SISTEM PENDIDIKAN DAN KURIKULUM PESANTREN
SALAF HARUS DIREVISI
Oleh: Nasir Khan
Pada
awal berdirinya, pesantren merupakan lembaga tafaquh fi din (memperdalam
agama Islam) sekaligus sebagai benteng moral dengan sistem tradisional baik
dalam pengajaran,manajemen,kurikulum maupun kepemimpinan. Bahkan pesantren lah
yang paling menentukan watak keislaman dari kerajaan-kerajaan Islam dan
memegang peran penting bagi penyebaran Islam sampai ke pelosok-pelosok desa.
Semula hanya rural based institution tetapi pada perkembangan
selanjutnya, banyak pesantren-pesantren yang menjelma dan berkembang menjadi
lembaga urban dengan mengadopsi sistem pendidikan modern seperti memasukkan
pelajaran dan kurikulum umum dalam madrasah atau membuka sekolah umum dalam
lingkungan pesantren. Sebagai contoh Pondok Pesantren Modern Gontor di
Probolinggo, Pesantren Darun Najah dan As-Shiddiqiyah di Jakarta dan masih
banyak lagi. Pesantren-pesantren tersebut telah membuka SMP, SMA, MTs, Aliyah
maupun universitas yang mempunyai ijazah dan kurikulum sama dengan lembaga
formal lainnya disamping mempertahan kan
pengajaran kitab-kitab klasik yang telah berlaku turun temurun.
Pasantren-pesantren model tersebut disebut dengan pesantren khalafi (modern)
lawan dari pesantren salaf (kuno). Tetapi penggunaan istilah khalaf tidaklah
masyhur karena seringkali pesantren-pesantren tersebut masih mengklaim sebagai
pesantren salaf walaupun jelas-jelas telah menerapkan model pendidikan modern.
Pada umumnya, orang membedakan
pesantren salaf dan modern dilihat dari muatan kurikulum pendidikannya. Bila
dalam pesantren tidak ada lembaga formal, orang akan menganggap itu pesantren
salaf tetapi bila membuka lembaga pendidikan formal, orang menganggapnya
pesantren modern. Adapun pesantren salaf tetap mempertahankan pengajaran
kitab-kitab klasik (kitab kuning) sebagai inti pendidikannya tanpa mengadopsi
sistem pendidikan modern. Mereka dengan bangga menonjolkan kesalafannya bahkan
banyak pesantren tersebut yang memberi nama dengan tambahan salaf atau
salafiyah. Pesantren salaf disamping identik dengan makna keislaman juga
mengandung makna keaslian Indonesia
(indigenous) sebab pesantren sebenarnya sudah ada sejak zaman Hindu-Budha.
Cak Nur (Alm) pernah menggambarkan
seandainya negara kita tidak mengalami penjajahan mungkin pertumbuhan sistem
pendidikannya akan mengikuti jalur-jalur yang pernah ditempuh
pesantren-pesantren sehingga perguruan-perguruan tinggi yang ada sekarang tidak
akan berupa UI, UGM, ITB, IPB, Undip atau yang lainnya tetapi mungkin namanya
Universitas Tremas, Krapyak, Tebu Ireng, Lirboyo, bangkalan dan sebagainya.
Kemungkinan ini dapat dilihat dengan membandingkan secara kasar dengan
pertumbuhan sistem pendidikan
di negeri brat Diana hamper semi universities treenail coal banana dalai
perguruan-perguruan tinggi yang semula berorientasi keagamaan seperti
Universitas Havard yang didirikan oleh Pendeta Havard di Boston. Dan sekarang
menjadi universitas yang paling prestigious di Amerika dan hampir secara pasti
memegang kepeloporan dalam pengembangan ilmu pengetahuan modern dan gagasan
yang cemerlang.
Di pesantren salaf, metode
pengajaran yang umum berlaku adalah sistem bandungan, sorogan, dan musyawarah.
Dalam sistem bandungan, sekelompok
santri mendengarkan kyai atu guru yang membaca, menerjemah, menerangkan dan
mengulas isi kitab kuning dimana setiap santri memperhatikan sambil memberi
makna dan membuat catatan-catatan dari setiap keterangan yang penting atau
sulit dipahami. Sistem sorogan merupakan sistem individual face to face yang
menuntut banyak kesabaran dan ketelatenan dari guru terhadap santrinya. Tetapi
seiring dengan melonjaknya jumlah santri di pesantren salaf maka sistem sorogan
sudah sulit dilaksanakan apalagi kalau santrinya sampai ribuan maka sistem
sorogan dengan tatap muka langsung antara kyai dan santri nyaris sudah sulit
dilaksanakan. Yang ada paling-paling antara santri dengan santri senior atau
ustadznya, itu pun terbatas pada kitab-kitab elementer (pemula).
Adapun sistem musyawarah adalah
mendiskusikan pelajaran-pelajaran yang telah diajarkan di kelas madrasah secara
bersama-sama. Biasanya berdasarkan jenjang kelasnya masing-masing. Musyawarah
di pesantren salaf merupakan forum yang menentukan paham tidaknya santri dalam
menangkap pelajaran yang diajarkan sebab biasanya di madrasah para guru
biasanya hanya memberi makna pada kitab yang diajarkan tanpa memberi keterangan
dan ulasan yang panjang lebar. Apalagi kalau kitanya tebal, umumnya mereka
hanya memberikan penjelsasan dan ulsannya pada kitab-kitab yang dianggap
penting seperti nahwu dan fiqih. Pada musyawarah tersebut, para santri disuruh
kreatif untuk memahami makna dan isi kitab dengan belajar bersama-sama dalam
satu kelas. Tetapi dalam prakteknya musyawarah sering menjadi ajang ngobrol
para santri karena hanya santri yang aktif dan kreatif yang mau mengulas kitab-kitab
yang telah diajarkan. Tidak seluruh santri apalagi pengawasan dari gurunya
tidak ketat. Pada waktu-waktu tertentu ada istilah musyawarah kubro yaitu
musyawarah gabungan dari beberapa kelas untuk membahas masalah (bahsul masail)
dan dihadiri oleh dewan guru senior sebagai pemutus masalah, biasanya disebut
hakim.
Sistem pengajaran yang berlaku umum
sekarang di pesantren salaf adalah sistem bandungan, santri mengaji langsung
pada kyai atau pada santri senior. Dalam sistem ini, pengajar biasanya hanya
mengejar makna(ngapsahi,maknani) perkalimat dengan huruf pego. Seringkali
pengajarnya memberi makna dengan “makna warisan” karena makna tersebut berasal
dari pengajar terdahulu dengan merubah atau tidak merubah sama sekali. Dalam
memberi makna saja, para pengajar tidak kreatif untuk mencari makna yang
berasal dari pemahamnnya sendiri tetapi cenderung mengekor tanpa ada mengoreksi
apalagi mengkritiknya. Anehnya lagi,biasanya dalam sistem ini tidak ada
penjelasan dan ulasan dari pengajar sama sekali, kalau pun ada itu hanya
sedikit dan terbatas itu pun hanya pada kitab-kitab yang dianggap penting saja,
apalagi kalu kitabnya tebal. Biar ngaji berjam-jam yang penting makna dan
tarkiban penuh adapun ulasan dan penjelasan dari isi kitab dianggap tidak
penting sebab mereka berpikir bahwa dengan makna penuh, para santri bisa
memahami sendiri. Itu pun kalau santrinya mau mengkaji (mutalaah) tetapi kalau
tidak, ya ditumpuk buat pajangan dan terkadang dibuka bila ada masalah. Maka jangan
heran, walaupun banyak santri yang mengaji kitab kuning yang tebal tetapi tidak
mendapat apa-apa dari kitab tersebut kecuali makna dan tarkiban itu pun kalau
tidak ketinggalan sebab seringkali pengajarnya membaca terlalu cepat sehingga
banyak santri yang tidak dapat mengikuti makna yang dibacakan. Yang perlu dipertanyakan apakah memang
pengajarnya tidak menguasai isi dan materi kitab atau mungkin mereka berpikir
bahwa ngaji yang penting khatam (tamat) dan berkah. Di pondok pesanren salaf,
mayoritas menggunakan sistem sekolah (madrasah diniyah) disamping sistem
pengajian yang berlaku diatas mengingat bertambahnya santri dengan latar
belakang pemahaman yang berbeda terhadap kitab kuning dan seleksi masuknya
biasanya dengan tes baik lisan (biasanya dengan menghafal bait nadzam) maupun
tertulis tanpa melihat latar belakang pendidikan formalnya.
Masing-masing pesantren salaf
menerapkan jenjang madrasah yang berbeda-beda. Tingkat yang paling dasar
disebut SP (sekolah persiapan)/i`dad atau mabadi. Biasanya setiap pesantren
menggunakan istilah tersebut tanpa menggunakan nama yang seragam. Jenjangnya
ada yang 1 sampai 2 tahun setelah itu ada yang
langsung MTs atau masuk kelas awaliyah/ibtidaiyyah umumnya dari kelas 1
sampai kelas 6 setelah kemudian aliyah. Bagi yang telah lulus aliyah
umumnya santri boyong
(meninggalkan pesantren) dan bagi santri yang tidak boyong biasanya
santri diangkat ustadz(guru) untuk mengajar di pesantren tersebut. Yang
memprihatinkan, ijazah madrasaah dipesantren salaf statusnya tidak diakui atau
disamakan tetapi statusnya diridlai, ya diridlai Tuhan.
Dalam kenaikan kelas, banyak
madrasah pesantren salaf yang mengharuskan para santri menghafal nadzam-nadzam
terutama pelajaran nahwu sorof berdasarkan kelasnya masing-masing seperti awamil,
amrithi, alfiyyah, jauhar maknun dan yang lainnya. Bila tidak hafal bisa jadi
tidak naik kelas. Tetapi ada juga pesantren yang tidak mengaharuskan hafalan
tersebut sebagai syarat kenaikan kelas. Pada
waktu jam pelajaran, biasanya para guru mengharuskan para santri setor hafalan
beberapa nadzam atau disuruh membaca kitab yang telah diajarkan baik kosongan
maupun yang telah ada maknanya. Pada umumnya, pesantren salaf lebih
mementingkan hafalan, makna dan tarkiban daripada isi kitab (murad). Metode ini
seharusnya harus direvisi karena dapat menyebabkan kreativitas santri tidak
berkembang dalam memahami kitab kuning karena terlalu asyik dengan makna
warisan tanpa memahami substansinya.
Menurut penulis, sebaiknya pihak
pesantren harus bisa mengusahakan agar para santri dapat mengikuti ujian
persamaan terutama tingkat SLTP dan SLTA sehingga ijazah madrasah pesantren
salaf dapat sama dan sederajat dengan ijazah formal lainnya. Konsekwensinya
harus menambah pelajaran di luar kitab kuning seperti bahasa Indonesia , Matematika, bahasa
inggris, IPS dan IPA. Yang sudah berjalan selama ini adalah adanya MTs terbuka
tetapi masih jarang yang sampai jenjang SMA/aliyah. Jika hanya sampai jenjang
MTs terbuka sangatlah tidak membantu jenjang pendidikan santri dan percuma sebab
rata-rata santri salaf sekarang lulusan MTs atau SMP jadi mereka mempunyai dua
ijazah dalam jenjang pendidikan yang sama. Yang terpenting adalah pihak
pesantren hendaknya bisa mengusahakan ijazah sampai jenjang SLTA sehingga
setelah lulus, para santri dapat melanjutkan pendidikannya di PTN atau PTS yang
bukan jurusan agama. Selama ini, ijazah aliyah pesantren salaf (tanpa ujian persamaan) hanya bisa masuk
perguruan tinggi jurusan agama seperti IAIN,STAIN, atau perguruan tinggi yang
membuka program agama, selain lembaga tersebut tidak bisa sehingga santri tidak
bisa mendapat pendidikan umum di perguruan tinggi kecuali jurusan agama.
Disamping itu, hendaknya pesantren salaf memperbanyak pelatihan
vokasional,kursus, perberdayaan dan keterampilan maupun berorganisasi sehingga
para santri mempunyai modal sebagai bekal dalam kehidupan bermasyarakat.
Bagi santri, dalam memahami dan
mengulas isi kitab kuning banyak mengalami kendala sebab mereka harus
menterjemah ke dalam tiga bahasa -dari bahasa arab yang otomatis harus mengerti
arti, gramatikal (tarkiban) setelah itu harus memahami bahasa jawa kuno yang
banyak tidak dimengerti artinya terutama bagi santri luar jawa baru kemudian
mengartikan ke dalam bahasa Indonesia .
Dengan pemahaman bahasa Indonesia yang tidak baik, banyak santri yang
memberikan ulasan kitab kuning dengan bahasa yang kacau dan janggal.
Kata kunci yang membedakan lembaga
pesantren secara umum dengan lembaga non pesantren adalah adanya istilah
berkah. Berkah dalam pesantren diartikan sebagai kesuksesan santri dalam
belajar tidak hanya ditentukan oleh ketekunan dan kecerdasannya tetapi ada
hal-hal lain yang tidak nampak dan irrasional seperti kepatuhan kepada kyai dan
keluarganya, ketakwaan, kesabaran, doa dan ibadah. Tidak heran dalam kalangan
pesantren ada semacam mitos seperti santri yang tidak pernah belajar ngaji bisa
menjadi orang yang alim hanya lantaran patuh dan taat pada kyainya. Mereka
menganggap orang tersebut mendapat berkah dari kyainya. Jadi kriteria berkah
tidak berdasarkan akal tetapi dengan keyakinan, ketulusan dan kebersihan hati.
Bahkan segala aktifitas santri selalu dihubungkan dengan istilah berkahbaik
ketika masih di pesantren maupun ketika sudah terjun di masyarakat. Andaikan
tidak ada kata berkah maka nuansa, cara dan gaya hidup di pesantren tidak berbeda dengan
jauh dengan lembaga non pesantren.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar