informasi yangmereka terima. Dalam hal penilaian hargasaham ada beberapa pedoman yangdapat dikemukakan. Pertama, bila hargasaham melampui nilai intrinsik sahamsebaiknyadilakukan penjualan saham,sebab kondisi seperti ini pada masa yangakan datang,besar kemungkinan terjadikoreksi pasar. Kedua, bilahargasaham sama dengan nilai instrinsiknya makatransaksi pernbelian atau penjualan tidakdilakukan. Ketiga, bila harga saham lebihkecil dari nilai instrinsiknya sebaiknyadilakukan pembelian sebab besarkemungkinan dirnasayang akan datangterjadi lonjakan harga saham.
2.1.2.1. Pendekatan Penilaian Saham
Dalam penentuan sahamperusahaan yang layak untuk dibeli,digunakan beberapaalat analisis yaitu:
1. Pendekatan Teknis (Technical Approach).
Analisis teknis dapat didefinisikan sebagai suatupenggunaan pasar spesifik untukmenganalisis sebuahsaham invidualdari seiumlah saham di bursa. Analisisteknis ini biasapuladisebut analisis internal atau analisis pasar (market or intemal analisis), karenapenggunaancatatan‑catatan harga pasar saham itusendiri berusahauntuk menilaipermintaan dan penawaran suatusaham. Analisis teknikal ini didasaripadadata pasar yang telahdipublikasikan, termasuk laporankeuangan. Data pasar tersebutmeliputi pulahargasaham atau indekshargasaham, volume perdagangan dan sebagainya. Tujuan analisis teknisadalah memprediksi pergerakan‑pergerakan hargasaham individu atausejumlah saham di pasar dalamjumlah waktu yang relatif pendek.
               Analisis teknis secara rasionalmenyatakan bahwanilai suatu sahammerupakan fungsi dari permintaan dan penawaran saham. Jadi pendekatan inimenekankan padaperilakuhargasaham dan mungkin jugavolume ( trading )yang timbul daripermintaan dan penawaran yang akanmenentukan hargasaham dimasamendatang. Pendekatan inimemusatkan perhatian investor padapergerakan hargasaham dan menarikkesimpulan dari kecenderungan (trend) gerakan hargatersebut untuk meramaltingkathargayang akan datang.Dengan demikianpenganut inimembuat strategi maupun teknisanalisis berdasarkan hargasaham.Pendukung pendekaton analisis teknik sering disebut Chartists.Para Chartist beranggapan 90% pasar modal melakukan transaksi berdasarkan psikologidan 10% berdasarkan logika.
Dalam analisis teknikal yangdilakukan dengan analisis sahamberdasarkan pada informasi dari luarperusahaan umumnya mempertimbangkan kondisi negara, seperti kondisiekonomi, politik, dan finansial suatuNegara.Analisis teknikal dapat diukurberdasarkan risiko negara yang terdiri dari3 risiko yaitu: political risk, financial risk,daneconomi risk (Claude et. al, 1996).
Risiko Ekonomi.
Risiko ekonomi terdiri dari 6 faktor yaitu: (1) tingkat inflasi, (2) utang jasa yang diukur dari prosentase ekspor barang dan jasa, (3) rasiolikuiditas internasional,(4)pengalaman perdagangan internasional, (5) neraca berjalan yang diukur dariprosentase barang dan jasa, dan (6) indikator nilai tukar. Adapun bobot dari masing‑masing faktor dalamekonomi adalah sebagai berikut:tingkat inflasi (20%), utang jasa yang diukur dari prosentase ekspor barang dan jasa (20%), rasio likuiditas internasional (10%),pengalaman perdagangan internasional (10%), neraca berjalan yang diukur dari prosentase barang dan jasa (30%), dan nilai tukar diberibobot 10% (Claude et al. 1996: pp.31). Dalamhalini,risiko ekonomi yang digunakan adalah tingkat inflasi dan nilai tukar. Keduafaktor dalam risiko ekonomi tersebut dijelaskan sebagai berikut:
Inflasi
Inflasi merupakan proses kenaikan harga‑harga umumbarang‑barang secara terus‑menerus. Kenaikan harga tersebut diukur denganmenggunakan indeks harga. Beberapa indeks harga yang sering digunakan untuk mengukur ini antara lain: (1) indeks biaya hidup (consumer price index), (2) indeks harga perdagangan besar (Wholsalepriceindex), dan (3) GNP deflator.
Indeks biaya hidup mengukur biayaatau pengeluaran untuk membeli sejumlahbarang dan jasa yang dibeli oleh rumahtangga untuk keperluan hidup. DanGNP deflator mencakup jumlah barang dan jasayang masuk dalam perhitungan GNP, sehingga jumlahnya lebih banyak daripada indeks biaya hidup dan indeksperdagangan besar. GNP deflator diperoleh dengan membagi GNP nominal(atas dasar harga berlaku) dengan GNP riil (atas dasar harga konstan). Dari ketigajenis inflasi tersebut, yang digunakansebagai proxy dalam penelitian ini adalah indeks biaya hidup (consumer price index).  Inflasi dapat menurunkan keuntungan suatuperusahaan sehingga sekuritas di pasar modal menjadi komoditi yang tidak menarik. Dengan demikian dapat dirumuskan bahwa inflasimemiliki hubungan yangnegatif dengan return saham.
Nilai Tukar
Nilai tukar mata uang (exchange rate) atau sering disebut sebagai kurs merupakan harga mata uang terhadap mata uang lainnya. Kursmerupakan salah satu harga yang terpenting dalam perekonomian terbuka mengingat pengaruhnya yang demikian besar bagi neracatransaksi berjalan maupun varibel-variabel makroekonomi yang lainnya.
Adadua pendekatan yang digunakan untuk menentukan nilai tukar (exchange rate) yaitu pendekatan moneter (monetary approach) danpendekatan pasar asset (asset market approach). Pada pendekatan moneter, nilai tukar didefinisikan sebagai harga dimana mata uangasing (foreign currency / foreign money) diperjualbelikan terhadap mata uang domestik (domestic currency / domestic money) dan hargatersebut berhubungan dengan penawaran dan permintaan uang. Kontribusi perubahan nilai tukar terhadap keseimbangan penawaran danpermintaan uang digunakan hubungan absolute purchasing power parity (PPP)yang merupakan keseimbangan antara harga domestik Pdan konversi kurs valuta asing ke dalam mata uang domestik eP* dengan rumusan P = eP* atau e = P1 P* (Batiz and Batiz, 1985: pp. 473).
Dalam transaksi valuta asing dibedakan menjadi dua jenis kurs yaitu kurs spot (spot rate) dan kursberjangka (forward rate). Dari kedua jenis transaksi tersebut, transaksi valuta asing yang paling dikenal adalahtransaksi seketika (on the spot). Transaksi spot yang lazim digunakan dalam melakukan pembayarandan penerimaan valuta asing adalah dalam jangka waktu dua hari kerja setelah disepakatinya transaksi tersebut.Sedangkan transaksi berjangka (forward transaction) merupakan kesepakatan yang dicapai pada hari ini namun baru.berlaku beberapa waktu kemudian (misalnya 3 bulan). Dalam tulisanini kurs yang dipakai adalah kurs spot (spot rate).
Nilai tukar mata uang atau kurs antara Rp/ US$ pada dasarnya sama dengan jumlah rupiah tertentu yang diperlukanuntuk memperoleh US$1. Simbol yang biasa digunakan untuk menyebut kurs adalah R. Dengan demikian rumuskurs adalah R = Rp/ US$; jika R = Rp/ US$ = 9500, berarti kita memerlukan Rp 9500 untuk membeli US$1.
Kurs juga dapat didefinisikan sebagai harga 1 unit mata uang domestik dalam satuan valuta asing. Definisi inimerupakan kebalikan atau rumus resiprokal dari definisi di atas; sehingga harga rupiah dalam satuan US$ dirumuskan sebagai: 1/ R = 1 / 9500 = 0.000105263. Ini berarti US$ 0.000105263 nilainya sama dengan Rp 1 (Salvatore, 1997: pp. 13). Dalam tulisanini yang digunakan adalah rumusyang kedua (1 / R), karena dengan rumus resiprokal ini dapat dihitung besarnya apresiasi ataupun depresiasi rupiah terhadap dolar AmerikaSerikat.
Melemahnya nilai tukar domestik terhadap mata uang asing (seperti rupiah terhadap dollar) memberikan pengaruhyang negatif terhadap pasar ekuitas karena pasar ekuitas menjadi tidak memiliki daya tarik. Dengan demikian secarateoritis, inflasi memiliki hubungan negatif dengan return saham.
Hasil penelitian yang menghubungkan antara inflasi dengan harga return sahamjuga menunjukkan bukti yang berbeda‑beda (Christianta PYM, 1996; Adler Manurung, 1994; Indi Sutopo &Sudarto, 1999; Enny Pudyastuti, 2000; dan Claude et al., 1996). Demikian pula hasil penelitian yang menghubungkan nilai tukar dengan harga atau returnsaham (Setyorini &Supriyadi, 2000; Adler Manurung, 1994; Christianta PYM, 1996; dan Claude et al., 1996). Berdasar bukti empirisyang berbeda tersebut, maka perlu dilakukan penelitian lanjutan yang menghubungkan antara faktor fundamental dan risiko ekonomi terhadap harga atau return saham.
2. Pendekatan Fundamental
            Analisis Fundamental merupakananalisis yang berhubungandengan faktor fundamental perusahaan yangditunjukkan dalam laporan keuanganperusahaan. Atas dasar laporan keuangan,para investor dapat melakukan penilaiankinerja keuangan perusahaan terutamakeputusan dalam hal melakukan investasi.Bagi para pemilik atau pemegang sahambermanfaat untuk melihat tingkat kembalianyang tercermin dalam laporan rugi laba danbesarnya dividen yang menjadi hak parapemegang saham.
        Analisis rasio merupakan bentuk ataucara yang umum digunakan dalamanalisis laporan finansial. Rasio merupakan alat yang dinyatakan dalam artian relatif maupun absolut Untuk menjelaskan hubungan tertentu antara faktor yang satu dengan faktor yang lain dari suatu laporan finansial. Rasio dapat dihitung berdasarkan financial statement yang terdiri dari neraca (balance sheet) danrugi‑laba (income statement). Manfaatanalisis rasio pada dasarnya tidak hanyaberguna bagi kepentingan intern perusahaanmelainkan juga bagi pihak luar. Dalam hal iniadalah calon investor atau kreditor yangmenanamkan dananya dalam perusahaanmelalui pasar modal dengan cara membelisaham perusahaan yang go public. Bagimanajer finansial, dengan menghitung rasio‑rasio tertentu akan memperoleh suatuinformasi tentang kekuatandan kelemahanyang dihadapi oleh perusahaan di bidangfinansial,sehingga dapat membuatkeputusan-keputusan yang penting bagikepentingan perusahaan untuk masa yangakan datang. Sedangkan bagi investor, ataucalon investor atau calonpembelisahammerupakan bahan pertimbangan apakahmenguntungkan untuk membelisahamperusahaan yang bersangkutan atau tidak(Syafaruddin Alwi, 1994: pp. 108).
        Rasio keuangan dapat dikelompok­kandalarn. 5 jenis yaitu: rasio likuiditas(liquidity ratio), rasio aktivitas, rasio rentabilitas (profitability ratio), rasio solvabilitas, dan rasio pasar (Robbert Ang 1997: pp. 18.23). Dalam halinidigunakan dua rasio keuangan yaitu re­turn on assets (salah satu rasio profitabilitas) dan price to book value (salah satu rasio pasar). Kedua rasio keuangan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
Return on Assets (ROA)
Return on Assets (ROA) merupakan salah satu rasio profitabilitas yang mengukur efektifitas perusahaan dalam menghasilkan keuntungan dengan memanfaatkan aktiva yang dimilikinya. ROA sering disebut sebagai return on in­vestment.(R0I) yang besarnya dapat dihitung dengan formula sebagai berikut :
  

Indikator ROA merupakan salah satu indikator keuangan yang sering digunakandalam menilai kinerjaperusahaan..Semakin besar ROA, maka kinerjaperusahaan tersebut semakinbaik, karenatingkat kembalian (return) semakin besar. Konsekuensinya, ROI yang meningkatakan meningkatkan return saham.
Price to Book value (PBV )
SedangkanPrice to Book value (PBV ) merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur kinerja harga pasar terhadap nilai bukunya. Perusahaan yang berjalan dengan baik, umumnya rasio PBV-nya mencapai diatas satu yang menunjukkan bahwa nilai pasar saham lebih besar dari nilai bukunya. Rasio ini dihitung dengan formula :

PBV =     Ps
BVS
PBV adalah indikator lain yang digunakan untuk menilai kinerja perusahaan. Semakin besar rasio PBV semakin tinggi perusahaan dinilai oleh para pemodal ( investor ) relatif dibandingkan dengan dana yang telah ditanamkan di perusahaan.
Meskipun secara teoritis ROA dan PBV memiliki pengaruh yang positif terhadap return saham, beberapa bukti empiris sering kalimenunjukkan hasil yang tidak sejalan. Hasil‑hasil penelitian sebelumnya yang menghubungkan antara faktor fundamental (ROA dan PBV)dengan return saham menunjukkan hasil yang berbeda‑beda (Rina Trisnawati, 1999; Syahib Natarsyah, 2000; Silalahi, 1991; Sugeng Sulistiono, 1994, Sulaiman, 1995 dan Leki Rofinus, 1997). Demikian pula penelitian yang menghubungkan antara PBV denganharga atau return saham juga menunjukkan bukti yang berbeda‑beda (Ferson &Harvey, 1996; Claude et al, 1996; Siddharta Utama &AntoYulianto, Budi Santoso, 1998).
Dalam analisis fundamental ini mengansumsikan adanyabeberapa saham yang mempunyai nilai intrinsik atau nilai tetap (true value) seperti yang diperkirakan investor. Nilai intrinsik ini tergantung pada kemampuan menghasilkan laba(potensial earning). Kemampuan menghasilkan labaakan dipengaruhioleh beberapafaktor, antaralain mutumanajemen, suku bunga, rata‑ratadan prospek industrisejenis, prospek ekonomi dan sebagainya. Jadinilai teoritis inidalam praktiknyasering berbedadengan nilai aktualseperti halnyadengan harapan yang tidak selalu menjadi kenyataan.
Implikasi yang dapat djelaskan antara nilai intrinsik dengan harga sahampadasaat ini(current market price )adalah :
a.Jika nilai intrinsik lebib besar daripadaharga pasar saham saat ini, makasaham tersebut adalah undervalued dan sebaiknyadibeli atau tetap disimpan/ditahan jika dimiliki.
b.Jika nilai intrinsik lebih kecil daripadahargasaham saat ini, makasaham tersebutovervalued dan sebaiknyadihindari, dijual bila dimiliki.
c. Jikanilai intrinsik samadengan hargapasar saham saat ini berarti   terjadikeseimbangan dimana sahamtersebut mempunyui nilai yang wajar (correctlyvalued).
Dengan analisis fundamental yangmendalam dan menyeluruh atas kondisisuatu perusahaan emiten, investorakan memilih manasaham yang dinilai rendah dan manasahamyang dinilaiterlalu‑tinggi. Untuk menganalisis dan menyeleksi tersebut, investor dapat menggunakan beberapa analisis, diantaranya : (1)analisis ekonomik, (2) analisis industri, dan (3) analisis emiten.
AnalisisEkonomik
Menganalisis kondisi perekonomian suatu negara dan pengaruhnyaterhadap perkembangan pasar modal. Secarakeseluruhan analisis ekonomik ini meliputi:
a.Analisis pertumbuhan (growth)
b.Analisk tingkat inflasi dan tingkatbunga
c.Analisis kebijakan pemerintah (APBN, regulasi sertaderegulasi).
Analisis pertumbuhan
Dalamanalisis ini diharapkan semakin tinggi pertumbuhan ekonomi suatu negaramakaperkembangan hargasaham akan menunjukkanpeningkatan yang positif. Sebaliknyaapabila pertumbuhan ekonomi yang relatif rendah akan menimbulkan kelesuan pasar modal yang ditandai dengan rendahnyavolume perdagangan saham, hargasaham cenderung turun dan perusahaan yang go public relatif sedikit.
Analisis tingkat inflasi dan tingkat suku bunga;
Tingkat.inflasi dan tingkatsuku bungamempunyai pengaruhyang negatif terhadapperkembangan pasar modal. Suatu negara dengan tingkat inflasi yang tinggi mengakibatkan memburuknyasituasipasar modal. Namun sebaliknyatingkatinflasi yang semakin turun makapasar modal semakin berkembang. Hal samaterjadi pada tingkat suku bungadeposito, karena deposito adalah salah satu alternatif keputusan investasiyang merupakan produk substitusi dari pasar modal. Apabilarata‑rata tingkat bungadeposito jauh lebih tinggi daripadatingkat deviden saham makapasar modal sulitberkembang.
Analisis kebijakan pemerintah
Kebijakan pemerintah mempunyai pengaruhlangsung atautidak langsung terhadap perkembangan pasar modal. Adanyapaket‑paket deregulasi seperti paket deregulasi bulan juni 1983 yang memberikan kebebasan kepada bank‑bank untuk menetapkan tingkatsuku bungamenyebabkan meningkatnyasuku bungadeposito sehinggainvestasipadadeposito menjadi lebih menarik dibandingkan saham. Dengan dikeluarkannyapaket deregulasi oleh pemerintahdi bidang pasar modal padabulan Desember 1987 (pakdes'87) yang menyangkutpenyederhanaan dan . persyaratan dan proses emisi sertadibukanyakesempatan bagi investor asing untuk membeli danmemiliki saham sertapenyederhanaan prosedur perdagangan di bursa merupakan kebijakan pemerintahyang strategis dalammengembangkon pasar modal. Pakto' 87 yang memuat ketentuan pengenaan pajak 15% atas bungadeposito dan penurunan batas likuiditas(RR) dari15% menjadi 2% secaratidaklangsung mendorong mengalirnyainvestasi ke pasar modal.
Pakdes'88, menitikberatkan usahauntuk lebihmemasyarakatkanpasar modal dan menyebarkan pemilikanperusahaanke masyarakatluas, Pakdes 1988 memberikan kesempatan kepadapihak swastauntuk menyelenggarakan bursa efek di beberapa kota diluar Jakarta. Disamping itu jugapakdes'88 memperkenalkan calon emiten untuk menerapkansistem perusahaanterdaftar (Iisted company) selain sistem saham terdaftar (listedshared).
Rangkaian deregulasi menunjukkan tekad pemerintah untuk mengembangkan pasar modal sebagai salah satualternatif peluasan investasi, dan nampaknyausahapengembangan pasar modal masih akan terus berlanjut.
AnalisisIndustri
Dalam analisis ini diperlukan pengetahuan yang mendalam mengenai sektor utama aktivitas ekonomi yangmempengaruhi jenis industri tertentu. selain itu perlu puladiketahui kekuatan dan kelemahan jenis industri tertentu.Jenis industri yang dimaksud adalah sekolompok perusahaan produktif yang mempunyai struktur teknologi yang samadanmenghasilkan barang atau jasa yang dapat saling mengganti. Beberapakarakteristik penting yang perludipertimbangkan analisisefek seperti penjualan dan laba, permanensi industri, sikap dan kebijakan pemerintah terhadapindustri, kondisi perburuan dan terhadap industri, kondisi perburuan danindustri, kondisi persaingan dan hargasahamperusahaan industriyang sejenis. Dalam analisis ini ditunjukkan untukmenganalisis sektor‑sektor yang mempunyai prospek cerah. Hasil analisis sektor ini merupakan salah satupertimbangan dalam memilihsaham yang akan dibeli yaitu saham‑saham perusahaan yang bergerak pada sektoryang mempunyaiprospek cerah.
Analisis Emiten
            Analisis perusahaan yang mengeluarkan saham(emiten) merupakan unsur penting dalam pendekatan fundamental, karenainformasi dariperusahaan yang dianalisis inilah yang dapat mengungkapkan performance perusahaan.Informasi yang dapat diperoleh berupainformasi intern dan ekstern, baik berupa perusahaan emiten itu sendirimaupun daripihak lainnya. Informasi tersebut seperti laporan tahunan dan laporan intern yang didalamnyaterdapatlaporan keuangan periode tertentu. Selain laporan keuangan dapat dianalisis lebihmendalam mengenai likuiditas ,solvabilitas dan rentabilitas perusahaan. Disamping informasi akuntansi, investor jugamemerlukan informasi yangsifatnyaekspektasi (forecasting). Kebutuhan informasi ini didasarkan padapertimbangan bahwaharga sahamditentukan antaralain oleh kinerja perusahaan dimasalampau dan ekspektasi dimasayang akan datang.