REGENERASI TERORIS DARI DALAM PENJARA
Oleh: Nasiruddin MM, Direktur Utama Penerbit Haibah Press
Brebes Jawa Tengah
Selama tahun 2011 ini ternyata bangsa kita tidak sepi
dari teror bom yang dilakukan oleh para teroris. Diawali dari bom buku pada
bulan Pebruari kemudian bom bunuh diri di Masjid Ad-Dzikra, komplek Mapolresta
Cirebon pada bulan April dan yang terbaru adalah ledakan bom bunuh diri yang
terjadi di Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) Kepunton Solo pada 25 September
2011. Sejak terbunuhnya para gembong teroris seperti Dr. Azahari dan Nurdin M
Top, Syaifudin
Zuhri dan Mohamad Syahrir banyak
orang mengira gerakan teroris akan hilang atau setidaknya berkurang. Tetapi
ternyata anggapan ini meleset karena yang terjadi gerakan terorisme masih
banyak terjadi, ini terbukti dengan terjadinya teror bom dalam jarak waktu yang
berdekatan.
Gerakan terorisme masih hidup dan berkembang subur di
Indonesia karena regenerasi teroris terbilang cepat, ini dapat dilihat dengan
masih banyaknya kalangan muda yang tertarik masuk ke dalam kelompok dan
jaringan Islam garis keras seperti Jamaah Anshorut Tauhid (JAT), Majlis
Mujahidin Indonesia (MMI), Jamaah Islamiyah (JI), Negara Islam Indonesia (NII),
Front Pembela Islam (FPI) dan masih banyak lagi. Mereka bergabung dengan mereka
dengan dua kemungkinan direkrut langsung oleh kelompok mereka atau terinspirasi sendiri seperti
yang dialami M. Syarif dalam bom Cirebon. Inspirasi
itu bahkan konon sampai terbawa dalam mimpi. Dari
rekaman video yang tersimpan di ponselnya, Syarif menyatakan, "Salam
kepada Noor Din M. Top yang pernah datang ke mimpi saya, mengajak saya berjihad
bergabung di dalam pasukannya. Saya pernah bermimpi bertemu dengan Ustad Osama
bin Laden."
Para pengikutnya berhasil
dicuci otaknya dengan doktrin pembentukan negara Islam di Indonesia. Parahnya
doktrin yang ditanamkan adalah bahwa orang yang di luar kelompok mereka adalah
kafir yang halal darah, harta dan kehormatannya. Mereka boleh merampok,
membunuh, dan memperkosa orang di luar kelompok mereka yang penting buat
kejayaan kelompoknya seperti yang dilakukan tokoh teroris Abu Tholut yang
terlibat aksi perampokan di bank CIMB Niaga Medan dan membunuh aparat
kepolisian di Polsek Hamparan Perak Kabupaten Deli Serdang dan juga pernah
terlibat dalam kasus peledakan di Mal Atrium Senen Jakarta Pusat tahun 200.
Repotnya lagi, penjara
sebagai hukuman bagi tersangka teroris ternyata malah dijadikan “lahan empuk”
untuk melakukan regenerasi para teroris misalnya banyak yang mengaku
terpengaruh oleh dakwah Oman Abdurahman, terpidana bom Cimanggis Depok 2004 dan
bergabung dengan kelompok teroris Abdullah Sonata. Ketika dipenjara sejak 2005 di Lembaga Pemasyarakat Sukamiskin,
Bandung, Oman mampu merekrut sejumlah nama. Ia merekrut Gema Awal Ramadhan, mantan
mahasiswa IPDN yang terlibat pembunuhan juniornya, Wahyu Hidayat. Gema
ditangkap dalam penggerebekan pelatihan teroris di Aceh, Maret 2010.
Di penjara yang sama, Oman juga merekrut Yuli Harsono, mantan personel TNI yang dipecat dan dijebloskan di penjara Sukamiskin Bandung yang dinyatakan bersalah
karena menjual amunisi. Setelah keluar dari penjara, Yuli menjadi pengikut
teroris dan menyerang kantor polisi yang mengakibatkan tewasnya tiga anggota
polisi setempat dan akhirnya Yuli tewas dalam penggerebekan di rumah kontrakan di
Cungkrungan, Blang Wetan Klaten, Juni 2010. Selepas dari
penjara, lewat pengajian di pinggiran Jakarta Selatan, Oman juga berhasil merekrut mantan anggota
Brimob, Sofyan Tsauri. Oman mendirikan kelompok Tauhid wal Jihad. Tim Hisbah pimpinan
Sigit Qurdawi juga dinamakan Tauhid wal Jihad, merujuk pada ajaran Oman.
Bahkan menurut penelitian Institut Kebijakan
Strategis Australia (Australian Strategic Policy Institute) menyebutkan bahwa
para teroris membentuk pemerintahan bayangan dalam penjara. Mereka melakukan
perekrutan anggota, mengirim uang dan mengkoordinir aksi teror. Mereka juga
menjalankan bisnis kecil seperti menjual kartu isi ulang HP, membuka warung
wakan, menjual minyak dan gula. Mereka biasa menggunakan HP untuk berkhotbah
pada para pengikutnya di luar dan mendominasi mesjid penjara. Bahkan mereka
dapat memanipulasi sistem penjara dan memperluas ruang geraknya.
Kasus yang paling memalukan adalah kasus yang
terjadi pada Benni Irawan, sipir Lapas Kerobokan tahun 2005, dimana ia
menyelundupkan laptop kepada Imam Samudra yang sedang menunggu eksekusi hukuman
mati. Ternyata laptop itu digunakan Imam Samudra untuk berkomunikasi dengan
kelompok teroris lainnya dan membantu merencanakan bom Bali kedua. Ternyata
penjara bukan tempat efektif untuk menanggulangi terorisme bahkan menjadi
semacam “kawah candradimuka” untuk menempa perilaku terorisme agar lebih matang
karena dengan status narapidana teroris akan dianggap lebih hebat, loyal dan
meningkat reputasi dan pengaruhnya di mata kelompok mereka karena dengan di
penjara berarti dia sudah berjasa kepada kelompok dan agamanya demi mewujudkan
cita-cita mereka walau nyawa menjadi taruhannya.
Selama dekade ini, pemerintah Indonesia telah
menangkap kurang lebih 700 pengikut teroris dan 200 orang diantaranya telah
dipenjara. Bahkan sudah ada sekitar 250 orang yang sudah keluar dari penjara
tetapi tetap melanjutkan aksi-aksi teror. Contoh kecil, seorang pengikut
teroris yang bernama Fajar Taslam yang dinyatakan bersalah karena membunuh
seorang guru Kristen tahun 2005 dan mencoba membunuh seorang Pastor Katolik
tahun 2007. Ketia diwawancarai, dia mengatakan jika bebas, dia akan mengebom
kedutaan AS di Jakarta. Begitu juga yang dialami Sonhadi yang dinyatakan
bersalah karena menyembunyikan Noordin M Top. Dia mengatakan bahwa mantan
tahanan teroris memegang status sosial tinggi di masyarakatnya setelah
menjalani hukuman di penjara. Ini membuktikan bahwa penjara dapat menjadikan
para narapidana teroris lebih militan dan semakin berbahaya bukan malah sadar
dan tobat ke jalan yang benar.
Untuk hukuman teroris,
masa penahanan di penjara Indonesia sama dengan penahanan bagi kriminal lainnya
seperti mencuri dan membunuh padahal kerusakan yang ditimbulkan tidak sebanding
dengan lama masa penahanan mereka.Repotnya lagi dalam hukum Indonesia tidak
tegas bahkan tidak mencantumkan hukuman tambahan apabila teroris melakukan
tindak kriminal lainnya seperti mencuri sehingga tidak heran bila mereka
mengulangi perbuatan terornya selepas dari penjara.
Di Indonesia sendiri
Undang-undang anti terorisme masih menimbulkan multi tafsir yang mengaburkan penerapannya. Sebagian ada yang
dibebaskan, divonis lebih rendah dari seharusnya, atau dijatuhi hukuman
yang tak berkaitan dengan terorisme sehingga hukuman meraka seperti
dibeda-bedakan. Di bandingkan Prancis, penegakan hukum bagi teroris di sana
lebih baik dari Indonesia karena di sana ada hakim yang khusus menangani kasus
terorisme yang dinilai mampu menjatuhkan hukuman yang turut memberikan
efek jera pada pelaku terorisme. Sedangkan di Indonesia, hakim yang menangani kasus terorisme
adalah hakim umum yang belum tentu memahami secara mendalam kasus terorisme. Yang tidak kalah
penting, sudah saatnya ada pemisahan penjara
teroris dengan pelanggar hukum lainnya karena bila tidak dipisah maka penjara
bisa menjadi pembibitan anggota teroris yang terpengaruh ajakan dan ajaran para
narapidana teroris.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar