Minggu, 22 April 2012


REGENERASI TERORIS DARI DALAM PENJARA
Oleh: Nasiruddin MM, Direktur Utama Penerbit Haibah Press Brebes Jawa Tengah
Selama tahun 2011 ini ternyata bangsa kita tidak sepi dari teror bom yang dilakukan oleh para teroris. Diawali dari bom buku pada bulan Pebruari kemudian bom bunuh diri di Masjid Ad-Dzikra, komplek Mapolresta Cirebon pada bulan April dan yang terbaru adalah ledakan bom bunuh diri yang terjadi di Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) Kepunton Solo pada 25 September 2011. Sejak terbunuhnya para gembong teroris seperti Dr. Azahari dan Nurdin M Top, Syaifudin Zuhri dan Mohamad Syahrir banyak orang mengira gerakan teroris akan hilang atau setidaknya berkurang. Tetapi ternyata anggapan ini meleset karena yang terjadi gerakan terorisme masih banyak terjadi, ini terbukti dengan terjadinya teror bom dalam jarak waktu yang berdekatan.
            Gerakan terorisme masih hidup dan berkembang subur di Indonesia karena regenerasi teroris terbilang cepat, ini dapat dilihat dengan masih banyaknya kalangan muda yang tertarik masuk ke dalam kelompok dan jaringan Islam garis keras seperti Jamaah Anshorut Tauhid (JAT), Majlis Mujahidin Indonesia (MMI), Jamaah Islamiyah (JI), Negara Islam Indonesia (NII), Front Pembela Islam (FPI) dan masih banyak lagi. Mereka bergabung dengan mereka dengan dua kemungkinan direkrut langsung oleh kelompok mereka atau terinspirasi sendiri seperti yang dialami  M. Syarif dalam bom Cirebon. Inspirasi itu bahkan konon sampai terbawa dalam mimpi. Dari rekaman video yang tersimpan di ponselnya, Syarif menyatakan, "Salam kepada Noor Din M. Top yang pernah datang ke mimpi saya, mengajak saya berjihad bergabung di dalam pasukannya. Saya pernah bermimpi bertemu dengan Ustad Osama bin Laden."
            Para pengikutnya berhasil dicuci otaknya dengan doktrin pembentukan negara Islam di Indonesia. Parahnya doktrin yang ditanamkan adalah bahwa orang yang di luar kelompok mereka adalah kafir yang halal darah, harta dan kehormatannya. Mereka boleh merampok, membunuh, dan memperkosa orang di luar kelompok mereka yang penting buat kejayaan kelompoknya seperti yang dilakukan tokoh teroris Abu Tholut yang terlibat aksi perampokan di bank CIMB Niaga Medan dan membunuh aparat kepolisian di Polsek Hamparan Perak Kabupaten Deli Serdang dan juga pernah terlibat dalam kasus peledakan di Mal Atrium Senen Jakarta Pusat tahun 200.
            Repotnya lagi, penjara sebagai hukuman bagi tersangka teroris ternyata malah dijadikan “lahan empuk” untuk melakukan regenerasi para teroris misalnya banyak yang mengaku terpengaruh oleh dakwah Oman Abdurahman, terpidana bom Cimanggis Depok 2004 dan bergabung dengan kelompok teroris Abdullah Sonata. Ketika dipenjara sejak 2005 di Lembaga Pemasyarakat Sukamiskin, Bandung, Oman mampu merekrut sejumlah nama. Ia merekrut Gema Awal Ramadhan, mantan mahasiswa IPDN yang terlibat pembunuhan juniornya, Wahyu Hidayat. Gema ditangkap dalam penggerebekan pelatihan teroris di Aceh, Maret 2010.
Di penjara yang sama, Oman juga merekrut Yuli Harsono, mantan personel TNI yang dipecat dan dijebloskan di penjara  Sukamiskin Bandung yang dinyatakan bersalah karena menjual amunisi. Setelah keluar dari penjara, Yuli menjadi pengikut teroris dan menyerang kantor polisi yang mengakibatkan tewasnya tiga anggota polisi setempat dan akhirnya Yuli tewas dalam penggerebekan di rumah kontrakan di Cungkrungan, Blang Wetan Klaten, Juni 2010. Selepas dari penjara, lewat pengajian di pinggiran Jakarta Selatan, Oman juga berhasil merekrut mantan anggota Brimob, Sofyan Tsauri. Oman mendirikan kelompok Tauhid wal Jihad. Tim Hisbah pimpinan Sigit Qurdawi juga dinamakan Tauhid wal Jihad, merujuk pada ajaran Oman.
Bahkan menurut penelitian Institut Kebijakan Strategis Australia (Australian Strategic Policy Institute) menyebutkan bahwa para teroris membentuk pemerintahan bayangan dalam penjara. Mereka melakukan perekrutan anggota, mengirim uang dan mengkoordinir aksi teror. Mereka juga menjalankan bisnis kecil seperti menjual kartu isi ulang HP, membuka warung wakan, menjual minyak dan gula. Mereka biasa menggunakan HP untuk berkhotbah pada para pengikutnya di luar dan mendominasi mesjid penjara. Bahkan mereka dapat memanipulasi sistem penjara dan memperluas ruang geraknya.
Kasus yang paling memalukan adalah kasus yang terjadi pada Benni Irawan, sipir Lapas Kerobokan tahun 2005, dimana ia menyelundupkan laptop kepada Imam Samudra yang sedang menunggu eksekusi hukuman mati. Ternyata laptop itu digunakan Imam Samudra untuk berkomunikasi dengan kelompok teroris lainnya dan membantu merencanakan bom Bali kedua. Ternyata penjara bukan tempat efektif untuk menanggulangi terorisme bahkan menjadi semacam “kawah candradimuka” untuk menempa perilaku terorisme agar lebih matang karena dengan status narapidana teroris akan dianggap lebih hebat, loyal dan meningkat reputasi dan pengaruhnya di mata kelompok mereka karena dengan di penjara berarti dia sudah berjasa kepada kelompok dan agamanya demi mewujudkan cita-cita mereka walau nyawa menjadi taruhannya.
Selama dekade ini, pemerintah Indonesia telah menangkap kurang lebih 700 pengikut teroris dan 200 orang diantaranya telah dipenjara. Bahkan sudah ada sekitar 250 orang yang sudah keluar dari penjara tetapi tetap melanjutkan aksi-aksi teror. Contoh kecil, seorang pengikut teroris yang bernama Fajar Taslam yang dinyatakan bersalah karena membunuh seorang guru Kristen tahun 2005 dan mencoba membunuh seorang Pastor Katolik tahun 2007. Ketia diwawancarai, dia mengatakan jika bebas, dia akan mengebom kedutaan AS di Jakarta. Begitu juga yang dialami Sonhadi yang dinyatakan bersalah karena menyembunyikan Noordin M Top. Dia mengatakan bahwa mantan tahanan teroris memegang status sosial tinggi di masyarakatnya setelah menjalani hukuman di penjara. Ini membuktikan bahwa penjara dapat menjadikan para narapidana teroris lebih militan dan semakin berbahaya bukan malah sadar dan tobat ke jalan yang benar.
Untuk hukuman teroris, masa penahanan di penjara Indonesia sama dengan penahanan bagi kriminal lainnya seperti mencuri dan membunuh padahal kerusakan yang ditimbulkan tidak sebanding dengan lama masa penahanan mereka.Repotnya lagi dalam hukum Indonesia tidak tegas bahkan tidak mencantumkan hukuman tambahan apabila teroris melakukan tindak kriminal lainnya seperti mencuri sehingga tidak heran bila mereka mengulangi perbuatan terornya selepas dari penjara.
Di Indonesia sendiri Undang-undang anti terorisme masih menimbulkan multi tafsir yang mengaburkan penerapannya. Sebagian ada yang dibebaskan, divonis lebih rendah dari  seharusnya, atau dijatuhi hukuman yang tak berkaitan dengan  terorisme sehingga hukuman meraka seperti dibeda-bedakan. Di bandingkan Prancis, penegakan hukum bagi teroris di sana lebih baik dari Indonesia karena di sana ada hakim yang khusus menangani kasus terorisme yang dinilai  mampu menjatuhkan hukuman yang turut memberikan efek jera  pada pelaku terorisme. Sedangkan di Indonesia, hakim yang menangani kasus  terorisme adalah hakim umum yang belum tentu memahami  secara mendalam kasus terorisme. Yang tidak kalah penting, sudah saatnya ada pemisahan penjara teroris dengan pelanggar hukum lainnya karena bila tidak dipisah maka penjara bisa menjadi pembibitan anggota teroris yang terpengaruh ajakan dan ajaran para narapidana teroris.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar