Jumat, 23 Desember 2011

MODUS BARU SERANGAN PARA TERORIS
Oleh: Nasiruddin, MM
Tersangka kasus teroris yang menghuni rumah kontrakan di Jalan Gading Sengon 7 RT 05/ RW 14, Kecamatan Kelapa Gading, Jakarta Utara, Rusli Mardani alias Wahyu Ramadhan alias Uci alias Farid alias Zulfikar, ternyata tengah membangun jaringan baru teroris dengan nama Tauhid wal Jihad. Wahyu sebelum tertangkap sudah memiliki track record yang cukup meyakinkan sebagai peracik bom dan anggota teroris.

Kelompok Wahyu yang telah merancang aksi teror bom untuk meledakan Depo Pertamina Plumpang, Jakarta Utara, ini merupakan kelompok gabungan dari beberapa kelompok Islam garis keras, seperti kelompok Jundullah di Sulawesi, kelompok Jamaah Islamiyah di Ambon, Poso dan Jawa, kelompok Kompak di Kayamaya Poso, Ambon, dan Jakarta, kelompok Fakta di Palembang, kelompok NII di Jakarta, dan kelompok Jamaah Islamiyah di Singapura dengan tokohnya Hasan alias Taslim yang merupakan lulusan kamp Al Qaida di Afghanistan.
Wahyu dan empat orang lain yang ditangkap di Jakarta dan Bogor merupakan bagian dari jaringan Abdullah Sonata, sebuah kelompok dari Kompak (Komite Penanggulangan Krisis). Abdullan Sonata adalah orang yang pernah ditangkap dan diadili karena diduga menyembunyikan gembong teroris Noordin M Top. Selain itu, pria yang diduga polisi menggantikan peran Dulmatin itu mengajak seluruh alumni Afghanistan, Moro-Mindanao (Filipina), dan konflik Poso untuk bergabung. Sonata adalah figur yang berbahaya karena militan dan pintar merekrut anggota baru. Polisi juga menduga, setelah Dulmatin tewas, Sonata menggantikan dia sebagai amir, pemimpin. Sonata adalah teroris residivis. Dia disegani setelah menjadi komandan Laskar Mujahidin Kompak (Komite Penanggulangan Krisis) di Ambon pada konflik bernuansa SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) pada 1999. Saat itu laskarnya beranggota sekitar 500 orang.
Pola penyerangan teror yang dilakukan oleh kelompok teroris itu sepeninggalan para petinggi mereka, seperti Dr Azhari, Noordin M Top, dan Dulmatin kini berubah dari bentuk aksi pengeboman menjadi penyerangan secara terbuka seperti perang. Pola yang dulu pernah dilakukan oleh Dr Azhari, Noodin M Top, dan Dulmatin, dengan cara mengebom tempat-tempat yang menjadi pusat kegiatan warga negara asing, sudah mulai ditinggalkan oleh kelompok teroris yang sekarang ini beroperasi. Modus baru itu diipilih oleh para pelaku teroris karena mereka kehilangan simpati dari masyarakat bila dengan melakukan cara peledakkan bom. Melihat bom menewaskan banyak orang tidak berdosa, masyarakat Indonesia menjadi antipati dengan perjuangan mereka. Misalnya saja ada warga yang menolak dimakamkannya jenazah pelaku teroris di suatu wilayah.
Jika sebelumnya yang menjadi target adalah far enemy atau fasilitas Barat, saat ini tujuan penyerangan mengarah ke pemerintah Indonesia atau near enemy. Hal itu terlihat dari rencana bom mobil yang berhasil digagalkan di Jatiasih, Bekasi. Serangan yang mereka lakukan tidak lagi menggunakan bom, namun menyerang langsung dengan senjata api layaknya perang terbuka. Tak tanggung-tanggung, targetnya adalah membuat kolaps pemerintahan Indonesia dan menggantinya dengan negara baru bernama Emirat Islam Indonesia. Sasaran mereka adalah RI-1, pejabat negara, dan duta besar negara sahabat yang sedang berkumpul di istana. Berdasarkan hasil interogasi tersangka dan dokumen milik teroris yang berhasil diungkap Polri, mereka merencanakan serangan mematikan kepada RI 1, pejabat negara, dan tamu negara pada saat upacara 17 Agustus di Istana Merdeka. Pola penyerangan mereka sekarang ingin meniru gaya teroris Mumbai (Desember 2008) yang telah mempersiapkan dengan matang logistik yang akan dipergunakan mulai dari kartu kredit palsu, paspor palsu hingga dana dalam jumlah besar.
Kelompok teroris tersebut secara ideologis memang terhubung dengan beberapa gerakan radikal lainnya seperti Emirat Islam Afghanistan, Emirat Islam Iraq, Emirat Islam Kaukasus Utara, dan As Sahab Somalia. Kelompok itu juga mempunyai rekaman teknik gerilya dan metode serangan dari elemen asing. Dari pengakuan mereka yang direkam Densus 88, serangan yang akan dilakukan adalah dengan model berkelompok dan menyerang secara bergelombang. Target mereka mati syahid.
Masih berkembangnya sel-sel jaringan terorisme di Indonesia tak lepas dari unsur pendanaan. Menurut Kapolri Jenderal Polisi Bambang Hendarso Danuri di Jakarta, Jumat (14/5), jaringan teroris yang dibongkar terkait dengan pelatihan di Nanggroe Aceh Darussalam memiliki dana operasional sedikitnya Rp 1 miliar.
Dalam melakukan aksinya, mereka mengawalinya dengan job training alias magang teroris. seperti  menembak warga asing di Aceh. Dua warga Amerika Serikat yang dirawat di Singapura, ternyata pelakunya terkait jaringan ini. Pelakunya bernama Muchtar bin Ibrahim alias Tengku Tar yang ditangkap 16 Maret 2010 lalu dengan barang bukti senjata api serta ribuan amunisi. Masih dalam rangka magang teroris, kelompok tersebut juga menjadwalkan serangan ke markas polisi dan TNI yang jauh dari keramaian.
Aceh dipilih sebagai basis atau dalam istilah mereka Qaidah Aminah. Aceh yang merupakan pintu masuk pertama Islam di Nusantara itu juga menjadi pertimbangan ideologis mereka. Rakyat Aceh yang familier dengan syariat Islam juga diharapkan bisa mendukung gerakan tersebut. Wilayah Aceh yang banyak terdapat pegunungan menjadi tempat yang cocok dan tepat untuk melakukan pelatihan, mempersiapkan pengantin (sebutan calon pelaku bom bunuh diri di kalangan teroris,), dan mempersiapkan bom yang akan diledakkan. Setelah tewasnya Noordin M Top yang menguasai Pulau Jawa, wilayah Aceh menjadi tempat paling strategis untuk melanjutkan aksi teror di Indonesia.
Aceh memiliki kelebihan untuk dijadikan sarng baru teroris, yakni letaknya yang memudahkan penyelundupan senjata dan bahan peledak serta tak ada lagi pengawasan khusus aparat keamanan di sana.
Sasaran rekrutmen yang dilakukan oleh para teroris masih akan berpusat pada anak usia remaja karena anak muda memiliki kondisi psikologis yang labil sehingga lebih mudah dipengaruhi secara cepat. Terlebih jika remaja tersebut secara kondisi sosialnya sudah memiliki pandangan yang cenderung negatif terhadap dunia barat. Caranya adalah dengan memberikan pemahaman-pemahaman agama yang ilusif. Para teroris memberikan jaminan akan masuk surga maka akan langsung diikuti. Tidak selamanya penyebab terorisme terkait dengan masalah ekonomi. Pemahaman agama yang salah memiliki pengaruh yang lebih kuat terhadap aksi-aksi radikal. Masalah ekonomi menjadi salah satu fondasi untuk membentuk pemahaman tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar