BAB
I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG MASALAH
Merger
dan akuisisi merupakan dua bentuk praktek penggabungan ( business combination ) yaitu penyatuan dua
perusahaan atau lebih yang terpisah menjadi satu entitas ekonomi kerena
perusahaan menyatu dengan perusahaaan lain atau memperoleh kendali atas aktiva
dan operasi perusahaan lain. Perusahaan yang melakukan pengambilan harta dan
kewajiban atau kendali disebut acuiring company ( perusahaan pengakuisisi )
atau bidder sedangkan perusahaan yang diambil alih disebut dengan target
company ( perusahaan target ). Target
company akan memperoleh penggantian dari acuiring company yang mungkin berupa
pembayaran tunai atau saham perusahaan tertentu atau kombinasinya.
Merger
merupakan penggabungan dua atau lebih perusahaan dimana satu perusahaan yang
bergabung tetap hidup sedangkan perusahaan lainnya dilikuidasi. Harta dan
kewajiban perusahaan yang dilikuidasi diambil alih oleh perusahaan yang berdiri
dan meneruskan usahanya. Ditinjau dari strukturnya, M dan A dapat dikualifikasikan
menjadi tiga yaitu : ( Kwik Kian Gie , 1992 )
1. Dalam bentuk penggabungan usaha, misalnya PT AA membeli semua asset dan
liabilitas PT AB.
2. Diciptakan sebuah holding company, misalnya PT AC didirikan untuk
tujuan membeli PT AA dan PT AB.
3. Tidak melalui badan hukum yang merupakan holding tetapi melalui
perseorangan. Misalnya tuan A sebagai pemegang saham mayoritas saham PT AA
membeli seluruh saham PT AB, meskipun kedua perusahaan tersebut masih berdiri sendiri secara hokum namun
sebenarnya telah terjadi penggabungan antar PT AA dan PT AB karena kendali atas
kedua perusahaan tersebut ada pada satu tangan ( tuan A ).
1.2.
Rumusan Masalah
1.
Sejauh mana efektifitas merger dan akuisisi dapat
meningkatkan sinergi dan kinerja perusahaan.
2.
Permasalahan apa yang timbul setelah dilakukannya
merger dan akuisisi.
1.3.
Tujuan Penelitian
1.
Dapat menganalisa pertimbangan dan alasan
perusahaan untuk melakukan atau tidak melakuakan merger dan akuisisi.
2.
Dapat memberi masukan bahwa merger dan akuisisi
dapat memberi keuntungan disamping bisa mendatangkan kerugian.
TELAAH PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN
MODEL
2.1. Konsep-konsep Dasar
2.1.2.
Macam-Macam
Merger Dan Akuisisi
Dilihat
dari segi hubungan usaha, perusahaan yang melakukan M & A dapat
terjadisecara horizontal, vertikal atau konglomerasi. M dan A horizontal
terjadi antara perusahaan-perusahaan yang sejenis, misalnya bank merger dengan
bank yang lain atau hotel dengan hotel. Merger horizontal terutama untuk
mengurangi persaingan karena dengan demikian kendali atas keduanya berada pada
orang yang sama. M dan A secara vertikal terjadi diantara perusahaan-perusahaan
yang bergerak dalam tahap-tahap proses produksi yang berbeda. Misalnya
penggabungan usaha perusahaan penerbangan dengan travel agen, perusahaan
printing dengan perusahaan konveksi. Sedangkan M dan A konglomerasi terjadi
jika perusahaan yang bergabung tidak mempunyai keterkaitan usaha sama sekali
atau bergerak di bidang yang berbeda, misalnya merger bank dan hotel.
Merger
dapat dilakukan dalam bentuk statutory merger, subsidiary merger dan reserve
merge. Statutori merger adalah merger dimana keseluruhan harta dan kewajiban
dari target company akan diambil alih oleh acuiring company dan sebagai
gantinya, pemegang saham target company akan memperoleh saham dari saham
acuiring company. Subsidiary merger terjadi jika perusahaan anak dari acuiring
company mengambil alih langsung harta dan kewajiban dari target company. Atau
dengan kata lain, dalam subsidiary merger, perusahaan target company akan
bergabung dengan perusahaan anak dari
acuiring company. Sedangkan dalam reserve triangular merger, perusahaan anak
dari acuiring company yang disebut dengan “ holding company “ akan bergabung
dengan target company. Holding company didirikan untuk tujuan khusus dengan
memiliki sebagian besar saham-saham perusaahan lain. Dengan adanya penggabungan
antara holding dengan target company, maka berarti target company tadi
selanjutnya telah menjadi anak perusahaan dari acuiring company.
Adapun
Akuisisi ( acquisition ) dalam bahasa Indonesia diartikan “ pencaplokan “
karena yang terjadi, perusahaan yang kuat
memakan perusahaan yang lemah.
Dalam hal ini menunjukkan, perusahaan target menjadi pihak yang terpaksa.
Akuisisi merupakan bentuk takeover ( transfer kendali ) dari target company
atau konsolidasi. Istilah akuisisi dan takeover sering digunakan saling
menggantikan meskipun kurang tepat karena artinya sangat kasar dan dikaitkan
dengan masalah monopoli, maka istilah akuisisi dan takeover tidak disukai untuk
digunakan.
Sedangkan
konsolidasi diartikan sebagai penggabungan dua perusahaan atau lebih menjadi
satu, selanjutnya perusahaan-perusahaan yang bergabung tadi diikutkan sehingga
hanya ada perusahaan baru yang lebih besar dari perusahaan semula.
2.1.2. Beberapa
Alasan Merger
Alasan
untuk merger pada prinsipnya hampir sama dengan alasan untuk melakukan
akuisisi. Namun demikian, dalam merger, penggabungan dilakukan secara
sukarela ( voluntarily ). Hal ini
disebabkan karena masing-masing secara aktif ingin mendapatkan keuntungan
sinergis, atau karena adanya dampak dari perubahan lingkungan yang muaranya
adalah pada perubahan kesempatan ( opportunity ) dan ancaman ( threats ).
Johnson
dan Scholes ( 1989 ) menyebutkan tentang beberapa alasan bagi perusahan yang
melakukan merger :
1. Merger adalah suatu cara yang tepat untuk memasuki pasar baru dan
produk baru. Dalam kenyataannya, pasar dan produk berubah sedemikian cepat
sehingga merupakan satu-satunya cara untuk menuju sukses di pasar jika proses
internal development berlangsung secara lambat.
2. Kurangnya pengetahuan dan sumber daya untuk mengembangkan strategi
secara internal.
3. Merger dilakukan atas dasar financial motive jika share value ratio
dari sebuah perusahaan tinggi, kemudian perusahaan dengan share value rendah
ada kemungkinan melakukan persuasi dan negosiasi untuk merger. Hal ini menjadi
dorongan pokok bagi perusahan yang agresif untuk melakukan akuisisi atau
merger.
4. Adanya dorongan untuk meraih cost efficiency
sehingga membuat merger lebih menarik.
2.1.2.1. Tujuan
Merger dan Akuisisi
Merger dan akuisisi merupakan salah satu strategi
untuk mencapai keberhasilan bisnis. Tujuan M & A dapat dibagi menjadi dua,
yaitu tujuan ekonomis dan dan tujuan non ekonomis. Tujuan ekonomis berkaitan
dengan usaha yang dilakukan perusahaan dalam jangka panjang terutama untuk
meningkatkan profitabilitas dan menjaga kelangsungan hidupnya. Secara
eksplisit, tujuan ekonomis misalnya sebagai upaya memperluas jaringan
distribusi dan pangsa pasar, memperoleh tim manajemen yang tangguh, memperoleh
teknologi maju, Meningkatkan Return oninvesment ( ROI ) dan return on
equity ( ROE ), meningkatkan skala ekonomi dalam produksi, diversifikasi
produk, menyelamatkan perusahaan lain dari kebangkrutan, dan sebagainya. Dengan
kata lain M &A dimaksudkan sebagai strategi perusahaan untuk meningkatkan
efisiensi dan produktivitas.
Sedangkan tujuan non ekonomis, M & A dilakukan
dengan berbagai macam motivasi. Misalnya keinginan agar perusahaan dapat
predikat sebagai the Biggest Company di suatu daerah, panggilan rasa
kedaerahan pemilik perusahaan, karena dengan ini perusahaan dapat memperluas
lapangan kerja di daerahnya, menjual perusahaan keluarga yang telah berkembang
tetapi tidak ada keluarganya yang mau melanjutkan usahanya, dan sebagainya (
Heru Sutoyo, 1992 ).
Di Indonesia perusahaan yang melakukan M & A
misalnya karena alasan likuiditas atau mismanajemen, atau penurunan penjualan
sehingga diambil alih oleh bank pemberi pinjaman. Di Jepang, M & A banyak
terjadi karena adanya modal ventura. Perusahaan modal ventura memberikan
bantuan modal, manajemen, pemasaran, dan teknologinya kepada perusahaan yang masih
lemah. Bantuan ini dapat diberikan sampai perusahaan go public dan
setelah menjadi perusahaan publik, saham-sahamnya yang beredar dibeli oleh
perusahaan ventura.
2.1.2.2 Manfaat
Merger dan Akuisisi
Keputusan M & A
merupakan salah satu strategi investasi perusahaan yang sangat penting dan
mendasar. Oleh karena itu, setiap keputusan M & A seharusnya telah
dipertimbangkan manfaat dan pengorbanannya ( benefit and cost ) yang akan
terjadi. Pertimbangan benefit and cost
dapat ditinjau baik dari segi kepentingan acuiring company maupun target
company. Kwik Kian Gie ( 1992 ) mencatat
beberapa manfaat M & A :
a.
Komplementaritas
Penggabungan dua
perusahaan sejenis atau lebih secara horisontal dapat menimbulkan sinergis.
Sinergis timbul karena adanya sifat saling melengkapi ( komplementaritas ). PT AA yang kuat di
bidang pemasaran tetapi lemah dibidang keuangan akan mendapat sinergi M & A
terhadap PT AB yang kuat di bidang keuangan. Hasil penggabungan dua perusahaan
akan menjadi perusahaan yang likuid di bidang keuangan, kuat di bidang
pemasaran maupun mempunyai manajemen yang tangguh. Bentuk sinergi dari
penggabungan perusahaan dapat berupa : (1) perluasan produk, baik produk
sejenis maupun produk yang tidak sejenis, (2) transfer teknologi, (3) mempunyai
SDM yang tangguh dan sebagainya.
b. Pooling Kekuatan
Pooling
perusahaan akan terjadi bila perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam M &
A merupakan perusahaan yang terlampau kecil untuk mempunyai fungsi-fungsi
penting bagi perusahaannya. Misalnya perusahaan belum mampu membangun fungsi
Research dan Development ( R dan D ) akan lebih efektif jika berkabung dengan
perusahaan lain yang mempunyai fungsi tersebut. Pooling kekuatan dapat pula
untuk menjaga kontinuitas produksi, terutama bagi perusahaan yang mempunyai
relative factor fixatie. Relative factor fixatie yaitu susunan produksi dari
tahap satu ke tahap selanjutnya sehingga output dari proses produksi tertentu
menjadi input bagi proses produksi berikutnya dan tidak ada kelebihan atau
kekurangan kapasitas.
c.
Mengurangi Persaingan
Penggabungan
diantara perusahaan sejenis yang sama-sama mempunyai relative factor fixatie
yang tidak optimal maka akan menjadi lebih optimal. Penggabungan usaha ini
dapat menimbulkan skala ekonomis bagi perusahaan-perusahaan yang terlampau
kecil sehingga hasilnya optimal. Disamping efisiensi perusahaan terjaga, dengan
adanya penggabungan perusahaan mengakibatkan terjadinya pemusatan pengendalian,
sehingga dapat mengurangi pesaing.
d. Merger dan Akuisisi dapat menyelamatkan perusahaan
dari kebangkrutan.
Bagi
perusahaan yang kekuatan likuiditasnya terdesak oleh kreditor karena tidak
mampu lagi membayar cicilan uang dan bunganya. Maka keputusan M & A dengan
perusahaan yang kuat di bidang keuangan akan menyelamatkan perusahaan tersebut
dari kebangkrutan. Dalam era kredit macet, maka banyak kasus merger terjadi
antara bank pemberi pinjaman dengan debiturnya yang hampir bankrut.
2.1.2.3. Mengukur
Keefektifan M & A
Merger dan Akuisisi ( M & A )
merupakan fenomena bisnis paradoksal. Di satu sisi, intensitasnya terus
meningkat tetapi disisi lain, tingkat kegagalannya juga cukup tinggi. Sebagai
gambaran, Schweiger, Csiszar dan Napier ( 1993 ) mengemukakan bahwa sejak tahun
1983, penggabungan usaha yang terjadi di Amerika, setiap tahunnya mencapai
angka 2500 lebih. Angka ini belum termasuk keterlibatan perusahaan Amerika
dalam M & A antar negara yang jumlahnya juga meningkat drastis.
Selain
Amerika, trend yang sama juga terjadi di Eropa, Asia dan wilayah negara
lain. Di Cina, misalnya antara tahun 1985-1996 terjadi M & A dengan total
nilai US $ 5,3 milyar ( Milman, 1999 ). Sedangkan di Indonesia, meskipun tidak
ada angka pasti dan kegiatannya pun tidak setinggi negara-negara maju, tidak
luput dari boom M & A. Pertengahan tahun 1980-an sampai awal tahun
1990-an merupakan masa-masa subur bagi kegiatan Merger dan Akuisisi di
Indonesia.
2.1.1.4 Faktor-Faktor
Yang Mempengaruhi Kegagalan M & A
Disisi
lain, tingkat kegagalan M & A juga relatif tinggi, berkisar antara 50 %
sampai 70 % ( Cartwight dan Cooper, 1993 ). Termasuk dalam kategori kegagalan M
& A misalnya : penggabungan usaha tersebut tidak mencapai tujuan finansial
yang dikehendaki ( Chatterjee. Et al. 1992 ), tidak meningkatkan harga saham di
pasar bursa ( Schweiger, Csizar, Napier, 1993 ), tidak menciptakan sinergi yang
biasa disebut “ 2 + 2 = 5 effect” ( Mirvis dan Marks, 1992 ), dan
ujung-ujungnya terjadi perceraian kembali tidak lama setelah penggabungan usaha
tersebut berlangsung ( Cartwight dan Cooper 1993 ).
Karena
secara historis M & A adalah domain para ekonom dan para strategist
( Cartwright dan Cooper, 1993 ) maka kegagalan M & A biasanya dikaitkan
dengan faktor-faktor berikut: ( 1 ) jeleknya pengambilan keputusan karena
membeli perusahaan lain dengan harga yang terlalu tinggi, ( 2 ) terjadi
kesalahan dalam mengelola keuangan sehingga realisasi bertambahnya skala
ekonomi dan rasio-rasio laba yang diharapkan tidak tercapai, dan ( 3 ) terjadi
perubahan pasar yang mendadak.
Memang
tidak di pungkiri bahwa ketiga faktor diatas bisa menghambat keberhasilan M
& A, namun harus diakui pula bahwa sesungguhnya M & A bukan sekedar plain
buying – sekedar mengambil aset perusahaan lain melainkan menggabungkan dua
kelompok manusia yang berbeda sikap dan perilaku dan menggabungkan dua budaya
yang berbeda sehingga keberhasilan dan kegagalan M & A juga sangat
tergantung pada kedua faktor ini. Davy et al. ( 1988, 1989 ) bahkan menyatakan
bahwa 33 & sampai 50 % kegagalan M& A karena faktor manusia dan budaya.
Sayangnya, kedua faktor ini masih sering diabaikan dalam pengambilan keputusan
M & A ( Schweiger dan Ivancevich, 1985 ). Akibatnya tidak hanya tujuannya
tidak tercapai, M & A sering menjadi bumerang yaitu menjadi bencana bagi
perusahaan tersebut ( Feldman, 1995 ).
2.1.2.2. M
& A di Indonesia
Penelitian
mengenai M & A di Indonesia pertama kali dilakukan oleh Alimin yang
meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi merger di Indonesia ( 1993 : 28 ),
yaitu peningkatan skala ekonomis, pengamanan bahan baku, perluasan pasar,
penghematan pajak, pemanfaatan kapasitas hutang, peningkatan laba, dan
mengurangi persaingan. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa semua faktor
tersebut signifikan kecuali faktor pengamanan bahan baku dan pemanfaatan
kapasitas hutang.
Ravenscraft
dan Scherer ( 1998 ) melakukan penelitian terhadap profitabilitas sebelum
merger perusahaan target dan hasil operasinya setelah merger. Penelitian yang
dilakukan keduanya dilakukan terhadap perusahaan manufaktur di Amerika Serikat
yang melakukan akivitas M & A selama periode 1975-1977. Hipotesis yang
dikemukakan dalam penelitian mereka ada dua yaitu bahwa perusahan target tidak
mendapat laba dan bahwa merger memperbaiki profitabilitas secara rata-rata.
Profitabilitas sebelum merger diukur dengan rasio laba operasi ( sebelum bunga
dan pajak serta biaya luar usaha ) terhadap aset pada akhir periode. Sedangkan
profitabilitas setelah merger diukur dengan tiga rasio, yaitu : 1. rasio laba
operasi / aset pada akhir tahun, 2. Rasio laba operasi / penjualan dan 3. rasio
arus kas / penjualan. Hasil penelitian mereka menunjukkan hipotesis pertama
tidak dapat dibuktikan karena ketiadaan dukungan statistik, sedangkan pada
hipotesis kedua disimpulkan tidak terdapat kenaikan yang signifikan terhadap
profitabilitas setelah merger. Bahkan tujuh atau delapan tahun setelah merger,
profitabilitas perusahan merger turun tajam bila dibandingkan dengan
profitabilitas sebelum merger.
Sedangkan
analisa yang dilakukan Kanto Santoso ( 1992 ) terhadap aktivitas M & A PT.
Indocement Tunggal Perkasa, jika dilihat dari kriteria hasil investasi yang
diharapkan oleh pemodal yang bijaksana, kinerja, emiten, dan pemilik perusahaan
maka hasilnya tidak menguntungkan. Hal ini dilihat dari laba bersih, laba per
saham, harga saham, kapitalisasi pasar pasca akuisisi lebih kecil atau menurun
jika dibandingkan dengan tanpa akuisisi.
Penelitian
yang dilakukan oleh Sutrisno ( 1998 ) bertujuan untuk melihat reaksi pasar
terhadap aktivitas merger dan akuisisi bila diukur dengan harga pasar saham.
Penelitian ini menganalisis 57 kasus M & A selama periode Januari 1990
sampai Juni 1997. Hasil analisis menunjukkan penurunan rata-rata harga saham
dengan perbedaan yang signifikan antara periode sebelum dan setelah laporan
keuangan gabungan. Hal ini memberikan bukti empiris bahwa aktivitas M& A
pada perusahaan publik di BEJ secara signifikan berpengaruh terhadap keputusan
investasi investor seperti yang tercermin pada harga saham.
Penelitian
serupa dilakukan oleh Andrea Resti ( 1998 ) yang melakukan analisis terhadap
merger bank-bank di Italia. Penelitian efisiensi 67 kasus M & A ini
menggunakan metodologi DEA dimana efisiensi bank pembeli, target dan bank yang
dimerger diukur kemudian dibandingkan dengan yang sejenis. Bank pembeli sedikit
lebih sehat dibanding bank target. Bank yang dimerger mengalami kenaikan
efisiensi pada tahun-tahun setelah merger. Hal ini khususnya terjadi pada
merger dua bank yang beroperasi di dua lokasi pasar yang sama dan ukuran bentuk
tidak terlalu besar.
2.1.2.3. Akuisisi
di Berbagai Perusahaan
Akuisisi
di Indonesia mulai semarak di akhir tahun 1989. Perusahaan yang berakuisisi di
tahun 1992 sudah sekitar 29 perusahaan publik yang melakukan akuisisi terhadap
70 perusahaan yang melibatkan dana sekitar Rp. 4, 16 trilyun ( Kompas No. 44,
Agustus 1992 ). Tindakan akuisisi ini bukan saja berupa akuisisi eksternal,
satu perusahaan pencaplok perusahaan dari kelompok lain, tetapi juga akuisisi
internal yaitu pencaplokan perusahaan yang dilakukan terhadap perusahaan
dikelompoknya sendiri. Misalnya, akuisisi yang dilakukan oleh Jakarta International
Hotel & Development, Panin Bank, Pan Union Insurance dan Asuransi Jiwa
Panin Putra terhadap beberapa perusahaan lain. Hal ini sangat berkaitan erat
dengan meningkatnya persaingan diantara perusahaan-perusahaan yang memasuki
tahap hiperkompetisi. Faktor inilah merupakan faktor pendorong
berlomba-lombanya perusahaan untuk melakukan akuisisi. Tujuan akuisisi antara
lain adalah untuk meningkatkan efisiensi, produktivitas, menekan biaya
overhead, meningkatkan return, mengurangi resiko, memperkuat modal atau untuk
memperkokoh pasar.
2.1.2.4. Tipologi
Akuisisi
Tingkat
kesuksesan akuisisi dalam menciptakan sinergi tergantung pada banyak faktor,
tetapi salah satu faktor diantaranya yang sangat penting adalah tipe akuisisi
yang dipilih.
1.
Akuisisi Horizontal
Perusahaan-perusahaan
yang dibeli merupakan perusahaan yang sejenis dengan perusahaan pembeli. Jadi
perusaahaan yang dibeli adalah perusahaan pesaingnya. Sehingga jelas, maksud
akuisisi adalah untuk memperoleh skala ekonomi atau untuk memperoleh kedudukan
monopolistik.
2.
Akuisisi Vertikal
Pada
umumnya sebuah perusahaan selalu memiliki pemasok segala kebutuhannya juga
memiliki pembeli produk yang menjadi pelanggan tetapnya. Jika perusahaan
membeli pemasok dan pelanggannya maka akuisisi ini disebut akuisisi vertikal.
Tujuan akuisisi ini jelas untuk memperoleh integrasi dari hulu sampaai hilir
yang dipegang oleh satu tangan dirinya sendiri.
3.
Akuisisi Konsetrik
Pemasaran
Perusahaan
pembeli ingin memanfaatkan saluran distribusi yang sama dari berbagai produk yang
menggunakan teknologi yang berlainan
4.
Akuisisi Konsentrik
Teknologi
Membeli
perusahaan yang teknologinya sama tetapi saluran distribusinya berlainan.
Misalnya, perusahaan elektronika membeli perusahaan TV dan radio, komputer,
peralatan canggih kedokteran. Dengan demikian, dua atau tiga perusahaan dapat
melakukan pemusatan atau pooling bagian penelitian dan pengembangan karena
karakteristiknya sama tetapi bisa mencakup pasaran yang luas, karena
menghasilkan berbagai macam produk yang memenuhi berbagai macam kebutuhan.
5. Akuisisi Tipe Konglomerat
Yang
dibeli adalah perusahaan-perusahan yang dalam segala hal justru sangat
berlainan dengan perusahaan pembeli, karena maksudnya adalah melakukan
diversifikasi usaha dan resiko.
2.1.2.5. Karakteristik
Transaksi Akuisisi
Fenomena
akuisisi merupakaan suatu fenomena yang sangat kompleks karena tidak hanya
melibatkan para pelaku akusisi tetapi juga melibatkan pihak lain misalnya bank
dan pemegang saham publik. Salah satu bentuk kompleksitas masalah akuisisi
adalah kompleksnya transaksi akuisisi. Karakteristik transaksi akusisi yang
satu tidak sama dengan transaksi akuisisi yang lain, hal ini tergantung pada
bentuk transaksi akuisisinya. Bentuk transaksi akuisisi antara lain adalah
transaksi akuisisi atas dasar kas, transaksi akuisisi atas dasar saham,
transaksi akuisisi atas dasar aktiva, dan kombinasi ketiganya.
Transaksi
yang terjadi dalam suatu akuisisi tidak hanya atas dasar kas atau tunai, tetapi
juga dapat terjadi tanpa harus melibatkan adanya arus uang kas dari para pelaku
akuisisi. Akuisisi yang terjadi tanpa melibatkan adanya arus kas adalah dapat
berupa akuisisi dengan cara penyerahan sebagian saham perusahaan pembeli dan
akuisisi dengan cara kombinasi transaksi atas dasar kas dan transaksi atas
dasar saham. Pertama, transaksi akuisisi atas dasar kas. Yaitu Perusahaan
pembeli menyerahkan sebagian saham miliknya sebesar saham perusahaan yang
dibelinya. Saham milik pembeli tersebut, bentuknya dapat juga saham perusahaan
anak yang dimilikinya ataupun saham dari perusahaan lain yang dibeli dari bursa
saham. Kedua, transaksi akusisi atas dasar aktiva. Yaitu penyerahan aktiva atas
harta milik perusahaan pembeli kepada perusahaan yang dibeli untuk melunasi
saham yang dibelinya.
2.1.2.6. Merger dan Akuisis Pada Bank-Bank di
Indonesia
Semakin
tingginya kompetisi di bisnis perbankan pasca Pakto 1988, menyebabkan banyaknya
bank-bank yang mengalami krisis, terutama bank yang relatif kecil yang
notabene-nya bekerja kurang efisien dengan wilayah kerja yang terbatas.
Akibatnya banyak bank yang sakit dan dalam perawatan BI. Oleh BI, bank sakit
ini ditawarkan pada bank besar untuk merawatnya yang biasanya pada akhirnya
diakuisisi oleh bank yang merawatnya tersebut. Bahkan pada tahun 1994/ 1995
semakin banyak bank yang diakuisisi oleh kelompok bank lain. Kondisi tersebut
mengakibatkan terjadi pengambilalihan kepemilikan bank pada beberapa orang
saja.
Untuk
menciptakan perbankan nasional yang kuat dilihat dari modal, skala operasi,
keuntungan dan kualitas aset maka pakto 1988 harus dipandang sebagai ladang
pembenihan dan setelah itu harus siap bertarung di lahan perjuangan ( battle
field ) untuk bisa bertahan hidup. Proses seleksi alam ( natural selection ) dan hanya mereka yang
unggul dan dapat menyesuaikan dengan perkembangan lingkungan baru saja yang
seharusnya bertahan. Disinilah perlunya peraturan dilaksanakan secara lugas
agar tujuan penciptaan perbankan nasional yang sehat dan kuat segera
terrealisasi.
Jika
jumlah bank umum berdasarkan data Desember 1995 sebanyak 239 dan jumlah cabang
sebanyak 5191 maka merger akan memperbaiki struktur industri keuangan nasional.
Bila bank besar membeli bank kecil atau
bank kecil bergabung dengan bank kecil maka akan mengurangi jumlah bank. Ini
berarti mengurangi beban Bank Indonesia dalam pembinaan, pengawasan dan
pemeriksaan bank.
Selain
permasalahan modal, sebenarnya banyak masalah yang menyelimuti perbankan
Indonesia saat ini dan merger bukan menjadi jawaban untuk segala penyakit
perbankan Indonesia. Permasalahan yang menyelimuti perbankan Indonesia saat ini
antara lain :
1. Kualitas SDM perbankan yang masih rendah.
2. Persaingan yang ketat karena jumlah bank yang banyak sehingga margin
keuntungannya rendah.
3. Penyebaran tidak merata secara geografis.
4. Kuantitas dan kualitas aset yang rendah
5. Cenderung kurang berhat-hati ( less prudential )
6. Struktur modal yang lemah ( capital adequate ratio )
7. Sistem pengambilan keputusan kredit yang tidak mandiri
Dengan
merger, sedikitnya masalah modal dan persaingan dapat dikurangi. Tampaknya
seruan merger terhadap perbankan swasta harus terus digalakkan dengan memberi
insentif perpajakan yang menarik diikuti dengan memberi sanksi kepada bank yang
menolak merger tapi keadaanya tidak sehat. Idealnya jumlah bank di Indonesia
hanya 15 % dari yang ada saat ini atau 40 buah saja.
2.1.2.7. Antisipasi
ke Depan
Selama
ini peran bank negara sangat dominan. Merger bank negara berarti struktur pasar
perbankan dan jasa keuangan akan berubah dengan ditandai semakin dominannya
bank negara dilihat dari struktur modal, dana yang dihimpun, dan penyaluran
kredit walaupun ini tidak selalu berarti kenaikan laba ( profit ).
Dengan
melihat struktur pasar keuangan yang dikuasai oleh bank yang dominan ( dominant firm ) dengan menggunakan
pendekatan struktural dapat dipastikan intensitas persaingan menjadi tidak
seimbang. Memang secara logika dan hukum perusahaan boleh saja menjadi
dominannya. Jika merger bank menyebabkan timbulnya monopoli maka pemerintah
perlu menyiapkan rambu berupa perangkat hukum agar kepentingan masyarakat dilindungi.
Selain
dampak monopoli maka perilaku bank yang jumlahnya semakin sedikit dan perlu
diperhitungkan adalah kolusi. Kolusi dapat bersifat terang-terangan ( transparent collusive ) maupun yang
tersembunyi ( silent collusive ) , semuanya bertujuan mengatur persaingan atau
merusak mekanisme pasar ( disturbed market mechanism ). Situasi demikian
tampaknya harus dikoreksi dan diantisipasi sebagai tanggung jawab pemerintah (
government responsibilities ) dalam melindungi kepentingan masyarakat secara umum.
Antisipasi
ke depan yang juga harus dipikirkan adalah bagaimana merger dapat dilaksanakan
dan perubahan struktur perbankan nasional dapat dilakukan. Struktur organisasi
yang tetap hanya akan memperbesar organisasi bank tetapi melanggar esensi dan
tujuan merger untuk meningkatkan efisiensi.
Merger
bagi perbankan saat ini nampaknya merupakan pilihan yang sulit untuk
dihindarkan. Hal ini terutama untuk mengatasi persaingan berbankan yang semakin
tajam. Apalagi dalam UU pokok perbankan
No. 7 tahun 1992 yang tidak membeda-bedakan antara bank swasta, bank
pemerintah, bank asing, maupun bank campuran. Dengan demikian, masyarakat atau
nasabah yang sudah mulai kritis dalam memilih bank akan semakin hati-hati.
Nasabah tidak hanya menginginkan dana yang disimpannya aman akan tetapi selain
aman juga memberikan bunga tinggi dan pelayanan yang lebih baik. Untuk
menunjang semua ini diperlukan adanya daya saing yang tinggi agar banknya tetap
bisa survive. Agar dapat meningkatkan daya saing tersebut, setiap bank
harus bisa meningkatkan efisiensi yang maksimal.
Untuk
meningkatkan efisiensi tersebut, merger dan akuisisi merupakan upaya-upaya
dalam meningkatkan daya saing suatu bank. Tentunya kalangan perbankan harus
menyadari bahwa pada era globalisasi ini perdagangan tidak hanya dipengaruhi
oleh otoritas moneter negara lain. Dalam konteks ini, bila sebuah bank hanya
mempunyai modal yang kecil, hanya mempunyai jaringan usaha yang terbatas, maka
bila bank tersebut bank devisa, amat sulit bagi bank tersebut untuk bergerak
menghadapi spekulasi yang mungkin muncul dalam pasar uang dunia.
2.1.2.8. Manfaat
Merger dan Akuisisi Pada Bank
Himbauan
Gubernur BI dan Menteri Keuangan agar perbankan melakukan merger, tentu
mempunyai latar belakang alasan yang cukup kuat, antara lain :
a. Beroperasi lebih ekonomis
Banyak bank yang collaps beberapa tahun terakhir
ini, karena sulitnya mereka menekan biaya overhead yang cukup tinggi. Dalam
menghadapi persaingan yang ketat, maka banyak manajemen bank yang berusaha
menarik nasabah dengan berbagai cara misalnya dengan pengiklanan di TV,
menaikkan suku bunga simpanan, dan memberikan berbagai hadiah berupa uang
maupun barang. Biaya-biaya ini yang menyebabkan overhead cost-nya meningkat
sementara omzetnya belum tentu tercapai karena jaringannya kurang luas. Dengan
melakukan merger maka akan didapat beberapa keuntungan antara lain penghematan
biaya seperti biaya ( gaji ) pimpinan yang relatif sangat tinggi ( bila dua bank berdiri sendiri berarti mempunyai
dewan direksi dan dewan komisaris sendiri-sendiri ). Bila digabung maka hanya
akan ada satu dewan direksi dan komisaris. Untuk penghematan biaya karyawan
bisa dilakukan perampingan demi efisiensi terutama di kantor pusat, dan
jaringan usaha semakin luas. Semakin luasnya jaringan usaha ini bisa menurunkan
overhead cost karena dengan biaya iklan dan hadiah yang sama akan mendapatkan
omzet yang lebih tinggi. Sehingga dengan demikian ada aspek ekonomis yang
didapat dari merger ini.
b. Pertumbuhan
Pertumbuhan bank akan semakin cepat bila mempunyai
daya saing yang handal. Bila hanya berdiri sendiri sementara modal sangat kecil
dengan jaringan terbatas maka sulit untuk bisa tumbuh dengan pesat. Dengan
bergabung bersama bank lain kemampuan permodalan semakin kuat, jaringan semakin
luas, efisiensi bisa ditingkatkan, manajemen diperbaiki maka sangat
dimungkinkan untuk bisa tumbuh dan berkembang dengan pesat.
c. Penghematan Pajak Yang Belum Dimanfaatkan
Bank yang melakukan akuisisi dan merger biasanya
salah satunya mengalami permasalahan antara lain turunnya prestasi bank atau
sering menderita kerugian sehingga mempunyai potensi penghematan pajak. Dengan
bergabungnya bank tersebut dengan bank yang profitable maka potensi penghematan
pajak tersebut bisa dimanfaatkan dengan dikompensasikan terhadap laba bank yang
profitable.
2.1.2.9. Kerugian
Merger pada Bank
Disamping
ada beberapa keuntungan dari merger, juga ada beberapa kerugian yang
kemungkinan ditanggung oleh pemilik bank yang melakukan merger :
a. Kehilangan kontrol manajemen
Dengan mergernya dua bank atau lebih akan
mengakibatkan salah satu dari pemilik akan kehilanagn kontrol terhadap banknya
karena bagaimana pun juga pemilik yang mempunyai saham mayoritas lebih leluasa
mengendalikan bank. Pada umumnya pemilik bank yang lebih besar akan mengendalikan
bank tersebut.
b. Pengurangan Tenaga Pimpinan
Dengan mergernya bank maka jelas akan mengurangi
tenaga kerja, minimal tenaga pimpinan. Direksi tidak mungkin diduduki oleh
semua mantan direksi dua bank yang melakukan
merger, demikian pula dengan dewan komisaris. Dengan demikian paling
tidak, akan ada pengurangan tenaga direksi dan komisaris yang tentunya harus
juga menyediakan uang pengganti jabatan yang tidak sedikit jumlahnya. Namun
biasanya karena bank dimiliki oleh suatu grup perusahaan maka tenaga eksekutif
ini akan dipindahkan untuk memimpin perusahaan lain dalam groupnya. Yang
mungkin juga tidak bisa dihindarkan adalah pemberhentian tenaga kerja dalam
rangka efisiensi terutama di kantor pusat karena tidak mungkin akan ada rangkap
jabatan atau rangkap pekerjaan maka harus ada yang keluar, dan ini juga
memerlukan biaya yang cukup tinggi untuk memberi pesangon.
c. Kesan Masyarakat
Walaupun merger dimaksudkan untuk meningkatkan
kinerja bank, tapi masih banyak masyarakat yang menilai bahwa bank yang merger
merupakan bank yang mempunyai prestasi kurang baik sehingga kemungkinan banyak
masyarakat yang masih enggan berhubungan dengan bank tersebut.
2.1.3. Merger
dan Akusisi untuk Memperoleh Economic Value
Dorongan
utama sebuah perusahan melakukan internal development melalui merger atau
akuisisi adalah untuk meraih economic value. Economic value added telah menjadi
metode yang populer untuk mengukur kinerja korporasi dan divisi atau bahkan
untuk menggantikan ROI ( return on investment ) sebagai ukuran standard
performance ( Wheelen dan Hunger, 1993 : 289 ).
Berdasarkan
return on invesment, economic value merupakan kelebihan rate of value yang
diperoleh dari investasi yang dilakukan atas biaya-biaya dalam investasi itu.
Investasi yang memberikan return 20 persen dan cost of capital 10 persen akan
memberikan economic value kepada investornya. Suatu perusahaan akan memberikan
ekonomic value kepada pemiliknya jika perusahaan itu mengalokasikan sumber daya
untuk investasi yang memberikan return lebih besar daripada cost of capital (
Hayden, 1986 ).
Perusahaan dapat meningkatkan economic value
melalui earning return yang melebihi cost of capital-nya dengan cara menurunkan
atau menekan biaya modal dan meningkatkan return inilah merger dan akusisi akan
berperan.
Concept of Fit
Economic
value yang ingin diraih melalui merger dan akuisisi akan dicapai melalui
concept of fit. Concept of fit merupakan statement tentang bagaimana perusahaan
atau unit bisnis dalam portofolio dihubungkan antara satu dengan yang lainnya.
Concept of fit adalah salah satu komponen dari corporate strategy perusahaan.
Fit merupakan cara dimana organisasi perusahaan bernilai lebih sebagai bagian
dari portofolio perusahaan ( company’s portofolio ) lain, daripada jika
portofolio perusahaan tersebut berdiri sendiri-sendiri atau secara individual.
Terdapat
tiga kategori yang sering digunakan untuk menggambarkan sebuah fit serta
sinergi yang dapat menghasilkan jika perusahaan tersebut digabungkan ke dalam
corporate portofolio. Ketiga tipe tersebut adalah :
1. Financial fit, yaitu penggunaan sumber daya financial yang lebih baik.
Heyden ( 1986 ) menyebutkan bahwa financial fit sebagai karakteristik finansial
yang terjadi dalam portofolio bisnis yang dapat memberikan cost of capital
lebih rendah secara keseluruhan. Financial fit dalam suatu bidang bisnis diukur
atas dasar kontribusi dari setiap portofolio bisnis dalam menciptakan
keseimbangan financial risk, cyclicaliry, cash flow, seasonality, penggunaan
working capital, serta growth opportunity. Pemilihan karakteristik finansial
dalam financial fit merupakan tanggung jawab dari penyusun corporate strategy.
Financial fit akan menciptakan strategic laverage sedemikian rupa sehingga
bisnis dalam suatu portofolio akan memperoleh funding yang lebih murah serta
lebih efektif.
2. Functional fit, yaitu kemampuan untuk melakukan kapitalisasi pada
technical share ( sharing dalam hal-hal teknis ) dan operating competence (
kompetensi operasi ). Menurut Hayden ( 1989 : 148 ), hubungan aktifitas dari
bisnis-bisnis yang ada dalam sebuah portofolio memungkinkan adanya kerja sama
yaitu dengan cara menggabungkan beberaapa aktifitas yang mungkin dilakukan
bersama. Sharing facilities dan aktivities akan menekan biaya serta
meningkatkan performance. Functional fit sebuah bisnis diukur melalui
kontribusi bisnis tersebut terhadap kemampuan perusahaan untuk melakukan
sharing cost guna meningkatkan efektifitas dari fungsi-fungsi tertentu seperti
penjualan, pembelian, distribusi, dan periklanan. Membangun functional fit
dapat dilakukan dengan mengikutkan bisnis-bisnis yang ada dalam portofolio yang
dapat melakukan sharing fungsi dan me-manage bisnis sedemikian rupa sehingga
dapat meraih skala ekonomi dan pengalaman komulatif. Functional fit mampu
berfungsi sebagai blocking positition atau multipoint competitor. Functional
fit tipe ini biasanya terjadi akibat adanya aktifitas penjualan yang efektif.
Memilih basis untuk membangun functional fit adalah tanggung jawab dari
corporate strategist. Kemampuan untuk membekali functinal fit pada
masing-masing bisnis tergantung pada konsep manajemen perusahaan, khususnya
yang berkaitan dengan issue transfer pricing. Functional fit memungkinkan bagi
bisnis menekan biaya dan menjadi lebih efektif terhadap satu atau lebih
functional areas ( bidang-bidang fungsional ) sebagai bagian dari portofolio
perusahaan.
3. Formula fit, yaitu konsistensi dalam strategi yang dapat melakukan
klarifikasi dan menguatkan strategi yang difokuskan pada perusahaan secara
keseluruhan. Formula fit pada umumnya akan memperkuat penciptaan fokus strategi
perusahan secara keseluruhan. Formula fit diukur sebagai kontribusi bisnis yang
berada dalam portofolio terhadap penyusunan dan implementasi stategi generik (
Hayden, 1989 ). Sebagai contoh, perusahaan dengan empat bisnis dalam
portofolio. Keempat bisnis tersebut difokuskan pada penciptaan cost leadership
strategy. Jika perusahaan menambah satu jenis bisnis dalam portofolionya, maka
bisnis yang baru itu juga akan berkompetisi melalui cost leadership strategy.
Bisnis yang kelima ini akan memperoleh benefit dari kemampuan perusahan secara
keseluruhan untuk mengatur strategi serta memperkaya pengalaman dalam mengelola
sejumlah bisnis dalam sebuah portofolio. Formula fit dapat membangun strategic
laverage karena perusahaan akan memperoleh manfaat dalam bentuk pengalaman
dalam mengelola bisnis-bisnisnya. Pengalaman-pengalaman semacam itu merupakan
modal pokok dalam menciptakan competitive strategy bagi perusahaan.
Penyusunan
bauran strategi generik serta dasar penyusunan formula fit tersebut adalah
tanggung jawab dari corporate strategist ( penyusun strategi korporasi dalam
sebuah perusahaan ). Dalam praktek, terdapat beberapa perusahaan yangmenerapkan
stategi generik pada setiap bisnisnya. Namun pada beberapa perusahaan yang lain,
tiap-tiap bisnis dalam portofolio mengikuti strategi yang berbeda. Bisnis
dengan strategi yang sama dikelompokkan menjadi satu. Misalnya perusahaan yang
me-manage beberapa bisnisnya dengan cost leadership strategy. Bisnis-bisnis
dengan cost leadership strategy dikelompokkan dalam satu group. Demikian pula
untuk bisnis-bisnis yang dijalankan dengan differentiation strategy juga
dikelompokkan dalam satu kelompok strategi. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa membangun formula fit itu pada dasarnya merupakan upaya untuk membangun
fit berdasarkan keahlian atau know-how.