Senin, 09 Januari 2012


TEROBOSAN HUKUM DALAM PERATURAN HUKUM
DALAM PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN RADIKALISME
DAN TERORISME INDONESIA

Oleh:

Irjen. Pol. (Purn) Drs. Ansyaad Mbai
Ketua Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme (DKPT) Kemenko Polhukam
Le Meridien Hotel Jakarta, 28 Juli 2010

Sejak bom Bali 1 tahun 2002, pemerintah telah mengeluarkan Perpu Nomor 1 Tahun 2002, yang kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Anti Terorisme, seiring dengan itu Presiden  mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2002, yang menugaskan Menko Polkam untuk melakukan dua hal sebagai berikut :
1.           Merumuskan Kebijakan dan Strategi Nasional Pemberantasan Terorisme;
2.           Mengkoordinasikan semua langkah-langkah operasional pemberantasan terorisme.
Untuk merealisasikan Inpres tersebut dibentuk Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme (DKPT).
Kebijakan pemerintah dalam pemberantasan terorisme dititikberatkan kepada dua hal yaitu :
1.           Upaya Penegakkan hukum secara adil dan transparan ;
2.           Upaya Counter Radikalisme (Program Deradikalisasi) untuk menetralisir ideologi radikal yang menjadi pemicu utama terjadinya aksi terorisme.
Dalam upaya penegakkan hukum kita telah sukses dan telah mendapat pengakuan internasional karena telah berhasil mengungkap jaringan terorisme, menangkap ratusan pelaku dan membawa meraka ke pengadilan. Beberapa aksi teror seperti ; Bom Natal Th. 2000, Bom Bali I Th. 2002, Bom J.W. Marriot Th. 2003, Bom Kedutaan Besar Australia Th. 2004, Bom Bali II Th. 2005, serta aksi-aksi teror di Poso, semuanya dapat diselesaikan melalui penegakkan hukum dengan adil dan transparan.
Akan tetapi kenyataannya gerakan kelompok radikal masih terus berlangsung. Propaganda untuk melakukan teror dan aksi-aksi kekerasan masih terus berlangsung. Rekruitment baru masih dilakukan dan rencana-rencana aksi masih tetap ada. Juga kita pahami bersama bahwa gerakan yang berlatarbelakang ideologi tidak akan berhenti dengan tertangkapnya para pelaku. Selama ideologi radikal tidak bisa dinetralisir mereka akan terus melakukan aksinya .
Sebagai contoh; setelah Bom Bali I Th. 2002 hampir semua pelaku tertangkap dan dibawa kepengadilan. Namun tahun 2003, kelompok yang sama melakukan aksi teror bom di Hotel J.W. Marriot, sekali lagi para pelaku tertangkap dan diadili, tetapi tahun 2004 mereka melakukan aksi bom di depan Kedutaan Besar Australia, dan tahun 2005 kembali melakukan aksi yang sama di Bali.
Pada tahun 2006 dan 2007 tidak ada aksi teror yang signifikan, karena pada periode ini Polri/aparat keamanan, berhasil menggagalkan rencana aksi teror mereka dengan melakukan penangkapan kelompok-kelompok militan seperti jeringan teror Poso dan kelompok Zarkasih/Abu Dujana. Sejumlah senjata, bom serta amunisi berhasil disita.
Dalam penegakan hukum terhadap aksi terorisme, sejak tahun 2002 sampai saat ini Polri telah berhasil menangkap ± 500 teroris dan ± 400 diantaranya telah diadili dan dijatuhi hukuman dan 5 orang diantaranya telah divonis hukuman mati, akan tetapi ternyata aksi teroris masih terus menjadi ancaman nyata bahkan ada kecenderungan teroris lebih memperluas target mereka.
Setelah serangan teroris yang dilakukan secara simultan yang dilakukan di Hotel J.W. Marriott dan Ritz Carlton pada Juli 2009 telah terungkap bahwa target para teroris selain Barat adalah target domestik. Sebagai contoh kelompok Jati Asih yang termasuk jaringan kelompok teroris yang menyerang Hotel J.W. Marriott dan Ritz Carlton yang terungkap menyusul pengungkapan jaringan teroris atas peledakan kedua hotel tersebut ternyata telah mempersiapkan serangan terhadap Presiden RI. Hal ini perlu diantisipasi dengan meningkatkan upaya pemberantasan terorisme melalui penegakan hukum yang lebih efektif.
Beberapa hal yang perlu ditingkatkan adalah ketentuan-ketentuan hukum yang selama ini dirasakan kurang efektif antara lain sebagai berikut:
1.           Kelemahan Peran Intelijen :
Dalam Undang-Undang Nomor 15/2003 Ps. 26 dinyatakan intelejen hanya dapat dijadikan sebagai alat bukti permulaan setelah melalui hearing.
Selama ini intelijen kurang berperan dalam pengungkapan jaringan terorisme. Sementara penyidik hanya terfokus menangani para pelaku lapangan dan belum menjangkau sampai pada tokoh-tokoh ideologis, master mind dan tokoh-tokoh yang menganjurkan serta mempengaruhi terjadinya aksi terorisme tersebut. Dengan demikian respon kita hanya bersifat reaktif dan inisiatif ditangan teroris.
Usulan :
a.       Intelijen dapat dijadikan sebagai alat bukti setelah dilakukan hearing dan setelah melalui analisis intelijen oleh Tim Intelijen Terpadu;
b.       Bahan-bahan keterangan intelijen dapat diperoleh dari jaringan intelijen yang ada pada lembaga-lembaga intelijen, baik di tingkat pusat maupun tingkat daerah;
c.       Untuk melakukan pendalaman dalam pengungkapan jaringan terorisme, intelijen dapat melakukan pemeriksanaan terhadap para teroris dalam masa penangkapan oleh penyidik, masa penahanan oleh penyidik atau dalam masa menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan.
2.           Masa Penangkapan dan Masa Penahanan Terlalu Singkat.
a.       Masa penangkapan 7 hari tidak sesuai dengan kondisi geografis Indonesia yang terdiri dari pulau-pulau dan banyak pulau terpencil, konsekuensinya upaya penangkapan memerlukan waktu yang cukup lama.
Diperlukan ketelitian dan akurasi untuk menentukan tersangka teroris. Misal; diperlukan cross check antar kelompok teroris di dalam dan luar negeri. Disamping itu organisasi teroris merupakan organisasi bawah tanah dengan sifat militant, sehingga diperlukan pendekatan-pendekatan khusus yang memerlukan waktu cukup panjang.
b.       Penahanan.
Teroris merupakan jaringan, sehingga diperlukan waktu yang cukup untuk mencari bukti keterkaitan kelompok teroris yang satu dengan yang lainnya.
Diperlukan waktu untuk mengembangkan intelijen dalam menelusuri keterkaitan jaringan.
Diperlukan kesetaraan hukum dalam kerjasama internasional.
Sebagai contoh :
1)   Perancis bisa menahan 2 s.d 4 tahun;
2)   Malaysia dan Singapura selama 2 tahun;
3)   Masa penangkapan (detention without charge) di Inggris 28 hari berdasarkan Terrorism Act 2006.
Contoh aktual dimana salah satu pelaku aksi teror di J.W. Marriot 2 yang bernama Aer Setiawan pernah ditangkap dan ditahan dalam kasus teror bom di Kedubes Australia tahun 2004. Aer Setiawan sebenarnya dicurigai mempunyai peranan penting, tetapi diperlukan waktu yang lama untuk mengungkap fakta-fakta keterlibatannya, sementara waktu pemeriksanaan sudah habis, sehingga polisi terpaksa melepaskannya. Setelah dilepas ternyata Aer sudah bergabubg dengan kelompok teroris yang akan menyerang Presiden SBY.
Usulan
Perpanjang masa penangkapan dan masa penahanan :
a.       Masa penangkapan dari 7 (tujuh) hari menjadi 6 (enam) bulan;
b.       Masa penahanan dari 180 hari menjadi 2 (dua) tahun.
3.           Perbuatan Awal Yang Mengarah Kepada Aksi Teror Belum Dapat Ditindak.
Perbuatan-perbuatan tersebut selama ini marak dilakukan oleh tokoh-tokoh teroris, sementara polisi tidak dapat melakukan tindakan terhadap mereka, karena tidak ada dasar hukumnya padahal perbuatan tersebut merupakan awal/penyulut terjadinya aksi-aksi terorisme.
Di kebanyakan negara  perbuatan-perbuatan tersebut (encouragement of terrorist) telah dikatagorikan sebagai pidana dan diancam dengan hukuman berat. Untuk melakukan kerjasama internasional, diperlukan kesetaraan tindakan terhadap para teroris dan diperlukan kesetaraan dalam hukum yang diberlakukan.
Usulan
Kriminalisasi beberapa perbuatan yang berkaitan dengan aksi teror seperti:
a.       Menyebarkan permusuhan dan kebencian;
b.       Menganjurkan untuk melakukan aksi-aksi kekerasan;
c.       Menyelenggarakan/mengikuti latihan militer;
d.       Merekrut orang untuk tujuan terorisme;
e.       Mengatasnamakan agama melakukan kekerasan;
f.         Glorifying terrorism;
g.       Persiapan-persiapan untuk aksi teror.




4.           Ancaman hukuman terhadap teroris terlalu ringan.
Beberapa teroris yang telah menjalani hukumannya (telah bebas karena masa hukumannya sangat singkat), ternyata kemudian terlibat dalam aksi terorisme yang baru, contoh Urwah, Abdulah Sonata, Sogir, dll.
5.           Pengadilan terpusat dan penunjukan Jaksa dan Hakim Specialized  belum terwujud.
Kasus-kasus terorisme yang terjadi selama ini di Indonesia dan Asia Tenggara dilakukan oleh satu jaringan internasional. Kasus yang terjadi di beberapa kota di Indonesia, selalu ada keterkaitannya antara satu dengan yang lainnya. Akan tetapi selama ini pengadilan kita dilakukan secara terpisah-pisah menurut lokasi kejadian. Akibatnya bukti-bukti keterlibatan antara kelompok teroris yang satu dengan yang lain selalu tercecer, bahkan tidak pernah diungkap di pengadilan, karena jaksa dan hakim yang berbeda-beda dan tidak sama pengetahuan mereka atas jaringan terorisme. Untuk itu diperlukan pengadilan terpusat dengan jaksa dan hakim yang Specialized.
6.           Upaya deradikalisasi oleh instansi terkait belum efektif.
Terorisme adalah kejahatan/kekerasan bermotif ideologi dan politik radikal. Selama ideologi radikal yang mendasarinya tidak bisa dinetralisir, terorisme akan tetap eksis. Pendekatan fisik semata (hard power) tidak akan menghentikan terorisme. Diperlukan upaya persuasif  dengan pendekatan manusiawi (soft power) disamping hard power. Untuk itu diperlukan upaya deradikalisasi.
Deradikalisasi terhadap para teroris membutuhkan peranan instansi terkait dan perlu adanya sinergi dan koordinasi yang baik, untuk itu perlu ada payung hukum, sehingga program deradikalisasi tidak berjalan sendiri-sendiri oleh masing-masing instansi.
7.           Pelibatan TNI dalam upaya pencegahan, perlindungan dan penindakan, serta upaya recovery.
Undang-Undang TNI Nomor 34 Tahun 2004, telah memberikan dasar hukum pelibatan TNI dan Undang-Undang Polri Nomor 2 Tahun 2002, telah mengakomodasi pelibatan TNI dalam penanganan Terorisme. Untuk itu diperlukan pengaturan dalam pelaksanaannya dan akan lebih tepat bila di akomodir dalam Undang-Undang Terorisme (Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003). Dengan demikian semua tindakan dalam penanganan terorisme dapat berjalan dalam koridor hukum.








KOMPARASI DENGAN UNDANG-UNDANG TERORISME BEBERAPA NEGARA

I.         The Terrorism Act 2006 (Inggris)
·              drafted in the aftermath of the 7 July 2005 London bombings;
·              defines the offence of "glorifying" terrorism;
·              revises the period of detention of terrorist suspect without charge up to 28 days.
o     the government had asked for this to be 90 days, but was defeated in a vote.
·              justified by the claim that necessary evidence to decide charges might be encrypted on one of thousands of hard disks, and it could take this long to search them.

The Counter-Terrorism Act 2008
·              allows police questioning of suspects after they have been charged;
·              requires convicted terrorist to notify the police of their whereabouts (similar to existing requirements for sex offenders);
·              government defeat of extending period of detention without charge to 42 days;
·              interpreted as banning all photographs of the police in public places.
Terrorism Act 2006.

Structure of the act
The act is divided into three parts.
Part 1
Part one of the act creates a series of new criminal offences intended to assist the police in tackling terrorism.
They are:
·              Encouragement of terrorism (section 1): Prohibits the publishing of "a statement that is likely to be understood by some or all of the members of the public to whom it is published as a direct or indirect encouragement or other inducement to them to the commission, preparation or instigation of, acts of terrorism or Convention offences; Indirect encouragement statements include every statement which glorifies the commission or preparation (whether in the past, in the future or generally) of such acts or offences; and is a statement from which those members of the public could reasonably be expected to infer that what is being glorified is being glorified as conduct that should be emulated by them in existing circumstances. “The maximum penalty is seven years”. Imprisonment.
·              Disseminating terrorist publications (Section 2): Prohibits the dissemination of a publication which is either (a) likely to be understood as directly or indirectly encouraging terrorism, or (b) includes information which is likely to be understood as being useful in the commission or preparation of an act of terrorism. The maximum penalty is seven years' imprisonment.
·              Preparation of terrorist acts (Section 5): Prohibits anyone from engaging in any conduct in preparation for an intended act of terrorism. The maximum penalty is life imprisonment.
·              Training for terrorism (Section 6): Prohibits anyone from training others in terrorist activities, or from receiving training. The maximum penalty is 10 years’ imprisonment.
·              Attendance at a place used for terrorist training (Section 8): Prohibits anyone from being at a place where training is going on (whether in the United Kingdom or abroad), provided the person knew or reasonably believed that it was happening. The maximum penalty is 10 years' imprisonment.
·              Making and possession of devices or materials (Section 9): Prohibits the making or possession of any radioactive device (ie a dirty bomb). The maximum penalty is life imprisonment.
·              Misuse of devices or material and misuse and damage of facilities (Section 10): Prohibits using radioactive materials or a radioactive device in a terrorist attack, and the sabotage of nuclear facilities which causes a radioactive leak. The maximum penalty is life imprisonment.
·              Terrorist threats relating to devices, materials or facilities (Section 11): Prohibits anyone from making threats to demand that they be given radioactive materials. The maximum penalty is life imprisonment.
·              Trespassing etc. on nuclear sites (Section 12): Extends a previous ban on trespassing, imposed by the Serious Organised Crime and Police Act 2005, to cover any nuclear site.

II.           KANADA
The Canadian Anti-Terrorism Act (Bill C-36, 18 December 2001) was passed by the Liberal government of Canada in response to the September 11,2001 attacks in the United States. It received Royal Assent on December 18,2001 as Bill C-36. The "omnibus" bill extends the powers of government and institutions within the Canadian security establishment to respond to the threat of terrorism. The expanded powers were highly controversial due to widely perceived incompatibility with the Canadian Charter of Rights and Freedoms, in particular for the Act's provisions allowing for 'secret' trials, preemptive detention, and expansive security and surveillance powers.

III.          UNIEROPA
The most controversial part of the Council of Europe Convention on the Prevention of Terrorism (CECPT) is its definition of Public Provocation to Commit a Terrorist Offence. Article 5 of the CECPT defines this as intentionally distributing a message to the public, with the intent to incite the commission of a 'terrorist offence', where such conduct, whether or not directly advocating terrorist offences, causes a danger that one or more terrorist offences may be committed.



IV.         MALAYSIA DAN SINGAPURA
Berlaku Internal Security Act (ISA)
·              Kewenangan Preventive Detention;
·              Latihan militer untuk terrorism
·              Menggunakan atribut militer.

V.          AUSTRALIA
·              Preventive Detention.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar