Senin, 30 April 2012


 SISTEM PENDIDIKAN DAN KURIKULUM PESANTREN SALAF HARUS DIREVISI

Oleh: Nasir Khan

            Pada awal berdirinya, pesantren merupakan lembaga tafaquh fi din (memperdalam agama Islam) sekaligus sebagai benteng moral dengan sistem tradisional baik dalam pengajaran,manajemen,kurikulum maupun kepemimpinan. Bahkan pesantren lah yang paling menentukan watak keislaman dari kerajaan-kerajaan Islam dan memegang peran penting bagi penyebaran Islam sampai ke pelosok-pelosok desa. Semula hanya rural based institution tetapi pada perkembangan selanjutnya, banyak pesantren-pesantren yang menjelma dan berkembang menjadi lembaga urban dengan mengadopsi sistem pendidikan modern seperti memasukkan pelajaran dan kurikulum umum dalam madrasah atau membuka sekolah umum dalam lingkungan pesantren. Sebagai contoh Pondok Pesantren Modern Gontor di Probolinggo, Pesantren Darun Najah dan As-Shiddiqiyah di Jakarta dan masih banyak lagi. Pesantren-pesantren tersebut telah membuka SMP, SMA, MTs, Aliyah maupun universitas yang mempunyai ijazah dan kurikulum sama dengan lembaga formal lainnya disamping mempertahan kan pengajaran kitab-kitab klasik yang telah berlaku turun temurun. Pasantren-pesantren model tersebut disebut dengan pesantren khalafi (modern) lawan dari pesantren salaf (kuno). Tetapi penggunaan istilah khalaf tidaklah masyhur karena seringkali pesantren-pesantren tersebut masih mengklaim sebagai pesantren salaf walaupun jelas-jelas telah menerapkan model pendidikan modern.
            Pada umumnya, orang membedakan pesantren salaf dan modern dilihat dari muatan kurikulum pendidikannya. Bila dalam pesantren tidak ada lembaga formal, orang akan menganggap itu pesantren salaf tetapi bila membuka lembaga pendidikan formal, orang menganggapnya pesantren modern. Adapun pesantren salaf tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab klasik (kitab kuning) sebagai inti pendidikannya tanpa mengadopsi sistem pendidikan modern. Mereka dengan bangga menonjolkan kesalafannya bahkan banyak pesantren tersebut yang memberi nama dengan tambahan salaf atau salafiyah. Pesantren salaf disamping identik dengan makna keislaman juga mengandung makna keaslian Indonesia (indigenous) sebab pesantren sebenarnya sudah ada sejak zaman Hindu-Budha.
            Cak Nur (Alm) pernah menggambarkan seandainya negara kita tidak mengalami penjajahan mungkin pertumbuhan sistem pendidikannya akan mengikuti jalur-jalur yang pernah ditempuh pesantren-pesantren sehingga perguruan-perguruan tinggi yang ada sekarang tidak akan berupa UI, UGM, ITB, IPB, Undip atau yang lainnya tetapi mungkin namanya Universitas Tremas, Krapyak, Tebu Ireng, Lirboyo, bangkalan dan sebagainya. Kemungkinan ini dapat dilihat dengan membandingkan secara kasar dengan pertumbuhan sistem pendidikan di negeri brat Diana hamper semi universities treenail coal banana dalai perguruan-perguruan tinggi yang semula berorientasi keagamaan seperti Universitas Havard yang didirikan oleh Pendeta Havard di Boston. Dan sekarang menjadi universitas yang paling prestigious di Amerika dan hampir secara pasti memegang kepeloporan dalam pengembangan ilmu pengetahuan modern dan gagasan yang cemerlang.
            Di pesantren salaf, metode pengajaran yang umum berlaku adalah sistem bandungan, sorogan, dan musyawarah. Dalam  sistem bandungan, sekelompok santri mendengarkan kyai atu guru yang membaca, menerjemah, menerangkan dan mengulas isi kitab kuning dimana setiap santri memperhatikan sambil memberi makna dan membuat catatan-catatan dari setiap keterangan yang penting atau sulit dipahami. Sistem sorogan merupakan sistem individual face to face yang menuntut banyak kesabaran dan ketelatenan dari guru terhadap santrinya. Tetapi seiring dengan melonjaknya jumlah santri di pesantren salaf maka sistem sorogan sudah sulit dilaksanakan apalagi kalau santrinya sampai ribuan maka sistem sorogan dengan tatap muka langsung antara kyai dan santri nyaris sudah sulit dilaksanakan. Yang ada paling-paling antara santri dengan santri senior atau ustadznya, itu pun terbatas pada kitab-kitab elementer (pemula).
            Adapun sistem musyawarah adalah mendiskusikan pelajaran-pelajaran yang telah diajarkan di kelas madrasah secara bersama-sama. Biasanya berdasarkan jenjang kelasnya masing-masing. Musyawarah di pesantren salaf merupakan forum yang menentukan paham tidaknya santri dalam menangkap pelajaran yang diajarkan sebab biasanya di madrasah para guru biasanya hanya memberi makna pada kitab yang diajarkan tanpa memberi keterangan dan ulasan yang panjang lebar. Apalagi kalau kitanya tebal, umumnya mereka hanya memberikan penjelsasan dan ulsannya pada kitab-kitab yang dianggap penting seperti nahwu dan fiqih. Pada musyawarah tersebut, para santri disuruh kreatif untuk memahami makna dan isi kitab dengan belajar bersama-sama dalam satu kelas. Tetapi dalam prakteknya musyawarah sering menjadi ajang ngobrol para santri karena hanya santri yang aktif dan kreatif yang mau mengulas kitab-kitab yang telah diajarkan. Tidak seluruh santri apalagi pengawasan dari gurunya tidak ketat. Pada waktu-waktu tertentu ada istilah musyawarah kubro yaitu musyawarah gabungan dari beberapa kelas untuk membahas masalah (bahsul masail) dan dihadiri oleh dewan guru senior sebagai pemutus masalah, biasanya disebut hakim.
            Sistem pengajaran yang berlaku umum sekarang di pesantren salaf adalah sistem bandungan, santri mengaji langsung pada kyai atau pada santri senior. Dalam sistem ini, pengajar biasanya hanya mengejar makna(ngapsahi,maknani) perkalimat dengan huruf pego. Seringkali pengajarnya memberi makna dengan “makna warisan” karena makna tersebut berasal dari pengajar terdahulu dengan merubah atau tidak merubah sama sekali. Dalam memberi makna saja, para pengajar tidak kreatif untuk mencari makna yang berasal dari pemahamnnya sendiri tetapi cenderung mengekor tanpa ada mengoreksi apalagi mengkritiknya. Anehnya lagi,biasanya dalam sistem ini tidak ada penjelasan dan ulasan dari pengajar sama sekali, kalau pun ada itu hanya sedikit dan terbatas itu pun hanya pada kitab-kitab yang dianggap penting saja, apalagi kalu kitabnya tebal. Biar ngaji berjam-jam yang penting makna dan tarkiban penuh adapun ulasan dan penjelasan dari isi kitab dianggap tidak penting sebab mereka berpikir bahwa dengan makna penuh, para santri bisa memahami sendiri. Itu pun kalau santrinya mau mengkaji (mutalaah) tetapi kalau tidak, ya ditumpuk buat pajangan dan terkadang dibuka bila ada masalah. Maka jangan heran, walaupun banyak santri yang mengaji kitab kuning yang tebal tetapi tidak mendapat apa-apa dari kitab tersebut kecuali makna dan tarkiban itu pun kalau tidak ketinggalan sebab seringkali pengajarnya membaca terlalu cepat sehingga banyak santri yang tidak dapat mengikuti makna yang dibacakan.  Yang perlu dipertanyakan apakah memang pengajarnya tidak menguasai isi dan materi kitab atau mungkin mereka berpikir bahwa ngaji yang penting khatam (tamat) dan berkah. Di pondok pesanren salaf, mayoritas menggunakan sistem sekolah (madrasah diniyah) disamping sistem pengajian yang berlaku diatas mengingat bertambahnya santri dengan latar belakang pemahaman yang berbeda terhadap kitab kuning dan seleksi masuknya biasanya dengan tes baik lisan (biasanya dengan menghafal bait nadzam) maupun tertulis tanpa melihat latar belakang pendidikan formalnya.
            Masing-masing pesantren salaf menerapkan jenjang madrasah yang berbeda-beda. Tingkat yang paling dasar disebut SP (sekolah persiapan)/i`dad atau mabadi. Biasanya setiap pesantren menggunakan istilah tersebut tanpa menggunakan nama yang seragam. Jenjangnya ada yang 1 sampai 2 tahun setelah itu ada yang  langsung MTs atau masuk kelas awaliyah/ibtidaiyyah umumnya dari kelas 1 sampai kelas 6 setelah kemudian aliyah. Bagi yang telah lulus aliyah umumnya  santri boyong (meninggalkan pesantren) dan bagi santri yang tidak boyong biasanya santri diangkat ustadz(guru) untuk mengajar di pesantren tersebut. Yang memprihatinkan, ijazah madrasaah dipesantren salaf statusnya tidak diakui atau disamakan tetapi statusnya diridlai, ya diridlai Tuhan.
            Dalam kenaikan kelas, banyak madrasah pesantren salaf yang mengharuskan para santri menghafal nadzam-nadzam terutama pelajaran nahwu sorof berdasarkan kelasnya masing-masing seperti awamil, amrithi, alfiyyah, jauhar maknun dan yang lainnya. Bila tidak hafal bisa jadi tidak naik kelas. Tetapi ada juga pesantren yang tidak mengaharuskan hafalan tersebut sebagai syarat kenaikan kelas.  Pada waktu jam pelajaran, biasanya para guru mengharuskan para santri setor hafalan beberapa nadzam atau disuruh membaca kitab yang telah diajarkan baik kosongan maupun yang telah ada maknanya. Pada umumnya, pesantren salaf lebih mementingkan hafalan, makna dan tarkiban daripada isi kitab (murad). Metode ini seharusnya harus direvisi karena dapat menyebabkan kreativitas santri tidak berkembang dalam memahami kitab kuning karena terlalu asyik dengan makna warisan tanpa memahami substansinya.
            Menurut penulis, sebaiknya pihak pesantren harus bisa mengusahakan agar para santri dapat mengikuti ujian persamaan terutama tingkat SLTP dan SLTA sehingga ijazah madrasah pesantren salaf dapat sama dan sederajat dengan ijazah formal lainnya. Konsekwensinya harus menambah pelajaran di luar kitab kuning seperti bahasa Indonesia, Matematika, bahasa inggris, IPS dan IPA. Yang sudah berjalan selama ini adalah adanya MTs terbuka tetapi masih jarang yang sampai jenjang SMA/aliyah. Jika hanya sampai jenjang MTs terbuka sangatlah tidak membantu jenjang pendidikan santri dan percuma sebab rata-rata santri salaf sekarang lulusan MTs atau SMP jadi mereka mempunyai dua ijazah dalam jenjang pendidikan yang sama. Yang terpenting adalah pihak pesantren hendaknya bisa mengusahakan ijazah sampai jenjang SLTA sehingga setelah lulus, para santri dapat melanjutkan pendidikannya di PTN atau PTS yang bukan jurusan agama. Selama ini, ijazah aliyah pesantren salaf  (tanpa ujian persamaan) hanya bisa masuk perguruan tinggi jurusan agama seperti IAIN,STAIN, atau perguruan tinggi yang membuka program agama, selain lembaga tersebut tidak bisa sehingga santri tidak bisa mendapat pendidikan umum di perguruan tinggi kecuali jurusan agama. Disamping itu, hendaknya pesantren salaf memperbanyak pelatihan vokasional,kursus, perberdayaan dan keterampilan maupun berorganisasi sehingga para santri mempunyai modal sebagai bekal dalam kehidupan bermasyarakat.

            Bagi santri, dalam memahami dan mengulas isi kitab kuning banyak mengalami kendala sebab mereka harus menterjemah ke dalam tiga bahasa -dari bahasa arab yang otomatis harus mengerti arti, gramatikal (tarkiban) setelah itu harus memahami bahasa jawa kuno yang banyak tidak dimengerti artinya terutama bagi santri luar jawa baru kemudian mengartikan ke dalam bahasa Indonesia. Dengan pemahaman bahasa Indonesia yang tidak baik, banyak santri yang memberikan ulasan kitab kuning dengan bahasa yang kacau dan janggal.              
                 

            Kata kunci yang membedakan lembaga pesantren secara umum dengan lembaga non pesantren adalah adanya istilah berkah. Berkah dalam pesantren diartikan sebagai kesuksesan santri dalam belajar tidak hanya ditentukan oleh ketekunan dan kecerdasannya tetapi ada hal-hal lain yang tidak nampak dan irrasional seperti kepatuhan kepada kyai dan keluarganya, ketakwaan, kesabaran, doa dan ibadah. Tidak heran dalam kalangan pesantren ada semacam mitos seperti santri yang tidak pernah belajar ngaji bisa menjadi orang yang alim hanya lantaran patuh dan taat pada kyainya. Mereka menganggap orang tersebut mendapat berkah dari kyainya. Jadi kriteria berkah tidak berdasarkan akal tetapi dengan keyakinan, ketulusan dan kebersihan hati. Bahkan segala aktifitas santri selalu dihubungkan dengan istilah berkahbaik ketika masih di pesantren maupun ketika sudah terjun di masyarakat. Andaikan tidak ada kata berkah maka nuansa, cara dan gaya hidup di pesantren tidak berbeda dengan jauh dengan lembaga non pesantren.



























Tidak ada komentar:

Posting Komentar